Semua korban adalah orang Indonesia yang dibunuh oleh orang
Indonesia sendiri. Disebut sebagai salah satu kebiadaban terbesar di abad
ke-20. Peristiwa seputar 1965 adalah labirin tak terpecahkan.
Sosok
nenek ini kini hidup bahagia. Menikmati teh hangat di pagi hari sembari
memandangi bunga-bunga di halaman rumah. Anak-anaknya telah mentas dan
menjadi seseorang. Hari senja yang pastinya menjadi dambaan setiap manusia.
Di
awal tahun ini hari-harinya bertambah ceria. Putrinya yang bersuamikan orang
Belanda kini tengah mudik. Ia tengah melakukan penelitian untuk tugas akhir
kelulusan. Anak lelakinya juga telah dipindah tugaskan di Pekalongan sebagai
seorang kepala cabang sebuah bank. Itu artinya, si anak lelaki bisa lebih sering
mengunjunginya.
Menjelang
siang, sosok yang kerap dipanggil Ibu Mamik ini berjalan beberapa langkah. Ia
memantau pembangunan kosan eksklusif di dekat rumahnya. Sesekali ia mengecek
pemasangan AC di kamar bawah yang masuk tahap finishing. Tak lupa
ia menoleh ke atas melihat pengerjaan kamar di lantai dua. “Puji Tuhan banyak
yang minat jadi saya bangun lagi,” ujar Mamik sumringah. Setelah itu, ia pergi
ke toko kelontong miliknya yang berada di Jalan Veteran.
Anak-anaknya
ia besarkan dengan didikan yang keras memang. Ia dan almarhum suaminya sedari
kecil mendidik anaknya untuk mandiri dan pekerja keras. Foto-foto di dinding
ruang tamu — berjejer dengan lukisan Yesus, Bunda Maria, dan Kayu Salib — menunjukan
keberhasilan pendidikan di keluarga itu. “Yang besar naik sepeda mini yang
kecil pakai roda tiga nganter minyak di warung-warung,” jelas Mamik
berkisah masa kecil anak-anaknya. Mamikdulu memang dikenal sebagai distributor minyak
tanah yang cukup sukses. Almarhum suaminya juga cukup sukses dengan bengkelnya
di samping terminal lama (sekarang XT Square).
Namun
demikian, sukses itu ia capai dengan proses yang berdarah-darah. Setelah
menikah di tahun 1978, mamik beserta suami memutuskan hijrah dari Minomartani,
Sleman ke Kota. Sembari menemani suami yang tengah merintis bengkel las, ia
mencoba berjualan kue wajik. Dari menitip-nitipkan wajik di warung-warung
akhirnya ia bisa membuka warung sendiri. Warung itu kemudian berkembang menjadi
penyalur minyak tanah.
Ia
sejatinya sempat mencicipi rasanya menjadi guru PNS di tahun 1960-an. Ini
karena ia saat itu belajar di IKIP Yogyakarta jurusan Pendidikan Umum. Namun,
proses sejarah membuatnya mesti berusaha tanpa bantuan negara. Darah yang Mamikturunkan
pada anaknya juga membuat anak-anaknya mesti tangguh. Di saat semua anak
bermimpi menjadi priyayai, Mamik berjibaku memahamkan putra-putrinya untuk
mengubur mimpi menjadi PNS sedalam-dalamnya.
Suatu siang, di pertengahan 1980-an, Mamik
sedikit terperanjat dengan pertanyaan putranya. “Bu, katanya dulu ada
perempuan-perempuan yang nyileti titit-nya jendral sampai mati. Ada di
film Bu,” ujar Mamik menirukan pertanyaan anak keduanya itu sehabis sekolah.
Mamik paham betul bahwa suatu hari pertanyaan itu pasti muncul. Malam harinya,
di antara dongeng pengantar tidur, ia berguaru dengn mencubit titit
putranya. “Kok dicubit Bu. Sakit tahu,” jawab putra kecilnya sembari tertawa
geli.
Mamik
lantas menjelaskan itu sebagai bukti jika film hanyalah film. Film itu dibuat
dan diperankan oleh manusia dengan diatur oleh sutradara[i]. Karena
itu, film sangat mungkin untuk direkayasa. Sejarah juga diceritakan oleh
manusia dan karena itu sejarah juga bisa saja menyimpang dari kenyataannya.
****
Perjuangan
berdarah-darah yang Mamikalami bukan sekedar metafora. Masih jelas diingatan Mamikbagaimana
warna dan bau anyir darah manusia. Peristiwa yang mengoyak naluri kemanusiaan
dan akal sehat itu masih tersimpan berjejal di memori.
Jam
dua dini hari di bulan April tahun 1968, Mamik tiba-tiba terhenyak dari
tidurnya. Pintu kosannya digedor keras berulang kali. Ia dengan ragu membuka
pintu. Segera saja mocong sebuah senapan laras panjang tepat menodong wajahnya.
Satu per satu sekelompok pria tegap berseragam lengkap mengepung tubuh Mamik
yang gemetaran. Salah satu dari delapan pria itu mengaku tengah mencari pemimpin
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) — salah satu organiasi underbow PKI[ii] — untuk
wilayah Kalasan. “Saya tidak tahu. Nama saya Christina Sumarmiyati. Saya masih
mahasiswa,” ucapnya terbata-bata. Pria itu tampak tak peduli dan terus
memaksanya untuk membuat pengakuan.
Karena
tak jua mengaku, Mamik lantas diinterogasi sejadi-jadinya. Ia diminta naik ke
atas sebuah meja. “Lucuti pakaianmu!,” teriak komandan regu itu. Sembari
menangis ia melukar pakainnya. “Saya bukan Gerwani Pak,” ucap Mamik memelas.
Regu itu tetap tak peduli. Salah seorang anggota mengeluarkan korek api dari
sakunya. Dengan cepat pria itu membakar rambut kepala dan kemaluan dara 23
tahun itu. Sontak Mamik berteriak dan mengibas-ibaskan kepalanya. Tiba-tiba
saja meja itu diangkat dan dijungkalkan. Mamik tersungkur ke lantai dengan api
yang masih membakar rambutnya. Tak puas dengan itu, seorang lagi menariknya
hingga ke dinding. Mamik kemudian ditindih dengan sepeda mini miliknya hingga
tak bisa bergerak. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menangis putus asa.
Setelah
itu, Mamik yang tak berdaya kemudian diarak ke sebuah truk militer. Tengannya
diborgol dengan seorang lelaki yang tak ia kenal. Tak pernah terbesit
sedikitpun jika ia akan mengalami hal yang demikian. Mamik memang bukan anggota
Gerwani. Ia sebelumnya pernah ditangkap pada 22 Desember 1965, tak lama setelah
penangkapan ayahnya — aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia). Namun, ia akhirnya dibebaskan
dari Rutan Cebongan pada 14 April 1966 karena tidak terbukti sebagai anggota
Gerwani. Mamik hanyalah aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan PMKRI
(Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Pembebasan tersebut pula atas
bantuan dari Pastor de Blot — Romo berkebangsaan Belanda.
Keanggotaannya
di IPPI dimulai sejak masih SPG. Mamik sangat tertarik karena hampir seluruh
teman sekolahnya yang brilian ikut dalam organisasi tersebut. Setelah masuk
kuliah ia kemudian bergabung dengan PMKRI. Sebagai seorang Katolik yang taat,
ia merasa terpanggil untuk bergabung dengan organisasi mahasiswa tersebut.
Namun
demikian, dorongan hati untuk berkecimpung di organisasi sejatinya dipengaruhi
oleh atmosfir di kelurga Mamik. Orang tua dan paman-pamanya ikut dalam
perjuangan kemerdekaan. “Pamannya saya itu bahkan punya ruang bawah tanah di
rumahnya untuk tempat bersembunyi para pejuang kemerdekaan. Kami sangat
nasionalis,” ucap Mamik dengan nada sedikit mengeras. Dalam nuansa pasca
kemerdekaan yang masih kental, hampir seluruh anak muda kala itu tergabung
dalam organisasi pergerakan.
Mamik
tertarik dengan gerakan kiri karena melihat program kerjanya yang konkrit bagi wong
cilik. Ia mengaku cukup bersimpati dengan pendampingan anggota Gerwani yang
mengadakan pelatihan menjahit pada ibu-ibu di desanya. Karena itu, dengan
berorganisasi, ia berharap bisa melakukan banyak hal bagi sesama.
****
Menjelang
pagi, truk yang Mamik tumpangi sampai di Penjara Wirogunan — kamp konsentrasi
bagi tahanan politik PKI dari Jogjakarta dan sekitarnya[iii]. Ia
masih diborgol bersama seorang lelaki yang tak ia kenali tersebut. Entah dengan
maksud apa, Mamik dan lelaki itu dimasukan dalam satu sel dengan tangan yang
masih saling terikat hingga lima hari lamanya. “Saya tidak kenal sama sekali,”
jawab Mamik menjawab investigator soal lelaki yang diborgol bersamanya itu.
Karena terus berkelit, ia dan lelaki itu ditelanjangi. Keduanya dipaksa duduk
berpangkuan. Martabat Mamik sebagai manusia serasa ambruk. “Mereka (petugas)
malah pergi sambil tertawa,” tambahnya. Tak kuasa menahan sakit, Mamik akhirnya
jatuh pinsan.
Tak
cukup dengan itu, setiap malam Mamik dikonfrontasi dengan tahanan yang baru
masuk. Ia ditanya apakah mengenali sosok-sosok tersebut atau tidak. Jika
terdengar suara truk di tengah malam, hatinya mulai tak karuhan. Itu pertanda
pemeriksaan akan dilakukan dan itu artinya ia akan disiksa. Tiap kali
pemeriksaan, petugas pasti akan menyiksa para tawanan. Mamik selalu
dikembalikan dengan badan penuh lebam. Sedikit melegakan, tahanan ibu-ibu kerap
membaluri luka lebamnya dengan beras kencur. Tapi, setelah sembuh, pemeriksaan
itu dimulai kembali.
Kondisi
itu terus berulang. Puncaknya, Mamik diminta untuk mengenali dua orang tahanan.
Kembali lagi ia sama sekali tidak mengenali lelaki-lelaki itu. Petugas
pemeriksa tentu tak percaya. Tragedi yang sangat menyakitkan kemudian terjadi. “Saya
digered. Saya ditendang. Pakaian saya dilucuti. Kemudian…,” kenang Mamik dengan
terbata. Sejenak ia menarik nafas panjang sembari mengusap air matanya yang
mulai menetes. “Kemudian. Kemudian, saya dipaksa menciumi kemaluan delapan
orang petugas itu. Rambut saya dijambak keras. Saya tak berdaya sama sekali.” Saat
itu ia merasa di situlah akhir hidupnya. Hal yang begitu jauh di luar
kemanusiaan itu meruntuhkan mentalnya. “Mereka yang mengaku ber-Tuhan. Mereka
yang mengaku religius,” tanya Mamik tak percaya jika kebiadaban itu dilakukan
oleh bangsanya sendiri.
Gerakan
memerangi Mamik dan tahanan politik lainnya — pasca 30 September 1965 — memang
membawa sentimen keber-Tuhanan. Mereka yang diindikasi berafiliasi dengan PKI
dianggap anti Tuhan[iv].
Investigasi dan penelitian ihwal peristiwa pasca 1965 menunjukan bukan hanya
aparat negara yang bertanggungjawab. Sejumlah organisasi sipil termasuk Ormas Keagamaan
juga terlibat dalam aksi kekerasan — yang oleh Komnas HAM diputuskan sebagai kejahatan
HAM berat[v]. Kelompok
nasionalis menganggap komunis sebagai pemberontakan pada NKRI dan Pancasila. Sementara
itu, kelompok religi melihat PKI sebagai kumpulan orang-orang anti-Tuhan yang dibenarkan
untuk diperangi.
Dalam
laporannya, Katharine E. McGregor menyebut kekerasan paska G30S (Gerakan 30
September) didalangi oleh propaganda dari militer. Propaganda itu membuat
organisasi sipil bergerak melakukan aksi sepihak pada orang-orang yang dianggap
sebagai komunis. McGregor menyebut organisasi sipil yang terlibat adalah PNI,
Partai Katolik, NU, Muhammadiyah bersama dengan organisasi unberbow-nya[vi].
Sayangnya,
laporan tersebut juga mengungkap keterlibatan PMKRI yang notabene Mamik menjadi
salah satu anggotanya. Salah seorang tokoh Partai Katolik, Harry Tjan Silalahi disebut
menggerakan pemuda PMKRI — bersama dengan Ansor (NU), Kokam (Muhammadiyah),
Tameng Marhaen (PNI) — untuk melakukan aksi kekerasan pada komunis. Aksi
kekerasan yang membuat 500 ribu nyawa terenggut dan sekitar 750 ribu orang
dipenjarakan itu memang rumit dan masih akan menjadi misteri.
****
Penyiksaan
di Wirogunan berlangsung hingga tiga tahun. Pada 1971, Mamik bersama sejumlah
tahanan dipindahkan ke Kamp Plantungan, Sukorejo, Jawa Tengah. “Kami baru bisa
melihat dunia luar. Kami bernyanyi seolah semua telah usai,” kenang Mamik saat
rombongannya berada di dalam truk untuk menuju Plantungan. Kamp Plantungan
ketika zaman pendudukan Belanda merupakan tempat pengasingan bagi penderita
lepra[vii]. Mamik
kemudian bergabung dengan lebih dari 500 tahanan wanita yang saat itu dicap
sebagai anggota Gerwani. Banyak di antara tahanan yang senasib dengannya:
korban salah tangkap.
Ibaratnya
keluar mulut buaya masuk mulut harimau, Mamik dan kawan-kawan menemui Kamp itu
sebagai tempat yang tidak lebih baik. “Penuh semak belukar, ular-ular berbisa,
kelabang, kalajengking, itu sangat menyeramkan,” ingatnya sewaktu dipaksa
membersihakan kompleks penjara. Tahanan saat itu diperintahkan untuk bekerja
dengan tergabung pada unit pertanian, peternakan, penjahitan, produksi, dan
pemasaran.
Selain
itu, tiap-tiap tahanan dijadwalkan untuk bekerja di dapur secara bergantian. Mereka
mesti memasak singkong di pagi hari untuk sarapan. Menjelang siang mereka
diperbolehkan keluar penjara untuk berbelanja di Pasar Kambang. Saat keluar,
mereka diwajibkan mengenakan sarung dengan atasan baju kain tetron berwarna
biru. Itu cukup sebagai tanda bahwa mereka adalah tahanan politik.
Pengasingan
di Plantungan tampaknya difokuskan bagi program indoktrinisasi. Setiap hari
Sabtu para tahanan akan dikumpulkan dan diberi materi soal Pancasila. Intimidasi
juga terjadi dengan mengevaluasi tindakan tahanan selama seminggu. Jika ada
kelompok yang berkumpul dan berbincang-bincang, itu akan dianggap sebagai rapat
gelap. Jika ada yang mengajukan protes, itu akan dianggap sebagai
pembangkangan. Semua serba diawasi.
Hal
yang paling ditakuti Mamik dan tahanan lain di Plantungan adalah pelecehan
seksual. “Sebagai tahanan perempuan kami sadar harga diri. Kami bukan pelacur
tapi tahanan politik,” ujarnya. Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Beberapa
petugas penjara memanfaatkan situasi dengan “ngebon” para tawanan. Petugas
membawa keluar tawanan dan kembali semaunya sendiri. “Ada dua kasus kehamilan
tahanan dengan petugas,” tambah Mamik. Praktik itu menguap begitu saja tanpa
ada peradilan.
Tahanan
perempuan — dianggap berafilisasi dengan Gerwani — memang distigmakan sebagai
perempuan tak berahlak. Beberapa media nasional pasca malam G30S merilis
artikel yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat (AD) tentang adanya “pesta pedang”
atau orgy — pesta dengan aktivitas seks. Artikel yang “seragam” pada
semua media saat itu menuliskan pengakuan seorang Srikandi Lubang Buaya bernama
Djamilah[viii]. Pesta
yang disebut sebagai "tarian harum bunga" itu melibatkan 200 wanita
dan 400 lelaki. Djamilah ini kemdian tidak dapat dikonfirmasi sebagai tokoh nyata
atau hanya sosok fiktif.
Informasi
tersebut dikemukakan oleh Sean Reardon pada penelitian kerjasama antara
Universitas Muhammadiyah Malang dengan Australian Consortium for In-country
Indonesian Studies di tahun 2002. Namun demikian, berdasarkan data
dan dokumen yang ada, Sean memastikan "tarian harum bunga" hanyalah
propaganda AD. “Penggunaan Gerwani sebagai sasaran propaganda Soeharto
memungkinkannya untuk memasukkan isu moral dan seksual yang sangat penting
untuk membuat marah dan menghebohkan orang dimana-mana,” tulis Sean. Propaganda
“pesta pedang” akhirnya bisa membuat marah semua pihak, terutama kaum agamawan.
Cerita
miring seputar Gerwani itu merupakan serangan politis dan ideologis agar
organiasai yang mulai aktif sejak 1950 ini musnah. Secara politis, anggota
Gerwani yang pada 1965 mencapai 1,5 juta merupakan ancaman. Apalagi setelah resmi
mendukung PKI, Gerwani semakin menjadi ancaman bagi pihak-pihak lawan. Secara
ideologis, ideologi femenisme sosialis yang mendasari Gerwani sangat membuat
tidak nyaman para penganut patriarki — paham militerisme Soeharto. Saskia
Elenora Wieringa dalam bukunya menerangkan, “Sejarah Gerwani diputar balik oleh
pihak militer guna menodai PKI dengan konotasi buruk kejahatan seksual”[ix].
Metafora
yang disematkan pada Gerwani sebagai kumpulan wanita tak berahlak sangat
menguntungkan Orde Baru. Tidak saja untuk menghancurkan PKI tapi juga
mengamankan kekuasaan Orba. Siapa saja yang menyuarakan kesetaraan gender dan
hak-hak perempuan akan dicap sebagai antek Gerwani. Dengan propaganda itu, Orba
bisa memadamkan gerakan buruh dan gender selama 30 tahun. Yang paling
diuntungkan dari stigmatiasai ini adalah korporasi.
****
16
Oktober 1976 atau lima tahun setelah diasingkan di Kamp Plantungan, Mamik
bersama 45 tawanan lain dipindahkan Kamp Bulu, Semarang. “Kami yang ngeyel-ngeyel
akhirnya dipindah. Yang manut-manut malah masih tinggal,” terang Mamik
sedikit bercanda menjelaskan alasan ia dipindah. Kamp Bulu adalah penjara
khusus perempuan. Mamik sedikit lega karena ia dan perempuan lain bisa lebih
aman dari ancaman pemerkosaan. Selain itu, keluarga juga diberi keleluasaan
untuk menjenguk.
Dua
tahun berlalu di Bulu. Hingga suatu hari datanglah rombongan dari Amnesti
Internasional. Kala itu, kejadian pasca G30S sudah mulai terdengar samar-samar
oleh dunia internasional. Rombongan relawan Amnesti Internasional berasal dari
Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris[x]. Interaksi
akhirnya bisa terjadi. “Di antara kami ini kan banyak orang-orang pinter
yah,” kata Mamik. Beberapa tahanan yang menguasai bahasa Belanda dan
Inggris akhirnya bisa berkomunikasi langsung dengan para relawan. Mereka
menceritakan segala kejahatan, penyiksaan, dan pelecehan yang telah dialami. “Nah,
penjaganya itu malah ndak dong,” tambah Mamik terkekeh. Kisah nestapa
para tahanan politik itu akhirnya tersebear ke seluruh dunia. Dunia akhirnya
tahu bahwa di negara bernama Indonesia ada kekejaman yang tak kalah mengerikan
dari aksi holocaoust di Jerman.
Suatu
pagi di tanggal 27 September 1978, seorang tahanan meminta agar Mamik dan tahanan
lainnya berkemas-kemas. Mereka diminta berjalan hingga penjagaan terakhir. Tak
dinyana-nyana, hari itu ternyata hari pembebasan. Di luar penjara, Ayah, Ibu,
dan ketiga adik Mamik sudah bersiap menjemput. Meski ditahan tanpa melakukan
kesalahan, Mamik sangat bersyukur atas pembebeasan itu.
Seolah-olah
pembebasan itu karena jasa Amnesti dan tekanan dunia internasional. Laporan
Sean Reardon memiliki mamandang skeptis peran dunia internasional ihwal nasib
Tapol dan korban pasca G30S. Menurutnya, peristiwa seputar 1965 tidak bisa
dilepaskan dari konteks perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet — antara
demokrasi liberal (kapitalisme global) dengan komunisme[xi].
Menurut
Sean, G30S tidak lain adalah kondisi yang diciptakan untuk menggulingkan
Soekarno yang mulai dianggap berbahaya bagi kepentingan barat. Ucapan "Go
to hell America with your aid…" yang Soekarno utarakan saat keluar
dari PBB menggambarkan betapa Amerika sangat berkepentingan untuk menggulingkan
Soekarno[xii]. Melalui
CIA, Bank Dunia, dan IMF, Amerika memanfatkan Soeharto untuk mengkudeta Soekarno[xiii]. “Dia
sejatinya seorang nasionalis sejati tapi karena mempersulit masuknya modal
asing, Soekarno ditersangkakan sebagai komunis,” terangnya. Seperti menjagokan
Rambo sebagai pahlawan di perang Vietnam, barat sejatinya melihat penyerangan
pada PKI — termasuk pembunuhan masal di dalamnya — adalah hal yang
menggemberikan. “Pembunuhan masal itu hanya berita kecil yang semakin
memperkuat kemenangan Barat,” pungkas Sean.
****
Di
hari pembebasannya, Mamik sudah berusia 32 tahun. Sepuluh tahun ia habiskan
waktu mudanya dengan kepedihan atas kesalahan yang mustahil ia akui. Dunia
bebas perlahan menyadarkan jika ia manusia dan ia wanita. Mamik mulai menyadari
jika ia harus memulai hidup normal.
Suatu
sore ayahnya membuka sebuah obrolan. “Nduk, kamu sudah umurnya loh,” ucap Mamik
menirukan sang ayah. “Terus?” jawab Mamik terkejut. Sang ayah mulai membahas
pemuda bernama Edi. Edi ini sebelumnya sudah beberapa kali bertandang ke rumah
Mamik. Mamik, dengan perjuangan hidupnya yang keras, menganggap pernikahan itu
mesti siap lahir dan batin. Ia bercita-cita untuk mengejar ketertinggalannya
selama ini. “Kalau ndak sama dia siapa lagi yang mau sama orang seperti
kamu (mantan Tapol),” tegas sang ayah. Edi rupanya adalah anak dari seorang
tahanan yang pernah Mamik tolong ketika di Wirogunan. Mamik kerap membuat
hiasan dari rambut panjangnya yang ia potong. Hiasan itu kemudian oleh seorang
ibu dijual dan dibelikan kue galundheng. Galundheng itu kemudian
dikirimkan pada Edi yang ditahan di penjara laki-laki.
Berkat kue galundheng, tanggal 25
November 1978, Mamik dan Edi resmi menikah. Meski berbeda keyakinan, keduanya
akhirnya bisa bersatu. Salah satu syarat yang Mamik ajukan adalah agar kelak
anak-anaknya mengikuti imannya. Mamik dan Edi akhirnya dikaruniai satu anak
perempuan dan seorang anak lelaki. Sebagai wujud rasa terimakasihnya pada
bantuan para Romo, Mamik memiliki nadzar jika kelak salah satu anaknya dia
persembahkan sebagai Romo. Keluarga itu semakin mesra ketika di tahun kesepuluh
pernikahan, Edi akhirnya mau untuk dibaptis. Mamik juga mengabdikan dirinya di
yayasan Yakkum — organiasai amal dan sosial Katolik.
Meski
demikian, keluarga kecil Mamik mesti bertahan dari stigma sebagai mantan Tapol
selama berpuluh-puluh tahun. Angin segar sedikit berhembus saat Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapuskan sejumlah diskriminasi negara pada
keluarga dan mantan tahanan politik yang terkait dengan PKI. Wacana mengenai
penghapusan Tap MPRS No. XXV/1965 mengemuka. Usulan penganai diundangkannya Undang-undang
(UU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) muncul pada 2004[xiv]. Namun
demikian, perlawanan terhadap usaha rekonselisasi nasional itu begitu kuat. UU
KKR batal dan Presiden Gus Dur pun akhirnya dilengserkan.
Tokoh
NU dan ICMI, Salahudin Wahid mengamini jika NU terlibat namun ia juga
menekankan bahwa konteks saat itu adalah kondisi peperangan. Artikelnya di Republika,
Kamis, 06 Nopember 2003 mengemukakan urgensi adanya rekonseliasi nasional. Ini
agar kejadian serupa tidak akan terulang lagi. Selain itu, rekonseliasi akan
memperkuat kekuatan nasional untuk menyongsong masa depan[xv].
Namun
demikian, rekonseliasi hanya akan terjadi jika peristiwa seputar 1965 bisa
terungkap secara terang benderang. Romo Franz Magnis-Suseno meminta agar usaha
untuk mengungkap peristiwa 1965 terus dilakukan[xvi]. Pada
harian Kompas edisi Senin, 03 Oktober 2005 ia menulis: “…mereka yang
kemudian membunuh, atau membiarkan dibunuh, ratusan ribu saudara dan saudari
sebangsa, yang menangkap, dan sering menyiksa jutaan orang, yang menahan
puluhan ribu orang lebih dari 10 tahun lamanya, yang mencuri hak warga, dan
sering juga hak miliknya, dengan dalih mereka terlibat PKI/G30S, padahal banyak
yang tidak terbukti. Itu semata-mata karena orientasi politik mereka, salah satu
kebiadaban terbesar di bagian kedua abad ke-20.”
Salah
seorang ilmuan yang sejak awal menyoroti peristiwa seputar peristiwa 1965, Benedict
Anderson terus memantau perkembangan dari kasus tersebut. Pakar kajian
Indonesia dari Cornell University baru bisa menginjakan kaki di Indonesia
setelah Orde Baru tumbang. Ia cukup gembira dengan gerbarakan yang dilakukan
oleh Gus Dur pada saat memerintah[xvii]. Ia
menilai ormas-ormas yang terlibat sudah mau bersikap jujur. "Ini sangat
bagus, walaupun mereka (NU) harus menghadapi fakta bahwa di antara keluarga
mereka sendiri ada yang menjadi algojo. Dan rupanya mereka bersiap untuk itu,”
ujarnya dalam wawancara dengan Radio Nederland pada September 2005.
Namun
demikian, ia kecewa karena pengungkapan pelanggaran HAM 1965 kini mandek. Ada
beberapa pihak yang masih belum terbuka karena disandera kepentingan besar. "Nah
ini, sampai sekarang Kompas tidak pernah mau terus terang tentang
peranan yang penting dari orang-orang Katolik ini (Frans Seda dan Harry Tjan
Silalahi). Semua ditutup dengan kata-kata halus. Ya, style-nya Kompas,
bisa diketahui dengan istilah yang kita semua sudah kenal,” tambah Anderson. Namun
demikian, ia tidak bermaksud untuk memojokan siapapun. Ia hanya ingin semua
pihak bisa bersikap jujur agar rekonseliasi nasional di Indonesia bisa cepat
terwujud. [dimuat di Majalah Pranala Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia UII]
[i]
Film “Pengkhianatan G30S/PKI”
[ii]
Wieringa, Saskia Elenora. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik
Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Yogyakarta: Penerbit Galangpress.
Hlm. 282.
[iii]
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa
dalam Pusaran Politik. Jakarta: Trans Media. Hlm. 297
[iv]
Kasemin, Kasiyanto. 2003. Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Pencabutan
Tap MPRS/XXV/1966. Yogyakarta: LKiS Hlm. 38.
[v]
Pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tahun 2012 tentang
Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat pada Peristiwa 1965-1966.
[vi]
McGregor, Katharine E. 2009. The Indonesian Killings of 1965-1966. Paris:
SciencesPo. Hlm 4.
[vii]
Lestariningsih, Amurwani Dwi. 2011. Gerwani: Kisah Tapol Wanita
di Kamp Plantungan. Jakarta: Kompas.
Hlm. 167.
[viii]
Reardon, Sean. 2002. Laporan Penelitian.
Peristiwa ‘65/’66: Pembunuhan Masal PKI. Universitas Muhammadiyah Malang
kerjasama dengan Australian Consortium for In-country Indonesian Studies. Hlm. 23.
[ix]Wieringa,
Saskia Elenora. Op.Cit., Hlm. 28.
[x]Sumarwan,
Antonius. 2007. Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan
Upaya Rekonseliasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm. 71.
[xi]
Reardon, Sean. 2002. Op.Cit. Hlm. 2.
[xii]
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia Volume VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 468.
[xiii]
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. Hlm.
255.
[xiv]
Sumarwan, Antonius. 2007. Op.Cit. Hlm. 216.
[xv]
Wahid, Salahudin. 2003. “Kemanusiaan dan Keberagaman Mendorong Kita
Rekonsiliasi” . Republika, Kamis, 06 Nopember 2003.
[xvi]
Maginis-Suseno, Franz. 2005. “Pancasila Sakti”. Kompas, Senin, 03
Oktober 2005.
[xvii]
Wirantaprawira, Cyntha. Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965. Heidelberg:
Lembaga Persahabatan Jerman-Indonesia. Hlm. 454.
Serem ih ceritanyaa.
BalasHapuslabirin
RGOSAKONG
Cheat BandarQ
BalasHapusKontes Seo IDNSAKONG 30jt
BandarQ
Sakong
BandarQ Online
Agen Sakong
g30s pki memang sangat menyeramkan dan sangat meninggalkan luka mendalam kepada rakyat indonesia dan terimakasih atas artikel ini yang sudah memberikan wawasan kepada saya. dan jangan lupa intip intip cheat judi online yang saya buat di sini .
BalasHapus*(Cara Menang Main AduQ)*
*(Cara Menang Main Sakong)*
*(Cara Menang Main BandarQ)*
*(Cheat Hack AduQ)*
*(Cheat Hack BandarQ)*
*(Cheat Hack Sakong)*
*(Akun Premium BandarQ)**(Cheat Hack BandarQ)*
BalasHapus*(Cara Curang Main BandarQ)*
*(Tips Main BandarQ)*
*(Cara Hack BandarQ)*
*(Cara Menang Main BandarQ)*
*(Aplikasi Hack BandarQ)*
*(Trik Curang BandarQ)*
*(Akun Premium Judi Online)*
*(Cheat Hack Judi Online)*
*(Tips Main Judi Online)*
*(Cara Hack Judi Online)*
*(Cara Menang Judi Online)*
*(Aplikasi Hack Judi Online)*
*(Cheat BandarQ)*
*(Cara Curang BandarQ)*
*(Cara Menang BandarQ)*
*(Trik Menang BandarQ)*
*(Aplikasi Hack BandarQ)*
*(Aplikasi Cheat BandarQ)*
*(Trik Jitu BandarQ)*
*(Cara Menang BandarQ)*
*(Cheat BandarQ)*
*(Cara Hack BandarQ)*
*(Rahasia Menang Main BandarQ)*
*(Cara Curang Main BandarQ)*
*(Akun Premium BandarQ)*
*(Cheat Hack BandarQ)*
*(Cara Curang Main AduQ)*
Ceme
BalasHapusBandar Ceme
Ceme Keliling
Agen Ceme
Agen Sakong
Hack Sakong
Akun Premium