“…pagi makan sore tiada, takan luntur
cintaku pada-Mu. Baju satu kering di badan, takan pudar sayangku pada-Mu.”
(Gubug Derita by Yusnia)
“Ideologi itu seperti rambut. Tidak ada
satu pun manusia di dunia ini yang tidak memilikinya. Ada yang memamerkannya
sebagai komoditas. Ada pula yang menyembunyikannya dengan hijab, topi, atau
kopiah dengan alasan tertentu,” kata Galuh Febri Putra.
Ya, adik tingkatku ini rupanya sudah mumpuni sekali bacaannya.
Harus aku akui jika untuk soal ini aku mesti belajar banyak dengan dia. Dua
tahun ini sengaja aku palingkan muka dari buku-buku terkait teori sosial atau
filsafat. Ini karena aku harus sadar diri dengan keilmuanku yang masih lemah. Akibatnya,
bacaanku selama empat semester ini adalah tentang bahasa — yang dengan cukup
galau kini aku mulai bisa mencintainya.
Analogi
soal ideologi yang Galuh utarakan itu cukup bisa mengakhiri obrolan kami di
Bonbin — kantin kaum proletar di kampus kami — dengan baik. Sebelumnya, kami
tanpa sengaja berdiskusi soal teori-teori sosial yang mutakhir dan relevan. Jujur
saja aku cukup terhenyak dengan perkembangan wacana si Baby Hui ini. Sebelum
dia masuk pascasarjana ilmu sastra aku sempat meminjaminya buku pengantar teori
sosial tulisan William Foley — yang sampai saat ini belum dia kembalikan. Dia
mengerutkan dahi saat itu. Aku pun cukup pede menjelaskan garis besar
isi buku pengantar itu. Dan kini, barangkali aku yang mesti meminjam bukunya
dan mendengarkan penjelasannya.
Pembahasan ihwal ideologi ini menarik dan
penting. Ini istilah yang seolah sepele karena sering seenaknya dipakai orang.
Parahnya, gara-gara istilah ini pula kita sering bertengkar. Pertumpahan darah
dan perang juga mayoritas dimulai dengan penggunaan istilah ini. Pertarungan
Jokowi VS Prabowo pun terancam menjadi kekacauan politik berkempanjangan
gara-gara mereka membawa persaiangan mereka dengan istilah “ideologi”. Kita
juga tentu ingat peristiwa “Gestapu” — pembantaian terbesar di negeri ini — yang
menjadiakan pembantaian sebagai “ibadah” juga didalangi istilah ideologi.
Istilah ideologi barangkali setingkat
dengan kata “ikhlas”, “sabar”, dan “cinta” yang makna dan referennya tak punya
batas yang jelas. Akibatnya, istilah ini seringkali digunakan untuk mengacaukan
akal sehat. Ya, soal kata ikhlas dan cinta semisal. Anda; bukan saya,
barangkali pernah merasa terkhianati. Semisal oleh orang yang anda cintai.
Kekasih anda yang lama anda perjuangkan dengan seluruh jiwa raga tiba-tiba
meninggalkan anda. Alasannya, anda ini pria yang masadepannya kurang jelas.
Masa galau menyergap anda seketika. Langit
rasanya selalu mendung. Seisi kota berubah menjadi ladang pembantaian nan
sunyi. Orang-orang disekitar berubah menjadi zombie yang tak bisa berbuat
apa-apa. Saat itulah para zombie itu membisikan kalimat ghoib, “Ikhlaskanlah.
Cinta tidak harus memiliki.” Anda ingin berubah menjadi tentara pembasmi zombie
seperti di game The Resident Evil bukan?!. Anda ingin membasmi
kawanan zombie itu supaya berhenti berusaha menjadi Mario Teguh: pecinta
terbijaksana di galakasi ini.
Kejengkelan anda cukup bisa dimaklumi. Sakit
hati para korban istilah ideologi pun sudah sewajarnya ada. Hanya karena
memilih partai di masa Orde Lama kok mereka harus dibunuh dengan cara
hina dan keji. Tangan mereka diikat. Perlahan tapi pasti pisau menyayat kulit
hingga putih tulang mencuat. Mata mereka dicukil keluar. Kepala-kepala
dipenggal berguling di tanah. Darah segar memancar dari potongan leher bak air
mancur. Sejenak tubuh tak berkepala itu kejang-kejang. Tubuh-tubuh tak
berkepala itu kemudian dicampakan di kuburan masal di tengah hutan. Para jagal
pulang dengan tawa dan kebanggan soalah mereka baru saja menjalankan perintah
suci. Hal yang begitu merendahkan martabat manusia itu katanya terjadi karena
satu kata: ideologi.
Baiklah. Supaya kita tetap “waras”
barangkali kita perlu paham apa itu ideologi. Kembali lagi saya menukil kamus
untuk mendapatkan pengertian ideologi. Penukilan kamus saya lakukan untuk
memperjelas lahan keilmuan yang sewajarnya saya jangkau. Menurut kamus Oxford,
ideologi adalah a set of beliefs characteristic of a social group or
individual. Sementara itu, menurut KBBI, idelogi adalah: (i) sekumpulan
konsep bersistem, (ii) cara berpikir seseorang atau suatu
golongan manusia, (iii) paham, teori, dan tujuan yg berpadu merupakan
satu program sosial politik.
Secara garais besar, ideologi itu ternyata
sebuah sistem gagasan berpikir. Sistem tersebut bisa dimiliki oleh individu dan
dapat bersifat kolektif dalam sebuah kelompok masyarakat. Sistem gagasan itu
menjadi pengendali atau saringan utama yang menentukan penilaian kita tentang
apapaun: tentang benar atau salah.
Semisal soal galau putus cinta tadi. Anda
barangkali orang modern yang romantis agak naif. Jika demikian, maka
anda bisa menentukan nilai-nilai sesuai dengan kehidupan nyata di dunia. Anda
berhak mengatakan mantan kekasih anda itu salah. Ini karena yang benar soal
cinta dalam pandangan dunia itu ya seperti lagu Gubug Derita milik
Yusnia “…Pagi makan sore tiada, takan
luntur cintaku padamu. Baju satu kering di badan, takan pudar sayangku padamu.
…aku rela walau hidup susah asalakan bersama dalam suka dan duka. …walau hidup
ini dalam gubuk derita.” Anda berhak berideologi cinta nan demikian.
Ya, walaupun mungkin itu hanya ada dalam lagu dangdut klasik atau cerita
fiksi. Di lagu dangdut modern, cinta adalah soal kepuasan seperti lagu Cinta
Satu Malam atau Wedhi karo Bojomu.
Kisahnya akan berbeda jika anda berideologi
Islam yang moderat namun tradisional. Pertimbangan anda soal sikap mantan
kekasih anda ini akan anda bahas dengan rujukan syari’. Semisal
keputusan mantan anda adalah karena “perintah” dari ayahnya. Syarat terpenting
perihal cinta bagi wanita sholehah adalah restu orang tua. Ini karena
pernikahan seorang gadis tidak pernah akan sah jika tidak ada wali. Dengan
demikian anda tidak berhak menyalahkan mantan kekasih anda. Dia hanya ingin
menaati perintah agama. Tapi, barangkali anda berhak “mengkritisi” ayahnya. Ini
karena semisal dia mengatakan pada anda jika anak gadisnya telah dijodohkan
dengan pria baik-baik dengan karier cemerlang dan berasal dari keluarga
bangsawan nan kaya-raya. Ya, anda harus ikhlas meski kata ikhlas
itu sulit didefinisikan.
Penilaian ihwal peristiwa itu pun akan
berbeda jika anda berideologi Islam puritan yang ketat. Anda akan
membahas keputusan mantan kekasih anda dengan merunut dalil secara disiplin. Dalam
pandangan ini, postulat soal jodoh meliputi empat lapis pertimbangan: (i)
agamanya, (ii) nasabnya (keturunan), (iii) hartanya, (vi) rupanya. Melihat
empat postulat tersebut anda kemudian merasa berhak untuk marah. Ini karena
anda merasa jika secara hirarkis anda relatif baik di keempatnya. Tapi, anda
jangan senang dulu. Istilah kekasih apalagi pacaran itu haram dalam ideologi
ini. Jadi, yang paling berhak anda salahkan dalam kegalauan asmara ini adalah
diri anda sendiri. Kenapa anda mesti berpacaran?! Jalur pranikah itu hanya
lewat ta’aruf. Anda berkenalan dengan seorang ukhti selama satau
hari. Berkenalan. Kalau cocok langsung nikah. Kalau nggak anda tidak
akan berlama-lama sakit hati. Ya, selanjutnya, resiko di dalam bus
ditanggung penumpang.
Saya sepenuhnya paham jika pembaca nan
budiman mulai curiga jika tulisan ini hanya curhat colongan. Sebenarnya tidak
sepenuhnya demikian. Persoalan asmara di atas merupakan analogi paling
sederhana dan aman dalam membahas idelogi. Jika saya salah menggunakan analogi,
apalagi menggunakan contoh yang sensitif, saya khawatir bisa memancing
kemarahan.
Sementara ini, kita tersadar jika ideologi
itu sekedar hal yang subjektif. Kita tidak selayaknya “menuhankan” idelogi —
ideologi bukan religi. Tidak boleh lagi kita menafikan nilai kemanusiaan dan
nilai-nilai universal lainnya dengan kekolotan ideologis. Soal benar dan salah
— selama masih pendapat manusia — itu punya potensi keliru.
Namun demikian, seperti Galuh Febri Putra kemukakan,
ideologi itu seperti rambut yang mustahil kita tidak miliki. Mau tidak mau, dalam
segala bidang kehidupan, kita akan mempercayakan idelogi kita untuk membuat
keputusan. Barangkali, agar kita tetap “waras”, kita mesti bisa menghargai
ideologi orang lain yang begitu beragam. Ini seperti kita menghargai rambut
rekan kita yang kebetulan berbeda jenis dan warna. Mengutip ucapan Filosof mahzab
Tapal Kuda: Marlutfe Yoandinas, “kebenaran adalah menghargai
kebenaran-kebenaran lainnya.”
Cheat BandarQ
BalasHapus