Langsung ke konten utama

Peran Pers

media cetak

Pers memainkan berbagai peranan penting dalam masyarakat. Bernad C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan bahwa beberapa peran yang umum dijalankan pers diantaranya sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang diluar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka.
Tugas sebagai pelapor ini juga diwujudkan ketika pers kadangkala berperan sebagai alat pemerintah (an instrument of government), misalnya ketika ada siaran langsung pidato atau komentar seorang presiden di TV. Tentu saja dalam peran tersebut pers harus tetap netral. Memang, dalam perkembangan sejarah, media kerap dijadikan saluran untuk penyebaran pernyataan-pernyataan pemerintah yang sering dieksploitasi oleh tokoh-tokoh politik yang berkuasa.
Selain sebagai pelapor, pers juga memiliki peran sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa. Di sini selain melaporkan peristiwa, pers menambah bahan dalam usaha menjelaskan artinya, misalnya analisis berita atau komentar berita. Ada pemerkayaan (enrichment) informasi untuk lebih menjelaskan suatu peristiwa. Berita itu selalu suatu laporan, kata Frank Luther Mott, peristiwanya sendiri bukanlah berita – “news is always a report; the event itself is not news.”


Cohen melaporkan juga bahwa ada yang melihat pers sebagai wakil dari publik (representative of the public). Hal ini benar bagi politikus, yang menganggap laporan atau berita menganai reaksi masyarakat adalah barometer terbaik bagi berhasilnya suatu kebijaksanaan. Pers juga berperan sebagai pengkritik terhadap pemerintah. Konsep yang sudah disebutkan di atas adalah peran jaga – watchdog.
Garrison Keillor, seorang humoris, pernah berkata bahwa jurnalisme adalah jantung dari demokrasi. Yang ia maksudkan, bahwa laporan tajam seorang wartawan yang bertujuan membuat dunia menjadi lebih baik adalah sebuah sentral bagi demokrasi. Sementara Joseph Pulitzer mengatakan, kekuatan seseorang akan dibongkar oleh surat kabar dibandingkan oleh hukum, moral, atau undang-undang yang telah mencegah berbagai kejahatan dan tindakan tidak bermoral.
Sering kita dengar tentang jurnalisme watchdog. Jurnalisme watchdog didefinisikan sebagai (1) penyelidikan independen oleh pers mengenai kegiatan pemerintah, bisnis, dan lembaga publik, (2) dengan cara mendokumentasikan, menanyakan, dan menginvestigasi kegiatan-kegiatan mereka, (3) untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan pejabat mengenai isu yang sedang menjadi keprihatinan masyarakat. Kita sering mendengar peran watchdog yang katanya “membantu yang menderita dan membuat yang mapan menderita” – comfort the afflicted and afflict the comfortable.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, kita lihat banyak yang mencoba “menjinakan” watchdog ini dengan segala cara. Tidak sedikit yang akhirnya berhasil. Mereka tidak lagi bertindak sebagai watchdog, tetapi telah berubah menjadi lapdog, yang patuh pada “tuan” mereka. Sering wartawan terbius sehingga lupa akan sikap skeptik yang harus selalu mereka pegang.
Pers juga sering beperan sebagai pembuat kebijaksanaan dan advokasi. Peran ini terutama tampak pada penulisan editorial dan artikel, selain juga tercermin dari jenis berita yang dipilih untuk ditulis oleh para wartawannya dan cara menyajikannya.
Esensinya, jurnalisme mesti menyediakan informasi yang akurat dan terpercaya kepada warga masyarakat agar dengan informasi tersebut mereka dapat berperan membangun sebuah masyarakat yang bebas. Hal ini mencakup tugas yang banyak sekali, misalnya membantu memperbaiki kehidupan masyarakat, menciptakan bahasa dan pengetahuan umum, mendefinisikan apa yang dicita-citakan masyarakat, merumuskan siapa yang pantas disebut pahlawan atau penjahat, dan mendorong orang-orang untuk lebih dari sekedar berpuas diri. Tujuan ini juga mencakup keperluan-keperluan lain, seperti hiburan, menjadi penjaga  - watchdog – dan menyuarakan kepentingan dari mereka yang tidak memiliki suara – voice to the voicless.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.