Langsung ke konten utama

Kiat Menulis Artikel Opini

PENDAHULUAN
"Pada bulan November 2010, sebuah Jurusan di salah satu universitas swasta melakukan akreditasi. Hasilnya sangat mengecewakan bagi mahasiswa jurusan paling laris di PT tersebut. Jika sebelumnya terakreditasi B, saat itu kelayakan jurusan itu menjadi C – urutan terbawah dalam status terakreditas. Dengan akreditas hanya C, mahasiswa dan jurusan tersebut akan mengalami banyak kesulitan. Hampir semua pekerjaan mengisratkan minimal terakreditasi B bagi calon pegawainya. Jurusan juga akan dianggap kurang berkualitas sehingga jumlah peminatnya bisa turun drastis.Menyikapi keadaan yang pahit itu, sejumlah mahasiswa menyadari jika ada yang mesti bertanggungjawab atas kegagalan tersebut. Mereka membentuk sebuah aliansi dengan jargon menyelamatkan jurusan mereka. Puncaknya mereka ingin mengadakan aksi damai meminta pertanggungjawaban universitas.
Tahapan pertama aliansi ini adalah dengan menyebar selebaran berjudul “Akreditasi Turun, Mimpi Kita Hancur” yang berisi cerita mengenai turunnya akreditasi. Lebih lanjut, tulisan itu juga menjelaskan konsekwensi dari turunya akreditasi bagi tiap mahasiswa. Ternyata, selebaran di kertas buram itu membuat hampir semua mahasiswa sadar dan cukup resah. Mereka terus bertanya pada pihak jurusan tantang kejelasan nasibnya. Akhirnya, pihak jurusan mengadakan audiensi dalam rangka menjelaskan nasib dirinya.Sehari sebelum audiensi, artikel kedua kembali disebarkan dengan judul “Mari Selamatkan Jurusan dengan Aksi”. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa keadaan sudah sangat buruk. Mesti ada langakah-langkah terobosan agar keadaan bisa membaik. Secara tersurat tulisan itu mengajak mahasiswa untuk melakukan demonstrasi kepada rektorat – pengambil kebijakan tertinggi pada universitas. Tulisan itu ampuh membuat peserta audiensi baik mahasiswa dan pengurus jurusan untuk melakukan demonstrasi. Keputusan akhir, mahasiswa sepakat mengadakan demonstrasi dan kepala jurusan pun mengamininya. Tulisan itu bahkan mampu menumbuhkan simpati mahasiswa lain jurusan untuk ikut bergabung dalam aksi tersebut.Beberapa saat sebelum aksi demonstrasi, artikel berikutnya kembali menyebar dengan judul “Menuntut Tanggungjawab Rektor”. Tulisan ini lebih menukik ke pokok permasalahan mengan akreditasi jurusan tersebut bisa turun. Dengan diperkuat data dari BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional – Perguruan Tinggi), disebutkan secara detail musabab turunnya akreditasi. Ujung pangkalnya ternyata pada kesenjangan antara jumlah mahasiswa dengan kualitas fasilitas dan jumlah dosen. Alur tulisan tersebut kemudian mengarahkan pemikiran bahwa rektorat wajib memperbaiki fasilitas bagai mahasiswa. Tulisan itu mampu mengarahkan kekecewaan mahasiswa kepada tuntutan yang lebih mendasar yakni perbaikan fasilitas.Saat demonsatrasi berlangsung, lebih dari 400 mahasiswa ikut serta. Jumlah itu ditengarai sebagai aksi terbesar yang pernah dilakukan di universitas tersebut. Berbeda dengan demonstrasi mahasiswa yang seringkali diwarnai skenario keributan, aksi itu lebih menekankan perang retorika dan data. Setelah perdebatan dengan jajaran rektorat seharian, sesaat sebelum adzan magrib, rektor menandatangani tuntutan mahasiswa. Saat aksi berjalan, muncul pula tulisan berjudul “Menyelamatkan Jurusan, Menyelamatkan Universitas”. Sedikit banyak tulisan itu mempertemukan pemikiran keduabelah pihak bahwa mereka mesti bersama memperbaiki keadaan.Desember 2011, BAN-PT kembali datang ke perguruan tinggi tersebut untuk melakukan reakreditasi. Satu bendel tulisan menjadi salah satu karya yang disajikan sebagai karya mahasiswa. Sebuah artikel di Kedaulatan Rakyat edisi Rabu, 19 Januari 2011 berjudul “Akreitasi dan Nasib Mahasiswa PTS” turut dibaca oleh asesor. Sekitar akhir April 2012 BAN-PT mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan jurusan tersebut terakreditas B. Cukup berhuntung, penulis artikel pertama hingga artikel di KR tersebut diwisuda saat akreditasi jurusan tersebut masih C."
Dalam ilustrasi di atas menunjukan bahwa sebuah tulisan mampu menciptakan perubahan besar. Maka dari itu John Gardner berkata, “Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya.” Kekuatan tulisan telah terbukti menjadi picu di tiap perubahan besar, termasuk di Indonesia. Sejarah Indonesia tak bisa lepas dari peran tulisan-tulisan yang lahir dari gagasan-gagasan besar para founding father. Dari zaman pergerakan nasional hingga peristiwa reformasi, pasti ada peran-peran tulisan sakti yang menggugah. Tulisan sendiri bermacam jenisnya sesuai dengan fungsinya. Salah satu jenis tulisan yang memiliki kekuatan dalam mempelopori sebuah perubahan adalah jenis artikel opini.  

PENGERTIAN ARTIKEL OPINI
Hasil kegiatan menulis adalah suatu tulisan atau karya tulis. Tulisan terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah paparan, uraian, penyampaian gagasan melalui susunan kata dan kalimat. Sedangkan isi adalah gagasan, pendapat, keiinginan, usul, saran, yang kita kemukakan lewat tulisan tersebut. Dilihat dari bentuk dan isinya, tulisan terdiri dari dua jenis (Romli, 2008), yakni fiksi dan nonfiksi. Fiksi adalah tulisan berdasarkan imajinasi, khayalan, namun tetap berpijak kepada gagasan nyata. Tulisan fiksi disampaikan dalam rangkaian kata dan kalimat yang penuh gaya bahasa, metafora, personifikasi, hiperbola, bombastisme, dan sebagainya yang dikategorikan bahasa “sastra”. Tulisan fiksi meliputi prosa (serita pendek, novel, roman), dan puisi (sajak, lirik, nyanyian). Sedang tulisan nonfiksi yakni tulisan berdasarkan data dan fakta. Tulisan disampaikan dalam bahasa lugas. Tulisan nonfiksi diantaranya adalah reportase, esai, artikel opini, dan kolom. Semua tulisan yang dimuat di surat kabar, majalah, atau media cetak lainnya, selain dari tulisan berita disebut dengan artikel. Dari sekian jenis tulisan nonfiksi di media massa esai, kolom, tajuk rencana (editorial), resensi buku, dan artikel opini adalah artikel yang sifatnya subyektif – lahir dari buah pandangan penulisnya. Itu berbeda dengan jenis laporan atau berita yang wajib berdasarkan fakta bahkan haram jika diisi dengan pendapat sang penulis.
Meski sama-sama bersifat subyektif, esai, kolom, tajuk rencana, resensi buku, dan artikel opini memiliki karakter yang berbeda. Esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang seubjek tertentu. Isi esai dapat berupa analisis, penafsiran dan uraian. Untuk gaya penulisan ada yang berpendapat esai itu bebas dan ada yang mengatakn pula teratur. Beberapa esai justru sangat terlihat “nyastra” dengan gaya bahasanya. Sebuah esai mengutarakan keinginan, sikap terhadap soal yang dibicarakan bahkan terkadang menjelaskan kehidupan secara global.
Kolom adalah sebuah rubrik khusus di media massa cetak yang berisikan karangan atau tulisan pendek dan berisi pendapat subjektif penulisnya tentang suatu masalah (Samsul, 2003). Kolom hampir sama dengan artikel esai dan opini hanya saja kolom lebih pendek. Panjang sebuah kolom mungkin hanya separuh artikel opini atau esai. Penulisan kolom tidak menggunakan struktur tertentu. Kolom langsung berisi tubuh tulisan yakni berupa pengungkapan pokok bahasan dan pendapat penulisanya tentang masalah tersebut. Komaidi (2007) juga mengatakan bahwa judul kolom biasanya singkat, bahkan bisa hanya satu kata saja.
Tajuk rencana adalah artikel utama dalam surat kabar yang berisi pandangan atau pendapat redaksi terhadap peristiwa /isu yang sedang hangat dibicarakan. Dalam tajuk rencana biasanya diungkapkan adanya masalah aktual, penegasan pentingnya masalah, opini redaksi tentang masalah tersebut, kritik, dan saran atas permasalahan, serta harapan redaksi akan peran serta pembaca (Ariwibowo, 2009). Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media yang bersangkutan. Karena tajuk rencana merupakan opini sebuah media maka biasanya tidak dicantumkan nama penulis.
Berikutnya, resensi buku adalah ulasan mengenai sebuah buku. Resensi buku menjadi artikel yang hampir ada di tiap media cetak. Sebuah resensi buku membahas gambaran umum yang ingin disampaikan sebuah buku. Selain menjelaskan, sebuah resensi buku yang baik mesti memberikan ulasan mengenai kelebihan dan kekurangan sebuh buku. Samsul (2003) berpendapat bahwa seorang reviewer buku mesti memahami dan menangkap maksud pengarang dengan karya yang dibuatnya.    
Jenis artikel yang bertumpu pada gagasan penulis adalah artikel opini. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2002 pengertian opini adalah pendapat, pikiran, pendirian. Artikel opini tidak lebih dari pendapat, pikiran, pendirian yang dituliskan. Artikel opini adalah sebuah tulisan yang menekankan pada pendapat seseorang penulis atas suatu data, fakta, dan kejadian berdasarkan analisis subjektif penulis sendiri (Kuncoro, 2009). Opini dilekatkan pada artikel ilmiah populer yang dimuat di media massa seperti koran. Artikel opini ini diletakan di halaman tengah bersama tajuk rencana dan surat pembaca. Artikel opini ini biasanya ditulis dengan gaya ilmiah populer karena tulisan ini ditujukan bagi pembaca umum dari majalah/koran karena ditujukan bagi pembaca umum dari majalah/koran.
Artikel opini adalah tulisan lepas yang berisi opini seseorang yang mengupas tuntas suatu masalah tertentu yang sifatnya aktual dan atau kontroversi dengan tujuan untuk memberitahu (informatif), memengaruhi dan meyakinakan atau juga bisa menghibur bagi pembacanya (bersiafat recreatif). Selain itu, artikel opini tidak terkait dengan berita atau laporan tertentu (Sa’ud, 2009). Artikel opini biasanya menekankan pada pendapat pribadi penulis yang memperkuat argumen logis dan pemikiran kritis terhadap suatu masalah aktual (Komaidi, 2007). Artikel opini diterbitkan oleh koran atau majalah. Karena tempatnya terbatas, artikel jenis ini pada umumnya tidak terlalu panjang, hanya sekitar 4-6 halaman kuarto spasi ganda. Berbeda dengan jurnal yang ditulis dengan gaya ilmiah akademis, pembaca artikel opini untuk koran/majalah adalah masyarakat umum, dengan berbagai usia dan tingkat pendidikan.

GAYA PENULISAN ARTIKEL OPINI
Gaya penulisan adalah kecenderungan umum bagaimana sebuah tulisan ditulis. Terdapat empat gaya utama dalam menulis sebuah artikel opini yaitu eksposisi, deskripsi, argumentasi, dan narasi. Masing-masing mempunyai ciri tersendiri. Kuncoro (2009) memberikan catatan penting bahwa gaya penulisan terbut tidaklah mengikat karena banyak pula ditemui artikel opini yang menggunakan lebih dari satu jenis gaya penulisan.
Eksposisi. Eksopoisis adalah tulisan yang tujuan utamanya adalah mengklarifikasi, menjelaskan, mendidik, atau mengevaluasi sebuah persoalan. Dalam menulis bergaya eksposisi, penulis mencoba untuk memberi informasi dan petunjuk atas suatu hal kepada pembaca. Ekspoisis mengandalkan strategi pengembangan paragraf seperti dengan memberikan contoh, proses, sebab-akibat, kalasifikasi, definisi, analisis, komparasi, dan kontras. Eksposisi terkadang dilengkapi dengan grafik, gambar, atau statistik untuk memperjelas uraian. Alwasilah (2007) mengatakan bahwa eksposisi juga sering disebut sebagai paparan proses.
Deskripsi. Gaya deskripsi lebih memberi gambaran verbal terhadap sesuatu yang akan ditulis, baik itu manusia, objek, penampilan, pemandangan, atau kejadian. Cara penulisan ini menggambarkan sesuatu objek atau kejadian sedemikian rupa sehingga pembaca dibuat seolah-olah melihat dan mengalami sendiri sebuah peristiwa. Karena mengandalkan penekanan penggambaran, tulisan jenis ini sangat mengandalkan pencitraan yang kongkrit dan mendetail. Tulisan bergaya deskripsi cenderung impresif dan hidup sehingga dapat menggugah hati para pembacanya. Artikel opini deskriptif biasanya muncul untuk menjelaskan sebuah permasalahan agar lebih bisa diselami oleh publik dan kemudian memunculkan solusi atas persoalan tersebut.
Narasi. Narasi sendiri berasal dari kata to narrate, yang berarti bercerita. Cerita adalah rangkaian peristiwa atau kejadian secara kronologis, baik fakta maupun rekaan atau fiksi. Dalam artikel opini, gaya narasi sering digunakan untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang tengah terjadi dari pendapat seroang penulis. Penulis ingin menceritakan titik inti sebuah permasalahan yang masih awam dipahami oleh hal layak.
Argumentasi. Gaya penulisan ini adalah sebuah karangan yang membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran sebuah pernyataan. Tulisan argumen secara tradisional terbagi atas dua karegori yakni indukti dan deduktif. Dalam tulisan argumentatif penulis menggunakan berbagai strategi dan retorika sebagai alat untuk meyakinakan pembaca tentang suatu kebenaran atau ketidakbenaran tersebut. Argumen tulisan mengandalkan berbagai jenis pertimbangan yang bertujuan untuk menguatkan argumentasi tersebut. Data juga menjadi hal penting untuk menguatkan argumen yang dibangun. Biasanya tulisan ini disampaikan oleh orang yang benar-benar memahami atau pakar terhadap permasalahan yang dibahas.
Gaya tersebut di atas bukan saja milik artikel opini. Gaya tersebut juga bukan norma kaku yang mesti dipilih satu dan wajib ditaatinya. Pengetahuan ihwal gaya penulisan menjadi penting agar penulis memiliki kepekaan untuk menulis sehingga gagasan yang disampaikan mampu dipahami. Pemahaman permasalahan yang akan dibahas menjadi lebih penting untuk kemudian ditanggapi dengan gaya penulisan yang sesuai. Jika diibaratkan artikel opini adalah “barang dagangan”, penulis sebagai penjual haris cerdas menjelaskan dagangannya secara menarik dan jelas agar pembeli tertarik untuk menggunakan dagangan tersebut.

PROSES MENULIS ARTIKEL OPINI
Menulis opini apalagi di media masa memang membanggakan. Terkadang mereka yang sudah mahir menembus media masa membahas pengetian opini menjadi begitu “wow”. Artikel opini juga sering dianggap mecerminkan penulisnya yang dianggap cerdas. Penilaian tersebut membuat banyak orang yang mulai menyukai menulis memandang artikel opini itu sulit. Padahal, menulis opini tidaklah sesulit yang dibayangkan. Agar menulis opini menjadi mudah, seorang penulis sebaiknya mengetahui proses kreatif dalam penulisan yakni:
Menggali Ide. Proses menggali ide adalah hal yang sangat penting dalam penulisan artikel opini. Artikel opini yang wajib bersifat aktual menuntut kepekaan seorang penulis untuk merumuskan ide dari banyak fenomena yang tengah terjadi. Ada beberapa hal yang bisa menjadi sumber mendapatkan ide seperti membaca. Membaca bisa memberi peluang bagi pikiran untuk merumuskan masalah yang tengah terjadi. Peristiwa juga bisa menjadi picu munculnya gagasan. Di keseharian, baik yang dialami sendiri mapun diketahui dari media dan cerita orang bisa menjadi sumber ide yang aktual. Selain membaca dan dari peristiwa, menggali ide bisa dilakukan dengan menonton film, berdiskusi, dan merenung dengan jalan membuat peta pikiran (mind map).
Ketika ide sudah ada di kepala, ide tersebut mesti terus dirumuskan agar menjadi tema yang kuat. Ide atau masalah tersebut harus dianalisis dan jika memungkinkan, lakukan riset data. Diskusikan analisis tersebut dengan banyak orang agar analisis terhadap tema menjadi tajam dan solusi yang ditawarkan kuat. Data yang mendukung ide tersebut juga mesti dikumpulkan. Data tersebut kelak akan digunakan saat menulis sebagai simbol akurasi.
Brainstorming. Brainstroming adalah proses mengeluarakan semua ide untuk menjadi lebih teratur. Oshima dan Hague (1997) mengatakan, “Brainstorming is a prewriting activity in which you come up with a list of ideas about a topic. You quickly write down a list of ideas that come to your mind as you are making about general subject or specific topic.” Dalam proses ini, seorang penulis membuat list tantang semua yang terkait dengan ide tema yang akan ditulis. Setelah tertuang, ide yang tercecer itu mesti diurutkan dalam sebuah kerangka (komposisi) agar menjadi sistematis dan utuh. Wardhana (2007) menawarkan sebuah rumus dalam membuat komposisi tulisan yang bisa menjadi pertimbangan: judul dan paragraf pertama (lead) 10%, isi atau tubuh tulisan 80%, dan kesimpulan atau penutup 10%. Namun demikian pertimbangan seorang penulis sendiri lebih layak dipertimbangkan menganai bagaiman komposisi sebuah tulisan. Itu tergantung dari bagaimana intuisi penulis untuk menyajikan tulisan yang utuh.
Membuat Judul. Judul adalah bagian pertama yang dilihat pembaca. Judul akan sangat menentukan seorang pembaca untuk meneruskan membaca sebuah artikel atau tidak. Oleh karena itu, judul mesti dibuat semenarik mungkin dengan tanpa mengabaikan isi. Pada dasarnya judul memang harus dibuat sependek mungkin namun harus jelas maknanya. Cara yang paling mungkin adalah dengan menemukan beberapa kata kunci dari artikel lantas merangkainya dalam sebuah farasa atau klausa. Sebagian besar judul dengan bentuk klausa dimulai dengan kata kerja untuk membuat kesan lugas. Penggunaan kalimat sebagai judul cukup jarang ditemukan dan bahkan sebagian besar ahli melarangnya.
Menulis Paragraf Pertama. Paragraf pertama menjadi teramat penting karena di sinilah pembaca akan berfikir dan menebak tantang apa tulisan tersebut. Jika disampaikan secara menarik, pambaca akan memutuskan untuk meneruskan membaca dan sebaliknya jika penulis gagal untuk mencitrakan tulisannya di awal, kemungkinan pembaca akan memilih membuka rubrik berikutnya. Paragraf yang biasanya disebut lead berfungsi untuk menyapa pembaca. Lead mesti mencerminkan fokus dari tulisan yang akan dibahas. Kalimat dalam lead juga mesti dipoles sedemikan rupa hingga nampak jelas dan menggugah nafsu membaca. Meski di bagian pertama, lead tidak harus diselesaikan terlebih dahulu. Akan lebih sempurna jika lead dirangkai setelah seluruh tulisan selesai. Ini agar penulis bisa leluasa untuk menentukan isi lead. Jangan ragu juga untuk berkali-kali merubah paragraf pertama karena itu memang bagian penting.
Menulis Tubuh Tuliasan. Kuncoro (2009) menyebut tubuh tulisan yang baik dengan istilah “tubuh yang ramping dan penuh aksesori.” Istilah itu dimaksudkan agar sebuah tulisan bisa dinikmati pembaca dengan tanpa “mengerutkan dahi” karena ada kejanggalan di dalamnya. Masalah yang sering muncul dari penulis yang tengah belajar adalah rangkaian kalimat dalam tulisannya tak elegan: antara satu kalimat ke kalimat tidak mengalir dan ide dari paragraf satu ke berikutnya tidak terlalu terkait.
Menulis tubuh tulisan yang baik dimulai dengan pemilihan dan penempatan kalimat yang tepat. Kalimat dalam artikel opini sebaiknya tidak terlalu panjang dan minim kalimat majemuk. Penulis yang baik mesti memiliki praanggapan bahwa pembacanya itu bodoh. Oleh karena itu, penulis mesti menjelaskan hal yang diamaksud denga senyaman mungkin. Kosakata yang dipilih juga jangan sekelas dengan jurnal ilmiah karena pembaca itu begitu heterogen.
Kalimat terangkai dalam sebuah paragraf. Agar paragraf mudah dipahami, penulisannya mesti teratur dan mengalir. Kalimat pertama mengemukakan apa yang akan diceritakan. Kalimat berikutnya mesti menjelaskan satu sisi speseifik dari kalimat pertama. Jika nampak tulisan belum jelas, kalimat sebelumnya mesti dijelaskan kembali pada paragraf ketiga dan seterusnya hingga kalimat pertama menjadi utuh penjelasannya. Dalam istilah, kalimat pertama adalah topic sententece (kalimat topik) dan kalimat berikutnya dikenal sebagai supporting sentence (kalimat pendukung). Kalimat-kalimat tersebut mesti disusun sesesuai mungkin. Penempatan kalimat topik bisa di awal maupun di akhir paragraf tergantung penulis memilih paragraf deduktif atau induktif. Deduktif adalah paragraf dengan kalimat utama berada di awal. Sebaliknya, induktif meletakan kalimat utamanya di bagian akhir. Kepaduan atau koherensi antar kalimat bisa ditandai dengan adanya kata ganti, kata sambung/konjungsi, atau pengulangan kata tertentu. Beberapa konjungsi yang bisa digunakan untuk membangun koherensi adalah:
Makna
Kata sambung
Kualifikasi
Eksplanasi
Kontras
Komparasi
Konsekuensi              
Konsensi
Amplifikasi

Penyimpulan
sementara itu, daripada itu
misalnya, contoh, jadi
akan tetapi, tetapi, namun, bila, kendati demikian
seperti halnya, sebagai bandingan, demikian pula, demikian halnya
jadi, akibatnya, sehingga, maka dari itu, itulah sebabnya
namun demikian, asalkan, dengan catatan
lebih dari itu, lebih jauh lagi, juga, selain dari itu, memang sudah barang tentu
akhirnya, kesimpulannya, dengan demikian, pokoknya, jadi, masalahnya, sebagai simpulan

Kalimat di dalam paragraf sebaiknya juga jangan terlalu banyak agar paragraf tidak terlalu panjang. Ada yang mengatakan sebuah paragraf minimal terdiri dari tiga kalimat. Paragraf yang terlalu panjang bisa membuat pembaca jenuh. Pergantian dari satu paragraf juga mesti dibuat semengalir mungkin. Pembahasan sebuah bagian sebaiknya tuntas dalam satu paragraf dilanjut dengan poin berikutnya pada paragraf selanjutnya. Pergantian antar paragraf yang padu juga ditandai dengan adanya kata sambung dan pengulangan kata kunci dari paragraf sebelumnya. Beberapa penulis menyarankan pergantian antar paragraf menggunakan pengulangan kata kunci agar terasa lebih soft dan tak kaku. Jika penyusunan kalimat mengenal istilah deduksi dan induksi, dalam penyusunan paragraf juga terdapat istilah deduksi, induksi, sebab-akibat, akibat-sebab, bahkan pro-kontra.
Istilah penuh aksesoris bermaksud bahwa tulisan mesti berwarna. Warna itu bisa muncul dari kosa kata yang beragam. Pengulangan kata yang sama secara berlebihan akan membuat tulisan membosankan. Akan lebih baik jiak dalam satu tulisan, penulis menggunakan istilah yang semakna untuk menyebut hal yang sama. Warna pada tulisan juga bisa dimunculkan dari data valid yang digunakan untuk memperkuat bangunan opini yang penulis buat.
Menulis Penutup. Bagiamanpun, artikel opini harus memberikan solusi atas masalah yang tengah dibahas. Seringkali ajakan atau penekanan terhadap solusi yang ditawarkan terdapat pada bagian akhir. Bagian ini menjadi penting karena mencerminkan dedikasi dan antusiasme penulis untuk benar-benar membantu menyelesaikan masalah. Penutup juga menjadi bagian bagi penulis untuk pamitan. Penutup bisa ditandai dengan hadirnya kata kunci: demikian, saatnya, jadi, inilah, oleh karena itu, maka, dan sebagainya. Penulisan penutup mesti dibuat sedemikian rupa untuk menggugah bahkan membakar semangat pembaca.
Melakukan Editing. Hampir semua penulis mengajak penulis untuk tidak takut salah dalam menulis. Saat menulis, seorang penulis yang baik tidak boleh terjerembab dalam penyesalan dari tiap kesalahan dalam tiap tahap. Teruslah menulis dengan mengalir tanpa harus merisaukan apapun. Kesalahan yang mungkin terjadi dalam menulis memiliki waktu tersendiri untuk diperbaiki yakni saat pengeditan. Jugaguru (2006) membedakan pengditan atau penyuntungan menjadi penyuntingan secara redaksional dan penyuntingan secara substansial. Secara redaksional, artikel opini yang telah ada mesti dipastikan agar tak memiliki kesalahan kebahasaan seperti tanda baca hingga kesalahan pengetikan. Ingat, artikel opini akan dipublikasikan pada hal layak sehingga kesalahan kecil saja bisa membuat pembaca “mengerutkan dahi”. Pengeditan substansial meyangkut pemeriksaan isi. Pengeditan ini sangat penting dilakukan agar kekuatan tulusan bisa terjaga. Hal yang mesti diperiksa adalah koherensi atau kepaduan dari artikel. Setiap kalimat dan paragraf mesti padu, jika dirasa kurang, segeralah memperbaikinya. Akan sia-sia jiak ide besar yang dibawa menjadi tak berarti hanya karena kesalahan yang tak disunting.


Makalah Diklat Jurnalistik Dasar Pers Mahasiswa Poros UAD, 21 Oktober 2012

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram