Aksi menuntut penetapan Sultan |
Hak Asasi Manusia (HAM) akan ramai dibicarakan saat menjelang hari peringatan HAM atau Pemilu. Ini karena isu tentang HAM tak hanya menjadi perhatian publik dalam negeri tetapi juga masyarakat internasional. Kiranya, hanya sampai situ saja HAM dimakanai di negeri ini. Ketika pelanggaran HAM terus saja terjadi meski katanya saat ini kita telah hidup di alam demokrasi, itu adalah hal bisa. Seperti itulah ironi penegakan HAM di negeri demokrasi.
Hari-hari ini, masyarakat Jogja terusik kedamainnya oleh pernyataan Presiden SBY yang menyiratkan bahwa sistem pemerintahan DIY itu monarki dan tak sesuai dengan demokrasi. Sontak, masyarakat DIY memrotes pernyataan itu dan segera melakukan berbagai gerakan. Masyarakat menilai, meski bercorak kesultanan, pemerintahan DIY telah mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sistem pemerintahan apapun pada dasaranya adalah harus mampu menjamin hak-hak dasar masyarakat yang dinaunginya.
Hak-hak dasar tersebut pula digolongkan sebagai hak asasi. Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi. Ini terlihat dengan dibuatnya instrumen-instrumen untuk menjamin penghormatan HAM. HAM di Indonesia termaktub dalam Undang – Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hak-hak dasar tersebut pula digolongkan sebagai hak asasi. Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi. Ini terlihat dengan dibuatnya instrumen-instrumen untuk menjamin penghormatan HAM. HAM di Indonesia termaktub dalam Undang – Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Namun, realitas membuktikan bahwa penegakan HAM di Indonesia masih begitu lemah. Bagaimana bisa disebut negara HAM ketika pihak minoritas dan lemah terus saja ditekan? Mengapa masyarakat yang kebetulan berkeyakinan lain selalu harus dimusuhi bahkan secara anarkis? Mengapa masyarakat miskin terus saja dimiskinkan dengan kebijakan yang tak adil dan praktik korupsi yang tak pernah sungguh-sungguh berniat dihilangkan? Pula mengapa mereka yang kita sebut sebagai ‘pahlawan devisa’ (TKI) terus saja menerima tindakan biadab tanpa ada solusi tuntas dari pemerintah? Jawabannya hanya satu: negara ini belum mampu menjamin hak dasar – hak asasi – rakyatnya.
Padahal, demokrasi lahir dari semangat menjujung tinggi HAM. Istilah demokrasi mengalami penyempitan makna ketika di ‘copy – paste’ ke Indonesia. Demokrasi hanya dimaknai terbatas pada soal suara dalam Pemilu. Suara rakyat di-majaskan sebagai ‘Suara Tuhan’ saat Pemilu. Setelah itu, jerit tangis dan teriakan minta tolong rakyat dianggap sambil lalu saja oleh mereka yang katanya terpilih secara demokratis. Apakah ini yang disebut sebagai negeri demokrasi yang menjujung tinggi HAM?
Ungkapan Presiden SBY ihwal monarki vs demokrasi cukup menjawab pertanyaan itu. Yang terpenting dari domokrasi di negeri ini adalah bentuk pemerintahan dan tetek mbengek soal pemilihan langsung. Nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai esensi demokrasi tak dianggap penting.
Sepertinya, akan lebih baik jika kita hidup di sebuah negara monarki yang di dalamnya HAM begitu dijunjung tinggi. Sepertinya pula, kita akan lebih bisa hidup damai meski dipimpin oleh pemimpin yang tak dipilih langsung tapi benar-benar tulus berjuang melindungi segenap rakyatnya. Namun, tentu akan jauh lebih baik jika kita bernaung dibawah negera demokratis yang memperjuangkan hak-hak dasar rakyatnya. Semoga.
Komentar
Posting Komentar