Perlu kiranya tulisan ini diawali dengan
pagar — hedges dalam istilah linguis kenamaan: Georfe Leech. Pertama,
tulisan ini berjarak dengan penulis karena semi ilmiah. Kedua, tulisan
ini sebagai “pembayaran hutang” atas tulisan sebelumnya yang seolah
mendegradasi makna “aktivis”. Ketiga, data dan referensi dalam tulisan
ini didapat dengan metode introspektif atas segala hal yang penulis temui. Terakhir,
semoga cerita kebahagiaan ini bisa membawa kebaikan bagi semua.
Tulisan
ini tiba-tiba saja mengalir ketika saya mengingat ucapan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti
pada sebuah talkshow di sebuah stasiun TV beberapa bulan lalu. Topik
diskusi saat itu adalah soal kabinet ideal yang mestinya Pak Jokowi susun. Prof.
Ikrar berkali-kali menyebut bahwa kabinet mesti merekrut anak muda dan mantan
aktivis. Anak muda yang dimaksud adalah berusia di bawah 40 tahun. Aktivis yang
ia maksud dapat merupakan aktivis kampus dan aktivis lembaga non-profit lainnya.
Terlepas dari jabatan apa yang sekarang dimiliki: birokrat, pengusaha,
akademisi, tokoh muda itu mestinya pernah mencicipi pengalaman sebagai aktivis.
Entah kenapa Prof. Ikrar yang peneliti LIPPI itu sangat menekankan prasyarat
itu bahkan menjadikannya sebagai closing statement. “Mesti anak muda dan
yang pernah jadi aktivis,” ujarnya.
Berikutnya, saya juga ingat curhatan
seorang abang di suatu sore di perpustakan pusat UGM. Temen sekelas saya itu usianya
empat tahun lebih tua dari saya. Dia jomblo pun jobless — kami
senasib. Rupanya bukan dia yang curhat tapi dakulah yang galau
pada akhirnya. Di pertengahan obrolan saya menyadari jika kami sama-sama sedang
kesusahan. Tega sekali jika saya menambah beban abang ini. Mau tak mau dia akan
berempati dan bersimpati. Minimal ikut memikirkannya. Saya pekewuh untuk
menyusahkan siapapun. Hingga akhirnya saya pamitan untuk curhat pada
Yang Kuasa saat TOA masjid berbunyi.
Obrolan dilanjutkan bersama kopi yang
mendingin. Dia bercerita soal anak-anak di rumah bacanya yang baru sukses
membuat pementasan. Ia juga menjelaskan kalau rumah bacanya ditawari untuk
mengadakan penelitian dan pemberdayaan soal “Desa Bhineka”. Desa Bhineka adalah
program salah satu kementrian untuk membangun rekonseliasi bagi wilayah yang
pernah berkonflik. Saya tidak sampai hati berpikir soal dana yang kelak rumah
bacanya terima atau pikiran “dagang” lainnya. Yang jelas saya tahu rumah baca
itu ia dirikan di rumah warisannya. Selama bertahun-tahun, jika ada rejeki, dia
mensubsidi buku dan keperluan lainnya. Ini bagian yang bisa saya bisa bencandain.
“Mas-mas, hidupmu aja susah kok masih sok-sokan mikirin orang banyak,” ejeku.
Berikutnya, saya juga ingat diskusi dengan
sosok abang lainnya. Dia lebih tua tiga tahun dari saya. Apesnya, dia
ketinggalan Transjogja pas wisuda kemarin jadi terpaksa saya duluan yang lulus.
Haha… Tapi soal keilmuan dan pengalaman dia masyaallah. Mesti
diakui dia adalah sosok yang berperan penting dalam perjalanan pemikiran dan
kehidupan saya. Saya tak ragu menyebutnya sebagai guru. Meski kadang ajarannya
agak sesat dan membuat saya agak membabibuta.
Ceritanya
soal asmara. Dia punya kekasih yang kini amat setia. Kenapa “kini”? Ya, karena
sejauh track record yang ada di berangkas hubungan keduanya naik turun
bak tegangan listrik di desa saya. Saat dia masih muda dan saya masih remaja,
berkali-kali saya diminta mengembalikan barang pemberian si mbak. Itu pertanda
aliran asmara tengah terputus diganggu puting beliung. Ini karena si abang cuek
minta ampun. Kerjaannya mikirin orang banyak. Badannya tinggal tulang habis
untuk organisasi. Di manapun sosok ini melakukan community empowerment. Bikin
lembaga nasional, komunitas sastra, sampai bikin kontrakan “sarang penyamun”. Yang
jelas itu nggak ada duitnya. Yang jelas juga si mbak seringkali merasa
merana serasa tak ada yang punya. Kalau pakai pikiran “Tereliyenisme”, wajar
saja si embak akan berlalu mencari yang baru.
Tapi alhamdulillah wa’ syukurillah
tahun ini mereka akan menikah. Sulit diduga bahwa si embak yang berkali-kali
memutuskan aliran listrik asmara akhirnya kembali ke pelukan. Agak sulit masuk
di akal orang tua si embak menerima sosok tukang serabutan dan belum kelar
kuliah ini. Wallohuallah bi’ sawab. Mungkin keikhlasan dan ketulusan
hatinya untuk berbakti bagi sesama membuat para malaikat trenyuh. Malaikat
lantas mendandani si abang bak Bong Chandra (orang muda kaya) digabungin Dude Herlino (ustadz—look)
di depan mata camer-nya.
Di detik-detik ini dia masih rajin ke
warung kopi. Dia masih mau diperdaya adik-adiknya yang tak tahu malu meminta
pengajian soal teori sastra dan filsafat. Semoga dia sudah memasang travo
jutaan watt supaya si embak tegangannya bisa stabil. Hehe…
Berikutnya lagi, saya ingin berkisah ihwal sosok
lebih “dewasa”. Sosok ini pengusaha berpengalaman yang masih saja bujangan. Saya
yang masih kecil ini saja seringkali galau kalau ditanya “kapan?”. Jadi jelas
jika sosok ini mentalnya kesatria baja hitam. Kalau dengar kisahnya saat masih
jadi mahasiswa semua terpana. Sosok ini seperti kucing. Haha… Maksudnya
nyawanya ada sembilan. So pasti, beliau sangat pemberani melawan segala
bentuk penindasan.
Hingga kini ia sangat care buat
kepentingan orang banyak. Di mana-mana dia sodaqoh minimal untuk para mahasiswa
kere atau pengangguran dengan kopi dan kretek. Dia juga merintis gerakan indie
book yang ini serius anti kapitalisme bingits. Dia ingin
memberdayakan penulis-penulis idealis dan para pembaca yang rindu kejujuran. Secara
hitungan sosok ini harusnya sudah berada di perumahan sembari bermain burung di
pagi hari. Tapi dia lebih memilih tinggal di percetakan sembari memeluk hangat Xerox
dan Canon. Sosok yang kerap dipanggil Gus (putra kyai) ini memang sungguh
mulia hatinya.
Pamungkasnya, saya ingin berkisah soal
seorang dosen muda. Dalam jiwanya tertanam dalam semangat Kyai Dahlan. Minimal
itu tampak dari ketabahannya menjadi bapak asrama dari mulai bujangan sampai
kini beranak dua. Alhamdulillah beberapa bulan lalu ia sekeluarga
pindah. Ya, pindah ke asrama lainnya di seberang jalan sana. Haha…
Tapi ia bahagia dengan itu semua. Buktinya, di sela-sela kesibukannya dia masuk
mau pusing mengurusi banyak hal yang non-proffit.
Sosok ini saya kenal punya keunikan. Jaman
saya masih kuliah dulu, dia suka pakai metode mengajar yang penuh improvisasi. Pernah
suatu saat saya diminta keluar kelas karena berkali-kali tidak membawa buku. Tapi,
dalam waktu seketika ia bisa mebuat suasana cair kembali. Yang paling saya
kenang adalah kepeduliannya dengan mahasiswa Rock N’ Roll dan Bluesy.
Baginya, mahasiswa yang mesti “dimanusiakan” bukan saja yang rajin dan ber-IPK
tinggi. Mahasiswa yang suka bikin onar dan kurang berada juga diwongke. Pernah
suatu saat dia menyemangati seorang teman yang pusing belum bisa bayar kuliah,
“Sabar. Usahakan. Saya dulu sering,” ucapnya. Usut punya usut, pas masih
mahasiswa, ia juga gemar bikin onar rupanya. Haha…
Bagi yang ahli critical discourse
analysis mungkin mulai menerka-nerka the ideology behind. Tapi,
hedges di awal tadi jelas menyatakan bahwa tulisan ini hanya bermaksud
berbagi kebahagiaan. Saya tidak ingin mengelaborasi atau menyimpulkan apapun.
Yang jelas saya sepakat dengan anjuran Prof. Ikrar. Sosok-sosok yang sudah saya
“rasani” tadi kiranya cocok memangku amanah selevel menteri. Ini karena
personal yang telah berproses dalam kubangan lumpur aktivisme punya sisi lain
yang tidak dimiliki oleh sosok lain.
Akan tetapi, dalam kajian morfologi,
“aktivisme” merupakan nomina bentukan afiksasi derivatif dari kelas kata adjektif
“aktif” selain juga nomina “aktivis”. Dengan demikian, lewat ilmu “otak-atik
gathuk”, semua dari kita bisa belajar menjadi sosok-sosok istimewa seperti
di atas. Kita bisa menderivasi mentalitas dan karakter kita menjadi sosok yang
membawa harapan; bukan ancaman. Dan, semua abang-abang saya tadi memang akan
menjadi menteri. Sayaratnya, saya yang jadi presidennya. Wkwkwkwkwk….
Cheat Sakong
BalasHapusWSAKONG
IDNSAKONG
Foto Bugil Jepang
Foto Bugil Barat
Foto Bugil Korea