Langsung ke konten utama

Pragmatik "Kebohongan"

pinokio

Kata “bohong” dalam kajian pragmatik – sebuah kajian mengenai ungkapan (bahasa) dan konteksnya - bermakna sangat keras jika diutarakan oleh orang yang memiliki integritas moral. Inilah kiranya mengapa pemerintah berang ketika para tokoh lintas agama menyatakan 18 kebohongan pemerintah beberapa waktu lalu. Kata “bohong” merupakan diksi yang memiliki makna mendalam.
Dalam kajian pragmatik, sebuah ungkapan bisa dipahami menggunakan 3 aspek yaitu lokusi, ilokusi, dan, perlokusi. Lokusi dari kata “bohong” bermakna menyatakan yang tak sebenarnya. Pemerintah dinilai menyatakan yang tak sebenarnya salah satunya pada soal angka kemiskinan. Menurut pemerintah, angka kemiskinan di Indonesia telah menurun menjadi 31,02 juta jiwa. Faktanya, menurut para pemuka agama, masyarakat miskin di negeri ini berjumlah 70 juta jiwa.
Ilokusi adalah maksud sesungguhnya dari sebuah ungkapan. Pada ungkapan 18 kebohongan pemerintah, tokoh agama sepertinya bermaksud memperingatkan pemerintah secara keras. Mereka merasa bahwa bangsa ini sudah berada pada kondisi kritis. Dari berbagai segi bangsa ini terus mengalami kemerosotan.   
Ketika pemerintah mengaku pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8 persen semisal. Angka itu ternyata hanya dinikmati segelintir orang saja. Masyarakat bawah justru semakin terjepit kebutuhan hidup. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak tinggi sementara penghasilan mereka tak jua meningkat.
Di sisi lain, para elit sibuk saling adu intrik untuk mendapat kekuasaan. Dari kasus Gayus Tambunan hingga soal sepak bola semuanya tak luput dari politisasi. Tragisnya, dinamika politik tersebut seringkali tak ada sangkut-pautnya dengan nasib rakyat.
Bangsa ini juga semakin dinistakan dengan paraktik korupsi yang melibatkan mafia hukum hingga mafia pajak. Koruptor yang disepakati sebagai pelaku kejahatan luar biasa malah bersekutu dengan para penegak hukum. Bersama kita lihat betapa para perampok uang rakyat bisa menikmati berbagai keistimewaan dari sejumlah oknum penegak hukum.
Peringatan keras agamawan melalui kata “bohong” diharapakan mendapat respon pemerintah. Respon dari sebuah ungkapan itulah yang disebut sebagai perlokusi. Namun, respon pemerintah atas pernyataan bersama tersebut terlalu reaktif. Pemerintah merasa dilecehkan dengan istilah “bohong”. Pemerintah beralasan pernyataan mereka selalu berdasarkan data yang valid.
Seharusnya, pemerintah memakanai peringatan para pemuka agama sebagai sebuah masukan penting. Pernyataan tersebut merupakan wujud gerakan moral yang lahir dari ketulusan. Tokoh agama tentu tak memiliki kepentingan politik apapun. Yang mereka ungkapkan adalah akumulasi keluhan derita umatnya.
Momentum ini justru adalah saat terbaik untuk menata konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara akan pincang ketika hanya dikelola oleh politikus semata. Ketika para pemuka agama ikut serta, negara ini menjadi paripurna. Nilai moralitas dari agama akan menjadi referensi setiap kebijakan. Sehingga kebijakan negara akan benar-benar jujur memihak rakyatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram