“Idealis(me)… orang-orang yang hidup di atas awan.” (Louis
Kattsoff)
Tulisan ini dibuat karena saya terus terngiang dengan
pertanyaan seorang teman seangkatan yang hingga kini belum lulus. Kami
mahasiswa angkatan 2007. Jadi, kira-kira teman saya ini sudah kuliah tujuh
tahun. Dia mempertanyakan hal yang menurutnya berubah dari rekan-rekannya yang
pernah aktif di organisasi kampus. “Manusia memang berubah,” begitu sindirnya. Menurutnya,
rekan-rekannya yang dulu mengaku sebagai aktifis mahasiswa — yang dicitrakan
sebagai mahasiswa idealis yang suka memikirkan nasib bangsa — kini telah
kehilangan idealismenya.
Saya hanya diam
mendengar uangkapan hati teman saya tersebut. Bukan apa-apa. Ini karena saya
sendiri bingung soal batasan dan ukuran idealisme. Kalau saya terburu-buru
sepakat dengan pandanganya, saya takut gibah atau “ngrasani”.
Sebaliknya, kalau saya sepakat, takutnya saya dianggap membela diri. Ya,
walaupun sejatinya saya sama sekali tidak berani menganggap saya ini pernah
jadi aktifis. Saya cuma kebetulan saja pernah mencicipi sedikit proses di
organisasi mahasiswa.
Supaya nggak bingung mungkin saya perlu untuk menengok
definisi dari idealisme. Langsung saja saya buka kamus. Kamus yang saya pakai
(pinjam) merupakan kamus yang resmi alias official. Jadi, kira-kira
pengertian dalam kamus yang saya pakai — makusudnya saya pinjam dari Rahmat
Hidayat, M.A.1 — itu valid dan bisa dipercaya. Menurut
definisi kamus Oxford, idealisme punya tiga definisi:
idealism
noun
1. The practice of forming or pursuing
ideals, especially unrealistically.
2. The representation of things in ideal
form (in art or literature).
3. Philosophy
any of various systems of thought in which the objects of knowledge are
held to be in some way dependent on the
activity of mind.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan tahun 2008, idealisme memiliki
pengertian sebagai berikut:
/idéalisme/
1. aliran dalam falsafah yg menganggap pikiran
atau cita-cita sbg satu-satunya hal yg benar yg dapat dirasakan dan dipahami;
2. hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita
atau patokan yg dianggap sempurna;
3. Kes karangan atau lukisan yg bersifat khayal
atau fantastis yg menunjukkan keindahan dan kesempurnaan.
Definisi dari dua kamus tersebut hampir sama. Kira-kira, ada
tiga pilihan untuk mengartikan seseorang itu dianggap idealis. Pertama, sosok
idealis bisa merupakan orang yang beraliran filsafat idealis. Gampangnya, orang
ini percaya kalau ada Tuhan atau minimal percaya mbah dukun atau hal-hal
yang tidak selalu bisa dibuktikan dengan logika dan panca indera. Kedua, sosok
idealis adalah seorang sastrawan atau seniman yang karyanya butuh “kegilaan”
untuk memahaminya. Misalnya lukisan sang maestro Afandi yang bagi saya yang
awam ini lebih tampak seperti baju (milik saya) yang takdirnya memang tidak
pernah disetrika. Ketiga, orang idealis itu bisa saja sosok yang berjuang keras
untuk bisa mencapai cita-cita atau hidup selalu dalam protokol yang ia anggap
sempurna. Ya, misalnya temen-temen ikhwan yang pakai celana
cingkrang, berjenggot, jidatnya hitam, dan kalau makan kakinya mesti jegang
pun cuma pakai tiga jari. Soal protokol ini saya punya kesamaan: jidat saya
bertanda hitam. Sayangnya, itu bekas luka jaman main perang-perangan saat kecil
dulu. Haha…
Dari tiga
tawaran soal pengertian sosok idealis, saya yakin yang dimaksud teman saya itu
adalah pengertian ketiga. Dia ingin mengatakan kalau kawan-kawannya kini sudah
tidak setia dengan cita-cita aktifis mahasiswa. Cita-cita aktifis mahasiswa
secara umum adalah memperbaiki kehidupan bangsa, membebaskan orang-orang
tertindas, dan melengserkan para penguasa lalim. Akan tetapi, kondisi ideal
yang ingin dicapai oleh aktifis mahasiswa itu tergantung ideologinya. Sederhananya,
kondisi ideal itu bisa lewat jalan kiri atau jalan kanan. Walaupun, yah,
soal terminologi kanan VS kiri juga abstrak bin absurd alias nggak
jelas, blas. Semoga teman saya ini paham keduanya. Semoga.
Yang jelas, yang namanya idealisme itu ternyata soal bagaimana
untuk tetap istiqomah berproses hingga cita-cita ideal tercapai — dalam
hal ini cita-caita berjuang bagi nasib sesama. Idealisme salah kalau hanya
sesimpel ditandai dengan rambut yang tetap gondrong, celana sobek, atau jarang
mandi. Salah juga kalau idealisme seseorang dianggap telah luntur ketika gaya
bicara berubah — biasanya aktifis itu bahasanya sulit dan kalau ngomong
berapi-api. Juga salah kalau idealisme itu cukup diukur dari frekuensi
demonstrasi. Mengutip ucapan seorang Abang, Cak Marlutfe Yoandinas2,
“Idiologi itu sekedar lampu penerang dan rambu lalulintas supaya selamat sampai
pada tujuan; Ideologi itu sendiri bukan tujuan.” Artinya, menjadi idealis itu
tidak boleh menjadi ekstrimis yang berpikir hitam-putih. Menjadi idealis tidak
boleh merasa paling benar dengan caranya dan menafikan kebernaran-kebenaran
lainnya. Menjadi idealis itu mesti elastis tapi kuat ibarat karet ban Truk Tronton:
mengantar muatan hingga tujuan tanpa sedikitpun meleleh dijemur matahari dan
ditimpa beban berton-ton serta dihimpit aspal keras pun dihajar kerikil tajam
jalanan. Yang terakhir, salah bin sesat kalau idealis itu mesti
dibuktikan dengan kuliah selama-lamanya3.
Setelah jelas batas dan ukuran dari idealisme, kita mesti berintrospeksi.
Sejalan dengan perkembangan umur kadang godaan datang: soal bagaimana bertahan
hidup dan melanjutkan kelestarian spesies manusia. Jangan sampai keduanya
membuat kita tergoda untuk mengurungkan hasrat berjuang bagi kepentingan
sesama. Amit-amit jabang bayi, kalau keduanya membuat kita memilih jalan
yang sesat. Keduanya bukan oposisi biner yang bertentangan: bisa seiring
sejalan dan salaing melengkapi. Buat teman saya, semoga pembahasan ini
membuatnya memahami jika idealisme itu tidak berada di ruang hampa. Idealisme
berdialektika dengan ruang dan waktu. Dialektika tersebut menjadikan idealisme
lebih bisa menyesuaikan dengan keadaan. Idealisme tidak bolah kaku seperti
besi. Karena toh besi itu bisa patah hanya karena angin (misal besi
penyangga baliho) dan rapuh hanya karena pergantian cuaca (misal besi jemuran
Bu Kos). Jika ada yang berubah dari sisi cara memperjuangan idealisme, itu
bukan berarti pengkhianatan. Justeru itu sikap istiqomah terhadap
cita-cita agung: berjuang bagi sesama. Itu…. (ala Mario Teguh).
Hehehehe…
Satu hal lagi. Bagi teman saya dan semua yang pernah atau
sedang menjadi aktifis*, menjadi aktifis merupakan cara sederhana untuk
bahagia. Cukup dengan melihat tawa mereka kita seperti sudah mencium bau surga.
Sebagian besar aktifis itu kere-kere dan hidupnya jungkir balik dalam masalah,
termasuk saya, apalagi Cak Marlutfe Yoandinas. Tapi, dengan membantu sesama
membuat kita merasa berhuntung. Ternyata penderitaan hidup kita belum ada
apa-apanya. Ini mungkin berbeda jika kita yang mengaku sengsara tapi enggan
beraktifis. Kita akan merasa tersengsara dan bangga akan kesengsaraannya.
Kebanggan itu membuat mereka selalu marah pada keadaan hingga selalu mengeluh
dan iri serta dengki pada sesamanya. Semoga kita terhindar dari penyakit hati
yang demikian. Amien….
Footnote
1.{Aktifis Islam asal Sumbawa NTB dan kini menjadi anggota
Pramuka freelance}
2. {Mantan aktifis Pers Mahasiswa, kini Mahasiswa S2 UGM yang “hampir
abadi”}
3. {Mohon maaf kalau banyak teman yang ngambek dengan catatan
ini. Pissssss… hehehe}
4. {Aktifis Masjid, Gereja, Vihara, Pure, PKK, Karang Taruna,
Kelompok Tani & Pedagang, Ormas, Parpol, LSM, dan sebagainya}
BandarQ Online
BalasHapusAgen Sakong
Bandar Poker
Judi Domino99
Cheat BandarQ
Cheat Sakong
Hack BandarQ
Foto Bugil Jepang
Foto Bugil Barat
Foto Bugil Korea