Langsung ke konten utama

Urgensi Pendidikan Kebencanaan

Kita teramat berduka melihat begitu banyak korban tsunami Mentawai dan letusan Merapi. Kepedihan ini membuat kita menyadari bahwa negeri ini memang berada di wilayah rawan bencana. Selain itu, ancaman bencana yang tak sepenuhnya mampu diprediksi juga masih mengancam di masa mendatang. Kenyataan kita hidup di wilayah rawan bencana harus disikapi secara serius.
Masih tingginya jumlah korban tiap kali terjadi bencana menunjukan masih rendahnya kesadaran tanggap bencana. Lemahnya kesadaran selain terjadi di lembaga penanganan bencana pula terjadi pada masyarakatnya. Peringatan dini bencana yang tak berjalan baik ditambah sikap kurang waspada masyarakat seringkali menjadi penyebab tingginya jumlah korban.

Selain kinerja lembaga penanggulangan bencana yang harus dievaluasi, sikap dan cara pandang masyarakat terhadap bencana juga perlu diperbaiki. Melihat resiko bencana yang tinggi, perlu kiranya dirintis sebuah pendidikan kebencanaan.


Pendidikan kebencanaan bertujuan untuk mengembangkan sikap tanggap bencana. Dengan berbagai materi, peserta didik diajak untuk sama-sama memahami besarnya potensi bencana di Indonesia. Di dalamnya dipaparkan potensi benacana masing-masing wilayah dan kemungkinan waktu terjadinya. Pesrta didik juga diajarkan cara menyelamatkan diri sendiri dan orang lain saat bencana terjadi. Selain itu, diberikan pula materi kesiapan mental untuk bertahan dalam kondisi bencana.


Materi-materi dalam pendidikan kebencanaan memuat berbagai disiplin ilmu. Geografi, fisika, psikologi, dan cabang ilmu terkait benacana lainnya disusun agar mampu secara tuntas menjelaskan konsep tanggap bencana. Meteri tersebut harus terangkum dalam sebuah mata pelajaran khusus agar lebih fokus. Saat penyampaian mata pelajaran umum, hendakanya pula disisipkan kaitannya dengan pengembangan kesadaran tanggap bencana.


Pendidikan kebencanaan haruslah berlaku sacara nasional. Artinya, pendidikan kebencanaan harus secara langsung dikonsep dan dikoordinasi oleh Depatemen Pendidikan. Diknas harus menentukan standar kisi-kisi materi tanggap bencana. Karena tiap daerah memiliki potensi bencana yang berbeda, meteri pembelajaran fokus pada karakteristik bencana masing-masing daerah. Penyusunan materi juga harus melibatkan badan yang terkait dengan penanggulangan bencana. Ini agar materi benar-benar mampu diaplikasikan secara nyata.


Materi pendidikan kebencanaan di sini ditujukan bagi pendidikan formal. Pendidikan kebencanaan sebaikanya diberikan dari satuan pendidikan tingkat bawah seperti TK dan SD. Hal Ini karena anak-anak menjadi bagian yang paling rawan terkena dampak bencana. Selain itu, pemberian materi pada usia anak-anak akan membekalinya sikap tanggap bencana hingga dewasa.


Walaupun dipersiapkan bagi pendididkan formal, konsep pendidikan kebencanaan juga bisa diterapkan pada masyarakat umum. Bagi masyarakat umum, materi dan penyampaiannya tentu harus disesuaikan. Secara tanggungjawab, pendidikan kebencanaan bagi masyarakat umum adalah domain lembaga penanggulangan bencana maupun unsur pemerintah terkait.


Pentingnya pendidikan kebencanaan ternyata mulai mendapat tanggapan pemerintah. Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Noeh mengutarakan rencananya untuk mulai menyusun modul materi tanggap bencana. Kita berharap banyak bahwa rencana itu akan sungguh-sungguh direalisasikan. Semoga dengan bangsa ini lebih tanggap bencana, jumlah korban bencana mampu ditekan. Lantas, takdir negeri ini dengan kerawanan bencananya semoga justru akan menempa kita menjadi bangsa yang lebih baik. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.