Langsung ke konten utama

Harmoni Di Tengah Deru Sangka (Ponpes Ulul Albab, Sukoharjo)


Prasangka sering tertuju pada Ulul Albab. Ulul Albab sejatinya adalah pesantren yang tumbuh dari masyarakat. Ia berdiri atas sumbangsih warga dusun Tulakan. Ulul Alabab dan warga Tulakan berkembang bersama dengan jalan saling menghargai hingga kini.   
Malam itu ganjil. Ada hal yang tak biasa di sekitaran pondok. Seseorang dengan wajah tertutup sarung berkeliaran di sekeliling masjid. Mengetahui aksi penuh misterinya diketahui, sosok tersebut lari menghindar. Sontak kewaspadaan pun bangkit. Shoimin meminta beberapa santri dan Ustadz untuk memeriksa lingkungan Pondok.
Seorang santri menemukan sesuatu yang sangat tidak biasa. Di sebuah sudut pagar ia temui barang mirip lampu bohlam. Dalam wadah, nampak penuh pasir atau semacam serbuk. Sedang ujungnya dipasangi sumbu yang tersambung dengan obat nyamuk. Demi keamanan, bara obat nyamuk dimatikan. Shoimin menghubungi Polisi untuk melakukan peyelidikan ihwal benda mencurigakan tersebut.

Polisi pun datang. Menurut mereka benda tersebut berisi sekedar pasir. Bagi Shoimin dan rekan-rekan hasil penyeledikan terasa janggal. Serbuk di dalam bohlam itu hampir pasti adalah bahan peledak. Tapi sebuah dilema bagi Shoimin untuk menanggapi penyelidikan polisi. “Kalau saya mengatakan itu bahan peledak nanti kami dianggap mengerti cara merakit bom,” ujarnya. Kasus itu hanya berhenti pada sebuah koneferensi pers. Siapa dan apa motif pelaku tak terjawab hingga kini. Berita di media kadung secara langsung maupun tidak membuat pencitraan seolah pesantren Ulul Albab lekat dengan stigma terorisme.
Kejadian itu terjadi di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ulul Albab beberapa tahun lalu, pasca peristiwa bom bali. Bagi Shoimin peristiwa tersebut adalah usaha membunuh karakter pesantren yang ia gagas di Dusun Tulakan RT 03 RW 06, Desa Godog, Kecamatan Polokarto, Sukoharjo itu. “Mereka sekedar mencari-cari bukti bahwa kami demikian, tapi Alhamdulliah selalu gagal,” pungkasnya. Usaha menyudutkan Ulul Albab tersebut masif dilakukan hingga kini dengan berbagai cara. “Tiap kali ada rame-rame soal terorisme kami pasti jadi sorotan media,” tambah Shoimin pria kelahiran 1969 itu. Tak hanya pondok, kampung Tulakan pun dicap sebagai kampung teroris.
Menjelang eksekusi Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas, Tulakan kembali menjadi sorotan media. Kala itu isteri dan anak-anak dari ketiga orang tersebut pindah ke Tulakan. Para isteri terduga kasus terorisme tersebut bermukim di sekitar pondok. Sementera anak-anak mereka belajar di Pesantren Ulul Albab. Media menerka-nerka bahwa ada kaitan antara mereka yang dikaitkan dengan kasus terorisme dengan Ulul Albab. Bahkan sebuah media lokal yakni TATV mengundang Shoimin dan pengurus Ulul Albab untuk berbicara di sebuah Talk Show. Shoimin menolak karena merasa tak begitu diperlukan. Meski demikian Shoimin mempersilahkan media yang ingin mewawancarainya.
Begitupin tatkala isteri dan anak-anak Urwah yang saat itu masih dalam pencarian polisi datang ke Tulakan. Ulul Albab kembali menjadi sorotan media. Tanpa adanya konfirmasi yang jelas dengan pihak pesantren, media memberitakan jika Ulul Albab melindungi buron. Polisi bahkan mengirimkan intel untuk mengorek keterangan ihwal anak-anak dan isteri Urwah. Suatu hari seseorang mendatangi pondok dan meminta brosur Ulul Albab. Ia kemudain menanyakan soal keberadaan anak dan isteri Urwah. Uniknya setelah sekian lama berbincang intel tersebut mengaku dari kepolisian dan meminta maaf. “Maaf saya hanya melaksanakan tugas. Ini untuk laporan ke komandan saya,” tutur Shoimin menirukan pengakuan polisi tersebut. Okunum Polisi tersebut juga mengaku tidak yakin jika Ulul Albab terkait dengan terorisme.
Bagi Shoimin tindakannya menerima para janda terduga terorisme semata didasari atas rasa kemanusiaan. Mereka telah banyak menerima tindakan dan perlakuan yang tak semestinya mereka terima. Beberapa diantaranya bahkan tak lagi memiliki tempat tinggal karena rumahnya telah dirusak. “Kalaupun tindakan ayah mereka dianggap salah, anak dan isteri mereka tentu tidak mesti ikut dipersalahkan,” katanya. Apalagi menurut Shoimin masuknya mereka juga dengan cara yang resmi. Meski mereka mendapat sedikit kesulitan ketika mengurus surat pindah. “Ada yang menanyakan kok ada yang kelahiran Mindano Filiphina,” tambah lulusan pesantren Al Mukmin Ngruki ini. Namun demikian proses perizinan akhirnya bisa selesai.
Beberapa isteri dan anak terduga terorisme memilih Tulakan sebagai tempat bermukim bukan karena Ulul Albab atau Shoimin memiliki kedekatan khusus dengan para terduga terorisme. Mereka datang karena merasa masyrakat Tulakan mau menghargai mereka. “Bayangkan. Di tempat lain jasat saudara-saudara kita saja ditolak. Alhamdulillah masyarakat kampung sini baik,” pungkas Shoimin. Masyarakat Tulakan tidak pernah mempermasalahkan kehadiran mereka. Dalam segi pendidikan, mereka juga menyukai pesantren tahfidz. Ini mengapa anak-anak mereka belajar di Ulul Albab.    
****
Senja merambat pelan di Tulakan. Anak-anak kecil ramai berebut bola menuju gawang. Orang tua mereka nampak sibuk dengan bawaannya dari ladang. Penduduknya saling sapa dan menebar senyuman. Gadis-gadis bercadar berkeliling kampung dengan kitab di genggamannya. Mereka bersimpangan, berpapasan dengan warga kampung tanpa ada sungkan. Para calon hafidzoh itu mengunjungi rumah ustadzah untuk setoran hafalan.
Bangunan Ulul Alabab memang bergabung dengan kampung Tulakan tanpa ada batas pun tembok. Para pengajar juga tinggal disekitaran pesantren, membaur dengan pemukiman warga. Beberapa pengajar sudah menetap menjadi warga Tulakan. Beberapa lainnya menyewa rumah warga  untuk bermukim. Rumah mereka berdampingan dengan rumah warga.
 Sedari awal pendiriannya, Ulul Albab memang lahir atas jerih dan payah warga Tulakan, bukan semata kehendak Shoimin. Sekitar tahun 1989 Shoimin baru saja lulus dari Al Mukmin Ngruki. Ia mengabdi selam 2 tahun di almamternya tersebut. Dalam perjalnannya Shoimin muda memiliki keinginan untuk pulang ke kampunya. “Saya mohon izin pada Ustadz Wahyudin, direktur Al Mukmin masa itu,” katanya. Setelah Ustadz Abdulah Sungkar hijrah bersama Ustadz Abu Bakar Baasyir ke Malaysia, Ustadz Wahyudin didaulat menjadi mudir Al Mukmin.
Shoimin pun pulang kampung. Ia teringat dengan pesan Ustdaz Abu Bakar Baasyir tiap akhir tahun. “Jika santri Al Mukmin ada yang jadi PNS berarti santri saya gagal. Santri yang berhasil adalah mereka yang mengajarkan huruf-huruf Al Quran di pelosok-pelosok dan di gunung-gunung,” kenang Shoimin. Petuah itu selalu ia pegang hingga akhirnya Shoimin mulai berusaha mewujdukan mimpi gurunya tersebut. Ia memulainya dengan hal sederhana. Ia mengadakan pengajian rutin bersama warga kampung. Ilmu yang Shoimin peroleh dari ngruki ternyata sesuai dengan warga. Sedari awal warga Tulakan adalah warga Muhmadiyah termasuk kedua orang tua Shoimin.
Setelah pengajian berkembang, cita-citanya untuk mendirikan pondok pesantren semakin menggelora. Sebuah langkah berani Shoimin lakukan, rumah dan tanah yang tak seberapa luas warisan dari orang tuanya ia waqafkan. Namun jauh panggang dari api, Shoimin hanya pemuda tak berada masa itu. Ia bisa belajar di Ngruki pun atas kedermawanan Abdulah Sungkar, salah seorang pengurus Ngruki. Shoimin bak anak asuh Abdulah. Seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh Abdulah.  
Tekat Shoimin sangat kuat. Ia lantas berbicara dengan warga tentang mimpinya tersebut. Warga menyambutnya dengan baik. Namun perkonomian warga cukup ketetran jika mesti menyumbang uang. Akhirnya Shoimin dan warga sepakat membangun pesantren tersebur secara swadaya. Tiap pulang mengajar pesantren di Karangganyar dan Ngruki, Shoimin membuat batu bata. Warga binaanya pun urun tangan. “Saya sih cuma nyatak saja, bukan buat sendiri semua,” candanya. Ketekunan selalu berbuah manis. Sekitar 1500 batu bata akhirnya terkumpul.
Shoimin kemudian mengajak warga untuk mencari pasir dan batu kali sebagai material pembanguan. Sejumlah warga juga menyumbangkan bahan semampu mereka. Beberap memberikan kayu dan bahan bangunan lainnya. Akhirnya kerjasama itu berhasil membuat bangunan berukuran 18 kali 8 meter persegi.  Bangunan itu digunakan dalam aktivitas TPA dininyah.
Tahun 1993 TPA tersebut berkembang menjadi Madrasah Diniyah kuhusus putri. Madrasah diniyah bisa dikatakan sangat langka di wilayah Surakarta dan sekitarnya kala itu. Animo umat terhadap Diniyah tersebut cukup tinggi. Santriwati banyak datang dari berbagai wilayah di Surakarta. Meski awalnya diperuntukan bagi remaja pada usia SMA, murid Shoimin ternyata menyentuh berbagai kelas sosial. Dari pekerja sampai  mahasiswi semua ada dalam lembaga pendidikan yang masih non-formal itu.
Madrasah diniyah bertahan hingga tahun 1996 tatkala Shoimin mulai berfikir untuk membuat lembaga pendidikan yang formal. Sekitar bulan Desember tahun tersebut, cita-citanya terwujud. Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ulul Albab Putri resmi berdiri. Sebelumnya, Shoimin telah merancang yayasan dengan nama yang sama pada tahun 1995. “Karena saat itu orde baru. Orang kumpul, orang datang kan mesti ditanya-tanya sama pemerintah. Jadi saya buat yayasan Ulul Albab,” kenang Shoimin.
Pendirian pesantren tak bisa dipisahakan dari Ustadz Mahsyur, direktur Ulul Albab kini. Mahsyur sejatinya adalah seorang dokter lulus UNS. Singkat cerita Mahsyur dan Shoimin berjumpa. Kebetulan isteri Mahsyur adalah seorang hafidzoh – panghafal Al Qur’an perempuan. Syarat untuk mendirikan pesantren tahfidz adalah harus memiliki guru yang hafal quran sebagai pengampu. Mahsyur dan keluarga akhirnya hijrah ke Tulakan dan mengelola Ulul Albab bersama-sama Shoimin.
Ketika awal pendiriannya, Ulul Albab belum semegah seperti saat ini. Jumlah santri baru 18 orang. Selama dua tahun pondok mengotrak rumah warga sebagai asrama bagi para santri. Rumah mungil Somin pun dirombak agar bisa menjadi dapur, kamar mandi, bahkan tempat tinggal para ustadz sekaligus. “Saya pindah, tinggal di tanah mertua,” kata Shoimin mengenang perjalanan yang tak mudah itu. Namun, akan selalu ada jalan bagi  niat yang mulia. Saat kontrak hampir habis seseorang mewakafkan tanah dan rumah bekas pabrik tahu di samping masjid. Tempat tersebut kemudian menjadi asrama yang kini telah berlantai tiga.
Ulul Albab terus berkembang. Santrinya tak lagi hanya dari Jawa tapi pula Sumatra dan pulau lainnya. Atas permintaan umat, tahun 2001 Ulul Albab membuka pesantren untuk putera.  Pesantren yang dulu pambrik tahu itu akhinya membuka jenjang madrasa Ibtidaiyah, Tsanawiah, hingaa Ma’had Ali. Ma’had Ali sendiri baru berjalan selama setahun ini dengan 10 orang santri.
Pendirian Ma’had Ali dimaksudkan untuk mengasilkan pengajar bagi pondok. “Harapan kita, dengan Ma’had ali kita bisa mempunyai kader,” ucap Shoimin penuh harap. Tak hanya bagi Ulul Albab, para lulusan Ma’had Ali juga diharapkan bisa memenuhi banyak permintaan pengajar dari berbagai pesantren. “Rasa-rasanya, kalau ada yang minta pengajar, kita tidak mampu memberi, kami ndak enak sendiri,” tambahnya.          
****
Kehadiran Ulul Albab adalah oase yang menyejukan bagi warga Tulakan. Meski digempur dengan berita yang seringkali tidak cermat, Ulul Albab dan Tulakan adalah satu dan sebuah kesatuan. Kedunya terus berkembang dengan jalan saling menghargai. Demikianlah pandangan masyarakat Tulakan yang tercermin dari penuturan Slamet Jumadi, perangkat desa yang tinggal di Tulakan.
Ia mengenang kondisi Tulakan sebelum hadirnya Ulul Albab. Tulakan memang bukan tidak mengenal Islam. Namun menurut Slamet, pemahaman agama warganya masa itu masih dangkal. Pembahasan tentang Islam hanya sekedar pada kulitnya. “Dulu pengajian cuma sekali sebulan. Sudah gitu isinya guyon, sulit sampainya,” canda Slamet. Setelah adanya pondok pengajian diadakan lebih intensif dengan materi yang terusun rapih.
Sebagai seorang yang duduk di birokrasi, Slamet juga tidak merasakan adanya perlakuan yang berbeda terhadap Ulul Albab. Keberadaan pondok justru membantu pemerintah desa untuk menata masyarakat. Lewat jalan dakwah pondok mampu membuat masyarakat lebih berkualitas.
Pihak yang selama menurut Slamet cukup perhatian dengan Ulul Albab adalah petugas keamanan. Memang pernah beberapa waktu kepolisian mencurigai pondok, namun kini tidak lagi terjadi. Ulul Albab justru memiliki hubungan yang baik dengan Polsek dan Kodim. Bahkan setiap kali kepala Polsek dan komandan Kodim berganti, mereka selalu datang silaturahmi kepada pihak Ulul Albab.
Slamet juga tak memungkiri jika ada perbedaan antara Ulul Albab dengan masyarakat Tulakan. Perbedaan tersebut ia nilai wajar. “Masyarakat celananya sampai bawah, orang pondok celananya nang duwur polo (di atas mata kaki, Red.) ya itu sangat biasa,” candanya. Perbedaan itu juga tak pernah diributkan oleh masyarakat.
Ihwal dusunya yang menjadi tempat bermukim sejumlah isteri terduga terorisme Slamet juga tidak merasa perlu mempermasalahkan. Para warga pendatang tersebut datang secara resmi dengn prosedur yang ada. Ia mencontohkan ketika isteri Noordin M. Top dan anak-anaknya pidan ke Tulakan. Banyak yang berprasangka buruk, tapi yang ia ketahui mereka telah membeli tanah di  Tulakan jauh sebelum Noordin menjadi buronan. “Sekarang anak-anaknya ada di sini, sudah jadi warga sini. Kalo Pak Noordin M. Top karena sudah buktinya nyata ya hukum yang bekerja,” tutur Slamet.
Masyarakat Tulakan yang adalah warga Muhammadiyah juga merasakan sesuai dengan dakhwah Ulul Albab. Slamet yang mengenal Shoimin sejak anak-anak itu bahkan bercerita jika Somin di tahun 1990-an pernah menjadi ketua ranting Muhammadiyah. Kini Shoimin menjabat divisi dakwah dan isterinya menjadi bendahara bidang pendidikan Muhammadiah Ranting. Ulul Albab sendiri diakui oleh Muhammadiyah sebagai pesantren kultural Muhammadiah. Tiap kali ada pertemuan pesantren Muhammadiyah, Ulul Albab dan Shoimin selalu diundang.
Selamet juga memiliki kesan tersendiri terhadap sosok Shoimin. Shoimin saat awal bisa disebut sebagai orang tak punya di dusunnya. Ibu Shoimin adalah seorang tuna netra sementara ayahnya tidak bisa berjalan. Selain dibiayai oleh Ustadz Abdulah Sungkar, terkadang warga ketika memiliki rezeki juga membekali Shoimin semampunya. “Saya tidak berfikir Shoimin seperti apa besok. Saya tidak menyangka jika Shoimin bisa seperti sekarang,” kenang Slamet dengan sedikit terbata.
Ia berharap agar Ulul Albab bisa istiqomah dengan perjuangannya. Kedepan Slamet juga berharap Ulul Albab bisa berkembang baik secara fisik maupun kualitas sumber daya manusianya. Ia dan warga Tulakan memiliki cita-cita besar dengan keberadaan Ulul Albab. “Anak-anak pondok kan bisa membantu membangun Negara ini kalau yang hafidz disebar ke sluruh Indonesia,” ucap lulusan UII Surakarta ini.

Liputan Majalah Is'ra Pusham UII edisi Pesantern Ulul Albab. By Prayudha

Komentar

  1. Smoga seluruh komponen PPTQ UA slalu istiqomah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. amien... semoga bisa semakin berkontribusi bagi umat...

      Hapus
  2. Semoga PPTQ ULUL ALBAB, semakin kokoh dalam memperjuangkan Islam dan kaum Muslimin... Aamiin.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram