Langsung ke konten utama

Mencetak Hafidz yang Ilmuan (investigasi Ponpes Isy Karima, Karanganyar)


Isy Karima berhasil memadukan pendidikan Al Qur’an dengan ilmu pasti secara baik. Sejumlah alumninya kini tersebar di perguruan tinggi terkemuka baik dalam maupun luar negeri. Membumikan Al Qur’an adalah cita-cita yang terus Isy Karima kejar.
Telapak kaki Yusuf muali terasa sedikit melepuh. Untungnya ia hanya mengenakan sandal, setidaknya lebih nyaman ditimbang sepatu. Beberapa kawannya yang bersepatu melepuh lebih parah. Melepuh kiranya wajar karena Yusuf serombongan berjalan sangat jauh. Berjalan dari Pantai Parangtritis, DIY menuju Pesantren Isy Karima di Karanganyar tentu perjalanan yang tak dekat. Yusuf dan santri lainnya mesti menempuh setidaknya 140 kilometer dalam waktu tiga hari.

Dalam rentang tiga hari tiga malam itu rombongan Yusuf tak melulu berjalan. Ketika jam Sholat, makan, dan tidur mereka menepi sejenak. Tempat perhentian pun dipilih yang bisa menambah pengalaman dan ilmu. Pesantren Ibnul Koyim di Piyungan, Bantul, DIY menjadi tempat singgah pertama. Persinggahan berikutnya adalah pesantren atau pusat dakwah Islam lainnya seperti Islamic Centre di Solo.
Letih tak terasa bagi Yusuf. Perjalanan itu lebih ia nikmati sebagai tamasya plus olahraga dan ilmu. “Kami justru senang,” ucap Yusuf mengenag Long March di bulan Desember tiga tahun lalu itu. Kala itu pemuda 19 tahun baru saja masuk Isy Karima. Kegiatan Long March Parangtritis – Karangpandan itu adalah program rutin bagi santri baru. Itu salah satu dari program pengenalan dan persiapan bagi santri baru.
Fisik dan mental sama-sama ditempa kala menyusuri jarak ratusan kilometer dengan berjalan kaki. “Ya, jadi nggak mudah mengeluh. Melatih kesabaran juga untuk kesehatan,” tambah remaja yang kini duduk di kelas tiga ini. Tujuan utama Long March Parangtritis – Karangpandan adalah untuk membentuk karakter santri Isy Karima. Santri diharapkan termotifasi untuk belajar sungguh-sungguh dan pantang menyerah. “Kita bisa tahu lapangan dunia dakwahh itu seperti apa,” pungkas Yusuf.
Selain program long march, program lainnya dalam pembentukan karakter santri Isy Karima adalah kemah pelatihan ketahanan di alam terbuka. Tak main-main, kegiatan survival itu dilaksanakan di lokasi pelatihan standar pasukan Brimob dan TNI di lereng gunung Lawu, tepatnya di wilayah Ndringo, Tawangmangu. Survival dilaksanakan selama satu minggu, tiga hari pemberian materi dan empat hari selanjutlanya paraktik. Peserta dilepaskan ke alam terbuka tanpa bekal apapun. Seperti tentara, mereka mesti bertahan hidup dengan memanfaatkan segala yang ada di hutan. 
Santri Isy Karima memang dididik keras untuk menjadi intelektual muslim yang tangguh. Program pendidikan tidak hanya terpusat pada soal menghafal qur’an tapi juga mental dan ilmu pengetahuan. Fauzul Mubin, pengajar sekaligus humas Isy Karima mengistilahkan pendidikan pesantrenya adalah untuk menciptakan hafidz yang ilmuan. “Ya, kami harap anak-anak menjadi hafidz tapi dokter, hafidz tapi enginering, hafidz tapi peneliti,” ucap semangat Fauzul. Terbukti, sejumlah santri Isy Karima mampu diterima di perguruan tinggi ternama. “Kalau alumni kita ada di ITB, UGM, ITS, IPB. Rata-rata ambilnya teknik,” tambah pria 27 tahun ini.
Dalam prorses pembelajaran, Isy Karima memadukan pendidikan hafalan qur’an dan materi pendidikan formal secara disiplin. Materi dan kurikulum pendidikan formal yang dianut bahkan mengacu Diknas. Layaknya sekolah lanjutan atas pada umumnya, Isy Karima juga mengadakan penjurusan pun ujian. Untuk penjurusan, pesantren tegas menentukan hanya jurusan IPA. Sementara untuk ujian semester dan ujian akhir, Isy Karima mengikuti kurikulum yang ada. “Alhamdulliliah belum pernah ada yang tak lulus UN,” tutur Fauzul. Meski demikian, syarat hafalan qur’an tetap menjadi penentu naik kelas atau tidaknya seorang santri. “30 juzz dulu, baru bisa ikut ujian nasional,” canda pria humoris kelahiran Magelang ini.
Meski model pendidikan Isy Karima terbilang disiplin, pesantern mencoba memahami keadaan santrinya. Tak melulu soal serius, kegiatan ekstra yang mendidik namun tetap menghibur tetap diadakan. Tiap Jum’at, santri diberikan kesempatan untuk berkuda, berenang, dan memanah – pelatihan yang dianjurkan Rasulullah. Kegiatan tersebut dikoordinir oleh kelompok pecinta alam: Sapala. “Kalau usia segini (remaja, Red.), nggak kita preasure, otaknya bisa kemana-mana,” pungkas Fauzul.
****
  Pagi yang cerah namun tetap dingin. Seperti hari Minggu di tiap bulannya, Isy Karima dipadati ratusan orang. Mereka datang sekeluarga. Beberapa diantaranya mulai menggelar daganggan. Parfum, kopiah, buku, dan keperluan ibadah lengkap berjejer di karpet. Sembari menunggu jam 7 tiba, orang ramai menawar dagangan yang ada. Pengajian Ahad pagi yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu itu nampaknya menjadi agenda sepesial tersendiri.
Tepat jam 7, Sihabudin memulai materi pagi itu. Jamaah berderet memenuhi ruangan lantai tiga salah satu gedung. Sementara itu, kaum ahwat berkumpul di dekat mesjid sambil memperhatikan penjelasan Sihabudin lewat layar LCD TV 40 inch. “Kata Nabi, minum sebaiknya sembari duduk. Penelitian membuktikan itu bisa membasahi usus agar tetap sehat,” ujar Sihabudin. Materi pengajian biasanya soal persoalan yang dekat dengan umat. “Soal minum saja mesti meneliti berpuluh tahun, padalah syareat sudah menganjurkan sejak dulu,” ucap direktur Isy Karima itu memperjelas maksudnya. Ia menekankan bahwa Ilmu pengetahuan barat yang empiris semakin membuktikan kebenaran ajaran Islam.
Awalnya, pengajian ahad pagi adalah usaha Isy Karima untuk mulai terbuka dengan masyarakat. Seiring terus berhembusnya isu terorisme, Isy Karima pun tak ayal sering terpojokan. Pesantren itu ingin membuktikan bahwa mereka berdakwah secara damai. Keterbukaan paling tidak menghindarkan dari adanya fitnah. Dakwah Islam mesti disajikan sebagai rahmat bagi umat manusia.
Sihabudin sangat percaya bahwa dengan Ilmu harkat umat muslim bisa lebih baik. Dia mencontohkan bagaimana kerja keras negara-negara yang akhirnya bangkit. Hal yang pertama bangsa itu lakukan adalah meningkatkan keilmuannya. “Kita ingin pesantren maju, Indonesia maju,” tutur pria bernama lengkap Sihabudin Abdul Muizs ini. Isy Karima dengan sejumlah dakwahnya dimaksudkan demi kepentingan umat yang lebih besar.
Kedatangan banyak syeh dari timur tengah juga dimaksudkan agar transfer ilmu lebih mudah terjadi. Santri bisa mendapat pengetahuan langsung dari sumber yang kompeten. Isy Karima tak ingin jika hanya mereka yang bisa mengakses ilmu dari masayeh. Beberapa tahun ini Isy Karima mengajak pesantren lainnya ikut menimba ilmu dari masayeh dalam sebuah halaqoh. Peserta halaqoh hadir dari bermacam pesantren dengan mahzab dan oramas yang berbeda pula. Momen itu sekaligus sebuah pembuktian bahwa Isy Karima itu netral pun tak berafiliasi dengan ormas manapun.
   Isy Karima terus memperluas jaringannya dengan para ilmuan. Hampir tiap bulan ada masyeh yang berkunjung. Terkadang pesantren hingga kuwalahan untuk menentukan jadwal karena minat masayeh untk membagi ilmunya di Isy Karima terus meningkat. Sebuah rumah joglo bernuansa tradisional bahkan sengaja dibangun sebagai tempat menginap para tamu intelektual tersbut. Siahbudin pun tak membatasi bahwa tamu intelektual mesti datang dari timur tengah. “Semisal ada dari Jerman, ahli boeng, mau datang, tak masalah,” ujarnya.
Sikap Sihabudin tersebut didasari banyak fakta bahwa ilmu modern seperti sains pada akhirnya tunduk pada kebenaran al qur’an. Ia mencontohkan mujizat turunnya air hujan. Setelah lama meneliti orang barat baru mengerti proses turunya air hujan. Padahal, qur’an lewat surahnya telah cukup jelas menerangkan ihwal mujizat terjadinya hujan. Sihabudin menerangkan misi Isy Karima kedepan adalah untuk membumikan al qur’an. “Semua konsep qur’an kita aplikasikan ke sebuah penelitian,” tegas ayah dari dua orang anak ini. Tak main-main, Isy Karima bahkan telaj bekerjasama dengan UIN Malang untuk mencapai mimpi tersebut.
Misi itu juga Isy Karima tuangkan dalam proses pembelajarannya. Sedari awal, santri dikenalkan pada sains sembari memantapkan ilmu qur’anya. Setelah lulus, para santri melanjutkan ke universitas papan atas untuk belajar sains. Ketika ilmu sains mereka mencukupi, pemahaman qur’an para santri mesti diaplikasikan ke sebuah penelitian. Dengan itu sains yang kelak berkembang akan sesuai dengan qur’an dan bisa memberikan berkah pada umat manusia. “Kita itu harus selalu berubah, kita itu harus maju,” imbuh Sihabudin.
Model dakwahnya yang tergolong modern terkadang menuai cibiran beberapa ormas dan aktifis Islam. Apalagi, di tengah kompleks pesantren berdiri tegap bendera mereah putih. Beberapa aktifis Islam menilai negatif kebijakan Isy Karima tersebut. Merah putih dinilai toughut dan tak boleh digunakan. Sihabudin menilai itu tidaklah tepat. “Sarung aja kalau antum kerek, antum hormati ya syirik,” katanya. Pada masa kepemimpinan Rasullulah Muhammad, bendera juga telah digunakan. Kala itu setiap kabilah memiliki bendera sendiri. Tujuannya adalah sebagai tanda.
Ia mengajak semua untuk bisa membedakan mana yang prinsip dan mana yang simbolik. Termasuk pandangnya terhadap konsep negara, ia mengajak umat Islam untuk sama-sama memperbaiki keadaan dari diri sendiri terlebih dahulu. Nilai Islam dalam sebuah negera jangan semata dipandang dari sisi simbol semata melainkan dari nilainya.   
****
Rizki Fathcurozi seorang diri mencari-cari bukunya di kelas. Ia cukup kesulitan karena semua buku tetumpuk di laci sempitnya. Santri Isy Karima memilki kebiasaan meninggalkan buku pelajarannya di kelas.  Tak ayal kelas Rizki memang lebih mirip perpustakaan pribadi. Ibaratnya, dari buku A sampai Z ada.
Setelah sekian lama pencariannya, Rizki akhirnya mendapat buku yang ingin ia baca sore itu. Ia segera larut bersama isi bukunya. Ia teramat tertarik dengan sains. Meski menuntut ilmu di pesantren, tak berarti Rizki meski awam dengan sains. Pesantrennya justru menekankan bahwa produk Isy Karima harus menjadi Hafidz yang ilmuan.
Sejatinya hari itu Isy Karima telah libur setelah selesai ujian semester. Bisa saja Rizki melupakan sejenak bukunya dan beristirahat unutk belajar. Namun ia tak mau menyia-nyiakan waktu. Ia mestu berusaha keras agar bisa mewujudkan mimpinya kuliah. “Iseng saja, daripada tiduran di asrama,” ucap santri asal Samarinda, Kalimantan ,,, ini. Kebayakan santri lain masih di asrama dan sebagian lainnya tengah memancing.
Seperti Adit dan keempat kawannya. Mereka tengah asyik memcing di sungai kecli belakang pondok. “Strike,” ucap Adit lantang disambut teriakan gembira kawannya. Sekor ikan gabus kecil terkail pancing Adit. Secara hati-hati ia melepas kail yang tertancap di mulut gabus. Mereka tak berniat memasak ikan tersebut. Ikan gabus itu cukup beruntung karena ia malah dimasukan ke sebuah kolam terpal kecil. “Kita mau pelihara gabus ini sama lele,” ucap salah seorang kawan Adit. Untuk mengusir jenuh dari hafalan dan beban pelajaran, beberapa santri menggeluti hobi yang mereka senanggi. Hobi selayaknya remaja di luaran sana.
Menurut Adit, pesantren memang memberikan kesempatan santrinya untuk refresing. Selain dia yang gemar memancing, beberapa kawannya ada yang mengisi waktu luang dengan berkuda. Isy Karima memang memiliki enam ekor kuda. Selain untuk kegiatan formal, kuda-kuda tersebut juga sering digunakan oleh santri tuk melepas lelah. Beberapa santri lainnya pun tetap bisa melakukan hobinya, asal tidak melanggar aturan pondok. Mewakili sesama santri, Adit mengaku bahagia dengan kebijakan Isy Karima tersebut. Setidaknya, jenuh dan letih menghafal bisa bisa terobati.
Namun demikian Isy Karima tetap menerapkan peraturan yang ketat dan tegas. Tepat di depan masjid, terpampang sepanduk sekitar sepuluhan meter bertuliskan visi misi Isy Karima, tak terkecuali jenis pelanggaran dan sanksinya. Jenis palanggaran dikelompokan menjadi dua yakni pelanggaran jenis C dan D. Kategori C untuk pelanggaran yang terbilang ringan dan kategori D untuk pelanggaran berat dengan saknsi dikeluarkan dari maha’d. Pelanggaran C terkait kenakalan remaja seperti bertengkar fisik sedang pelanggaran aqidah seperti meninggalkan shalat fardu dan puasa Ramadhan secara sengaja.
Bagi Adit, peraturan itu tidaklah membebaninya. Jarang ada santri yang melanggar. Semua dilakukan secara sadar tanpa ada tekanan yang berlebihan. Apalagi tiap sisi pesantren telah terpasa CCTV. Bahkan, CCTV itu dioperasikan secara on line. Di manapun direktur Isy Karima berada, ia dan santri lainnya tetap terpantau. Tentu, Adit mesti benar-benar menjaga sikapnya.

 Diterbitkan di Majalah Isra', Pusham UII

Komentar

  1. Mas Yudha pengen masuk? hehe

    BalasHapus
  2. Ada nomor telpon ustaz yang bisa dihbngi diisykarima? Anak sy mau masuk sma tahun depan

    BalasHapus
  3. Ada nomor telpon ustaz yang bisa dihbngi diisykarima? Anak sy mau masuk sma tahun depan

    BalasHapus
  4. Ada nomor telpon ustaz yang bisa dihbngi diisykarima? Anak sy mau masuk sma tahun depan

    BalasHapus
  5. Utuk sma sajakah tdk ada smp nya. Balas

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.