“ Barangsiapa menasehati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi, berarti ia telah menasehati dan mengindahkannya. Barangsiapa menasehati dengan terang-terangan, berarti ia telah mempermalukan dan memburukkannya.” (Imam Syafi’I dalam Shahih Muslim Bisyar An-Nawawi) Sedari 2012 saya terlibat di sejumlah riset terkait Ormas dan gerakan Islam bersama PUSHAM Universitas Islam Indonesia. Pada kurun waktu itu saya dan rekan-rekan bertandang ke sejumlah Ormas Islam terutama di Jawa. Sosok Abu Bakar Ba’asyir semisal pertama saya temui di Pesantren Al Mukmin, Ngruki Solo dan setahun berikutnya saya temui ketika ia telah menghuni Lapas Batu Nusakambangan. Sosok lain seperti Muchlas dan Amrozi, terpidana kasus Bom Bali, saya telusuri dari tempat eksekusinya di pedalaman Nusakambangan hingga pesantren mereka di Paciran, Lamongan. Untuk memahami sebuah Ormas biasanya kami memadukan studi pustaka dan penelitian lapangan. Ketika mencoba memahami Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) semisal kami mengu
Semua korban adalah orang Indonesia yang dibunuh oleh orang Indonesia sendiri. Disebut sebagai salah satu kebiadaban terbesar di abad ke-20. Peristiwa seputar 1965 adalah labirin tak terpecahkan. Sosok nenek ini kini hidup bahagia. Menikmati teh hangat di pagi hari sembari memandangi bunga-bunga di halaman rumah. Anak-anaknya telah mentas dan menjadi seseorang. Hari senja yang pastinya menjadi dambaan setiap manusia. Di awal tahun ini hari-harinya bertambah ceria. Putrinya yang bersuamikan orang Belanda kini tengah mudik. Ia tengah melakukan penelitian untuk tugas akhir kelulusan. Anak lelakinya juga telah dipindah tugaskan di Pekalongan sebagai seorang kepala cabang sebuah bank. Itu artinya, si anak lelaki bisa lebih sering mengunjunginya. Menjelang siang, sosok yang kerap dipanggil Ibu Mamik ini berjalan beberapa langkah. Ia memantau pembangunan kosan eksklusif di dekat rumahnya. Sesekali ia mengecek pemasangan AC di kamar bawah yang masuk tahap finishing . Tak l