Langsung ke konten utama

Pers Mahasiswa Vs SIUPP dan STT


freedom of press 

Kondisi politik yang bergejolak memaksa beberapa pers mahasiswa harus menghentikan terbitannya. Penguasa melalui apparatus-nya meletakkan legitimasi sebagai senjata utamanya. Pers mahasiswa dihadapkan dengan berbagai kemungkinan pereduksian dan pembatasan penerbitan. Soal Surat Tanda Terbit (STT), menyalahi penerbitan khusus, pemberitaan yang politis praktis, dan sebagainya. Pemerintah terlihat sensitif dengan gerakan mahasiswa. Indikasi-indikasi kecil saja harus segera dipangkas sebelum tumbuh. Begitulah sikap pemerintah dan gejolak politik perlu dicermati.
Periode I PPMI 1993–1995 berakhir. Tetapi proses konsolidasi yang dilakukan belum selesai. Konstelasi politik menuntut kepedulian lebih, membuat solidaritas gerakan semakin memuncak. Semangat perlawanan terhadap penguasa yang otoriter tak pernah lelah dilakukan. PPMI pun tidak tinggal diam. Sebuah organisasi yang didirikan tanpa orientasi politik tertentu, tapi entitas pers mahasiswa membawa PPMI harus selalu kritis dalam beroposisi.27 Berjarak dengan penguasa dan bukan pembela kesewenangan. Menolak pembatasan-pembatasan atas kebebasan.
Untuk menyegarkan nafas perjuangan, Kongres II PPMI pun digelar oleh Majalah Pijar FKIP Univesitas Jember, meski terlambat tiga bulan. Kongres kedua PPMI digelar di tengah situasi dimana PPMI masih disibukkan dengan kerja-kerja konsolidasi pers mahasiswa yang belum rampung dan kondisi politik yang sangat sensitif waktu itu. Peserta Kongres terlihat resah dengan masalah keamanan. Kemudian diputuskan untuk beralih tempat. Karena yang bertanggungjawab adalah kampus, maka forum dipindah ke dalam kampus.28
Jika periode I PPMI masih terlihat berhati-hati dalam bersikap, maka periode II PPMI ini tegas bersikap. Berbagai pertimbangan praktis, elitis, dan kompromis ditanggalkan jauh-jauh. Tegas tapi dinamis. Menjunjung tinggi orientasi kritis, memperjuangkan kebebasan dan berpegang pada independensi media. Setidaknya itulah poin-poin penting yang diputuskan dalam rekomendasi Kongres II PPMI.29 PPMI tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.

Perdebatan mengenai penggunaan nama ‘penerbitan’ atau ‘pers’ berakhir sudah. Sikap kompromis penggunaan istilah ‘penerbitan’ selesai. Istilah ‘pers’ pun digunakan dan ditetapkan pada kongres kedua ini. PPMI kini berubah menjadi: Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Tidak perlu legalitas dan pengakuan. PPMI berani menggugat. Periode kedua ini lebih lantang menantang.
Sekali lagi, PPMI bukan organisasi de jure yang elitis namun lebih bersifat akomodatif pada anggotanya. Mewadahi dan menghimpun upaya kontrol sosial sebagaimana tujuan pers mahasiswa.
Pers mahasiswa mulai bergeliat. Kantong-kantong gerakan pers mahasiswa baik di level wilayah maupun kota bermunculan dan begitu dinamis. Semangat melakukan perubahan pun tertuang dalam perlawanan terhadap regulasi yang mengekang kehidupan pers mahasiswa.30
Kongres II PPMI pada 14-17 Desember 1995 ini dihadiri oleh 77 LPM dari 47 Perguruan Tinggi di Indonesia. Hasilnya, Dwidjo Utomo Maksum terpilih menjadi Sekjen II PPMI periode 1995-1997. Presidium Pusat PPMI periode 1995-1997 selengkapnya dalam Ketetapan Nomor 07/Tap/Kongres II/PPMIXII/1995 tentang Presidium Pusat Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Periode II 1995-1997 adalah: Dwidjo Utomo Maksum (Sekjen Presidium Pusat), Syafarudin Usman (Presidium Wilayah Kalimantan Barat), Moh. Ridwan (Presidium Wilayah Lampung), Nana Rukmana (Mediator Wilayah Jawa Tengah), Anthon Yuliandri (Presidium Wilayah DI Yogyakarta), Ahmad Amrullah (Presidium Wilayah Jawa Timur), I Made Sarjana (Presidium Wilayah Bali), Suparno (Mediator Wilayah Sulawesi Selatan), Mohammad Iqbal (Presidium Wilayah Sulawesi Tengah), Muhrim Bay (Presidium Wilayah Sulawesi Tenggara), dan untuk sementara Mediator Wilayah Jawa Barat adalah Dewan Kota Bandung.31
Selain itu, kongres merekomendasikan untuk membuat Kode Etik Pers Mahasiswa sebagai acuan etika pers mahasiswa dan seruan yang tertuang dalam sebuah Deklarasi. Deklarasi itu kemudian disebut Deklarasi Tegalboto. Berikut kutipan isinya:

DEKLARASI TEGALBOTO32
“Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI] merupakan elemen kekuatan alternatif yang lahir dari pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia untuk menghimpun potensi yang dimiliki dengan didasari komitmen moral, kerakyatan dan intelektualitas.
PPMI adalah wadah yang berbasis pada pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia menegaskan kembali bahwa PPMI tidak berorientasi kerja elitis dan bersifat mandiri sebagai basis tumbuhnya sikap idealisme dan kepedulian sosial.
Dengan keprihatinan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami degradasi struktural maupun moral maka PPMI meyakini bahwa fenomena sosial yang ada merupakan agenda permasalahan yang integral dalam pers mahasiswa sebagai manifestasi fungsi pers mahasiswa. Untuk itu diperlukan pers mahasiswa yang sanggup mengkonsolidasi kekuatan internal organisasinya, serta mempertegas sikap terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang.
Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan kepada pers mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa untuk berani dan terus menerus menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerayatan.
Berkaitan dengan alat kemandiriannya, PPMI bertekat untuk terus memperjuangkan demorasi, independensi dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.
Langkah selanjutnya, PPMI sebagai salah satu bentuk lembaga mahasiswa yang berakar dari kekuatan mahasiswa akan terus memperjuangkan kebebasan akademis dengan tidak mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Tegalboto Jember, 17 Desember 1995
Kongres II
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI]

Periode ini berusaha memantapkan posisi, orientasi, dan sikap oposisi sebagai pengontrol kebijakan pemerintah. Penolakan SIUPP dan STT adalah bukti ketegasan untuk mendobrak kekangan pemerintah terhadap kebebasan memeroleh informasi dan berpendapat. Tentu saja sebagai sebuah badan pengontrol, PPMI harus benar-benar otonom, lepas dari keterkaitan apapun dengan pemerintah. Oleh karena itu PPMI memutuskan mengubah kata dari ‘Penerbitan’ menjadi ‘Pers’, yang berarti menepis harapan untuk dinaungi salah satu lembaga pemerintahan, yaitu Dikti.33 
Sikap tegas lainnya, yakni menolak sinkronisasi kurikulum diklat pers mahasiswa dengan Dikti. Karenanya PPMI kemudian merumuskan materi dan kurikulum diklat tersendiri yang berbeda dengan kurikulum Dikti, sebab rumusan dari Dikti dinilai tidak relevan serta mengakibatkan degradasi kualitas SDM di tingkat pers mahasiswa.
Dengan demikian, pers mahasiswa berhak menentukan rumusan diklat jurnalistik. Rumusan kurikulum diklat PPMI ternyata lebih diminati kalangan pegiat pers mahasiswa. Terbukti dengan membanjirnya peserta di pelatihan jurnalistik yang diadakan di Universitas Merdeka (Unmer) Malang yang menerapkan konsep dan kurikulum PPMI.34 
Penekanan kinerja pengurus periode ini masih mengarah pada penguatan konsolidasi dan sosialisasi. Penyosialisasian dan usaha pembentukan PPMI di berbagai daerah luar Jawa terus dilakukan. Walaupun begitu, wilayah kerja, terutama di bidang advokasi, mengalami sedikit perluasan. Kerja-kerja tidak lagi hanya diarahkan ke internal pers mahasiswa, tapi mencakup hal-hal lain, sekitar kekerasan negara terhadap publik.
Kerja advokasi pada kepengurusan ini yang seringkali berbentuk press release tidak hanya mencakup seputar masalah pers mahasiswa saja, seperti penyikapan atas pembredelan Majalah Aspirasi UPN Jakarta yang disertai pemecatan Pemimpin Redaksinya sebagai mahasiswa, pembredelan halaman Majalah Indikator FE Unibraw, tidak diijinkan terbitnya Majalah Arena IAIN Sunan Kalijaga, dan tidak diijinkannya beredarkan Majalah Invest oleh Rektor STIESIA Surabaya. Di bidang kemahasiswaan, PPMI mendorong pada kebebasan akademik dan mendukung upaya penegakan independensi lembaga kemahasiswaan.
Lebih luas lagi PPMI memberi perhatian serius pada isu-isu kekerasan. Seperti pada kasus insiden aksi mahasiswa 24 April 1996 di Ujung Pandang (Makasar),35  Tragedi 27 Juli 1996 (pengambilalihan kantor PDI), dan kasus pembunuhan terhadap Fuad Mohammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta. Dalam pernyataan sikapnya, PPMI tegas menolak segala bentuk pendekatan keamanan (security approach) yang dilakukan aparat untuk meredam sikap kritis masyarakat.36 Pun ketika terjadi kasus penghilangan nyawa wartawan Bernas. Kasus ini jelas sebagai bentuk intimidasi penguasa terhadap keberanian pers Indonesia dalam melakukan pemberitaan yang objektif.
Keputusan Kongres II PPMI ini segera direspon oleh pers mahasiswa dalam Sarasehan Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa (Pena Emas) pada 19-20 September 1996 di Makassar.37 Tiga dari isi Surat Pernyataan Terbuka Pena Emas 1996 menuntut untuk:
1.   Menyerukan kepada segenap pers mahasiswa untuk menggunakan istilah pers mahasiswa, bukan penerbitan mahasiswa
2.   Turut memperjuangkan hasil Kongres II PPMI, tentang pengembalian nama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
3.   Tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.
Untuk melanjutkan langkah PPMI, maka pada 10 Mei 1996 digelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI di Teknokra, pers mahasiswa Unila Lampung. Salah satu hasil keputusannya adalah membicarakan prospek wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai Mediator PPMI yang akan ditindaklanjuti lewat sosialisasi dan musyawarah oleh wilayah-wilayah yang bersangkutan sesuai dengan kondisi dan potensi pasca Mukernas.38
Hasil Mukernas juga memutuskan untuk menerbitkan Tabloid Merah Putih sebagai media komunikasi antar pers mahasiswa yang terhimpun di dalam PPMI berskala nasional. Hal ini mengingat rekomendasi Kongres II PPMI di Jember. Isu bersama yang dirumuskan di Jember maupun yang kontekstual akan sangat sulit diwacanakan karena kondisi pers mahasiswa yang berbeda-beda. “Sehingga dibikinlah targetnya tidak muluk-muluk, ya selebaran atau buletin. Karena kita tidak punya sumber dana jadi hanya patungan bersama-sama,” papar Dwidjo.39
Pada periode II ini wilayah wacana kritis diperluas dalam upaya untuk memunculkan isu bersama. Pers mahasiswa bukan menjadi gerakan yang memiliki entitas khusus, elitis, dan eksklusif, yang kemudian hanya menyerang rezim pada saat itu. Karena PPMI bukan lembaga yang mewadahi orang-orang yang punya misi politik tertentu, namun sebagai organisasi yang mewadahi pers mahasiswa. Pers mahasiswa harus memahami bahwa posisinya adalah sebagai media yang menjaga dan merawat idealisme mahasiswa.
Secara keanggotaan, PPMI bisa dibilang unik, berbeda dengan organisasi mahasiswa lainnya. Posisi pengurus dalam struktur banyak yang justru menggunakan hubungan kultural. Karena dipahami struktural sebagai relasi kekuasaan, maka hubungan persaudaraanlah yang lebih dikuatkan. Kelebihan dari hubungan ini adalah kian memperkuat soliditas PPMI, namun di sisi lain kinerja PPMI lebih banyak memberikan toleransi mengingat sumber daya yang dimiliki. Karena itulah target dan pencapaian PPMI sering tidak muluk-muluk.
Karena sulitnya mengekspresikan secara bebas waktu itu, maka PPMI hadir sebagai wadah alternatif bagi pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa meski belum mapan secara organisasional. PPMI lebih mengarah pada pembangunan wacana kritis kepada anggota pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa lainnya.
Lebih-lebih sebagai organisasi mahasiswa nasional yang tidak mengantongi izin legalitas karena terkendala SK penerbitan khusus, maka pada perjalannya kemudian dijumpai kendala-kendala yang berkaitan dengan soal formalitas tersebut. Setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh PPMI hampir tidak pernah mengatasnamakan PPMI secara langsung, melainkan nebeng nama pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) anggotanya. Selain juga sebagai cara untuk berlindung dari pantauan pemerintah, karena sebagai organisasi yang “ilegal”. Meski pers mahasiswa di beberapa kampus besar belum sepenuhnya bergabung, namun secara tegas mereka juga tidak menolak PPMI. Dalam beberapa kegiatan PPMI misalnya, mereka juga mengikutinya.40 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.