Langsung ke konten utama

Mengakhiri Kompromi, Memulai Konsolidasi - Pasca Kongres I PPMI (1992-1995)




       Deklarasi sudah dilakukan. Perjalanan panjang nan melelahkan mengkonsolidasi pers mahasiswa berujung pada terbentuknya wadah baru: PPMI. Sebagai organisasi baru, PPMI diharapkan segera memberesi legalitas keorganisasian, sebagaimana dulu IPMI legal dan diakui oleh pemerintah. Namun dalam soal ini PPMI tidak mau kompromi lagi. Menempuh jalur birokrasi akan hanya akan melelahkan, sebab dalam SK Mendikbud No. 0457/0/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan hanya mengakui format forum komunikasi dalam skala nasional bukan yang lainnya.13 
Mochtar Lubis dengan lantang menanggapi itu.
“Tidak usah legal-legalan, tidak perlu pengakuan, jalan terus, kalau berani! Kalau minta legal kepada penguasa sampai kiamat tak akan dikasih! Karena memang jelas sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 soal kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat dan pikiran. Justru jika ada peraturan di bawah UUD yang mebatasi itu menunjukkan pemerintah tidak konsisten. Bukan kita yang salah.” 14
     Ada dua semangat yang muncul kala itu. Pertama, semangat sosialisasi nilai sebagai pers mahasiswa dan semangat sebagai wadah untuk meningkatkan kulitas penerbitan. Semangat ini menghimpun dalam solidaritas dan format kultural, tanpa legalitas. Anggapan yang muncul bahwa membiarkan pers mahasiswa bersatu sama halnya memelihara anak macan yang suatu saat akan menerkamnya.15

 
      Kedua, upaya bersama dalam rangka meningkatkan mutu penerbitan sesuai dengan kebutuhan pers mahasiswa. Sehingga banyaknya pelatihan yang dilakukan pers mahasiswa akan lebih menunjang dengan adanya wadah bersama. PPMI menjadi alternatif karena memang masa itu kondisi sangat represif sehingga kebebasan berekspresi sulit didapatkan. Selain itu juga sebagai wadah aspirasi dan akomodasi kebutuhan-kebutuhan pers mahasiswa.
      Semangat PPMI ditegaskan sebagai bentuk solidaritas yang didasari oleh komitmen moral dan intelektual untuk menghimpun potensi pers mahasiswa dalam keberagaman kultur, sosial, ekonomi, dan geografis.
      Upaya legalitas yang direkomendasi pada Kongres I dengan memanfaatkan celah yang ada akhirnya pupus sudah setelah perwakilan PPMI menemui Dirmawa, waktu itu diterima oleh Isprayin. Mereka yang menjadi perwakilan PPMI diantaranya adalah Rommy Fibri, Andreas Ambar, Tyas Zain, Hasan Aoni Aziz, Asep Wahyu, dan beberapa yang lain.
      Menurut Isprayin, PPMI tidak perlu meminta legalitas  karena Dirjen Dikti pun tidak akan bersedia memberikan legalitas.16
“Semoga hasil pertemuan dan audiensi dengan Isprayin tersebut dapat menjadikan refleksi dan perenungan bagi kita bilamana masih terbersit keinginan untuk mencari legalitas dari Dirmawa/Dikti.”17
       Hingga akhir periode I ini PPMI belum juga mendapatkan legalitas. Dengan itu, berakhir pula perdebatan soal legalitas PPMI dan sikronisasi kurikulum Diklat Jurnalistik PPMI dengan Dikti. Karena legalitas dipandang bukan hal yang utama melainkan sesuatu yang memang penting dan harus diusahakanpenting karena sebagai pertimbangan untuk melihat posisi PPMI dalam konstelasi politik nasional untuk melakukan aktivitas organisasi. Maka kemudian pada Kongres II tahun 1995, PPMI menegaskan diri tanpa legalitas dan menolak izin apapun yang dikenakan terhadap pers mahasiswa. Hasil kesepakatan ini disebut sebagai Deklarasi Tegalboto.

Konsolidasi Baru Dimulai
      Sebagaimana rekomendasi Kongres I PPMI yang menyatakan agar Presidium terpilih menghimbau kepada seluruh anggota PPMI melakukan solidaritas penerbit mahasiswa, maka kerja-kerja konsolidasi pun dilakukan. PPMI mulai memfokuskan diri pada sosialisasi dan kerja-kerja riil di wilayah untuk pembentukan forum-forum daerah serta penguatan basis.
       Tak mudah memang memutar roda organisasi yang baru berdiri di tanah rezim represif. Kontak melalui surat pos pun disensor sehingga pesan sering tidak sampai. Pernah terjadi ketika undangan Kongres I yang dialamatkan ke Ujung Pandang (Makassar) tidak sampai menyebabkan aktivis pers mahasiswa Ujung Pandang tak datang di kongres itu. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik internal di tubuh PPMI. Mereka menganggap tidak diberi surat undangan, padahal panitia sudah mengirimkannya. Atas pertimbangan itulah maka kontak langsung adalah jalan satu-satunya.
       Setelah kongres, Rommy Fibri dan Asep Wahyu berangkat ke Ujung Pandang untuk menyelesaikan masalah tersebut sekaligus memenuhi undangan Diklat dan Temu Aktivis Pers Mahasiswa se-Ujung Pandang yang diselenggarakan oleh majalah Identitas Universitas Hasanudin.
      Selama di sana (23-28 September 1993) menghasilkan beberapa hal yang dipandang perlu untuk disikapi. Pertama, rata-rata aktivis pers mahasiswa se-Ujung Pandang yang tergabung dalam Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Ujung Pandang (PPMU) mendukung dan menyatakan diri berada di bawah naungan PPMI.
      Kedua, berhasil mengklarifikasi soal keterputusan dan kendala surat-menyurat antar SC Nasional sebelumnya, yang berakibat pada munculnya berbagai persepsi di kalangan pers mahasiswa Ujung Pandang dengan daerah lain. Kemudian PPMI akan mencoba memperbaiki keterputusan komunikasi tersebut dengan langsung dikoordinatori oleh Presidium.
      Ketiga, PPMU menggugat posisi Presidium Wilayah Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur (IBT) sebelumnya dan memberi batasan waktu kurang lebih 3 bulan untuk menyele-saikan atau menyelenggarakan pertemuan aktivis pers mahasiswa se-Sulawesi dan IBT.
      Keempat, PPMU dan Presidium Wilayah Sulawesi dan IBT sebelumnya mengadakan pertemuan untuk memilih koordinator wilayah Ujung Pandang  pada tanggal 9 Oktober 1993 di Channel 09, Fakultas Teknik Unhas.
     Kelima, Sekjen Presidium dan Presidium Wilayah Jawa Timur membantu menyalurkan informasi kondisi tersebut ke daerah Palu dan Manado.
Kemudian  sekitar  dua setengah bulan berikutnya, PPMI menerima pengunduran diri Sekjen Wilayah Sulawesi dan IBT sebelumnya. Dari sini kemudian dilakukan konsolidasi ke Palu. 
“...atas solidaritas dari teman-teman Ujung Pandang, khususnya Mulawarman, Tomi Lembang, dan Tenry Palallo, kami berdua (Rommy Fibri dan Asep Wahyu) melanjutkan perjalanan ke Palu lewat jalan darat yang baru beberapa waktu selesai dibuka.
Di Palu, karena mantan SC Nasional dari Palu, Ridha Saleh, ‘sekolah’ ke Mesir akhirnya teman Effendi Kindangen berbaik hati memberi inapan dan tumpangan sekedar menyambung hidup di Palu. Beberapa pembicaraan yang mengarah ke sosialisasi dan konsolidasi kekuatan telah dicoba, namun agaknya Palu belum memiliki dan belum tersistematisir untuk mengembangkan forum kota. Atau bahkan, mungkin para aktivis pers mahasiswa Palu belum melihat urgensi dan kejelasan visi dari PPMI. Sehingga selama di Palu seolah kami melakukan sosialisasi dari awal dan merekatkan lagi sillaturahmi yang hampir selama setahun vakum komunikasi.
Meskipun begitu, selama sekitar 29 September – 5 Oktober 1993, kami diberi kesempatan oleh para aktivis di Palu untuk bersosialisasi lewat pengisian materi dalam acara Sarasehan Penerbitan Kampus Mahasiswa oleh Majalah Mahaswara Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.”18
       Kendala teknis terlihat di sini, seperti terputusnya transformasi di daerah karena aktivis sebelumnya tidak melakukan konsolidasi, ditambah dengan cepatnya pergantian pengurus pers mahasiswa yang rata-rata hanya satu tahun.
      Konsolidasi kemudian dilanjutkan ke Manado. Atas fasilitasi Majalah Inovasi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), pada tanggal 8 Oktober 1993 diadakan pertemuan pers mahasiswa se-Sulawesi Utara. Dari pertemuan tersebut menyepakati terbentuknya PPMI daerah Sulawesi Utara dan Willem Wetik (Inovasi) sebagai ketuanya.
       Masa kepengurusan periode I adalah dua tahun, dengan catatan bahwa mereka tidak boleh lulus kuliah sebelum masa jabatan berakhir. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen moral kepengurusan.
       Dari Manado, konsolidasi berlanjut ke Malang dengan memanfaatkan forum diklat yang diselenggarakan oleh Unitas Universitas Brawijaya Malang. Kemudian ke Ciputat,19 yang sekaligus berhasil menetapkan Kurikulum Diklat  PPMI. Kurikulum sebelumnya telah dirumuskan oleh Tim Khusus Kurikulum Diklat.20
       Jalinan emosional-kultural terus dibangun. Berikutnya konsolidasi dilakukan dalam momen Jambore Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Forum Pers Mahasiswa Bandung (FPMB). Pertemuan ini salah satunya bertujuan untuk menjalin keakraban antaraktivis pers mahasiswa se-Bandung. Setidaknya dari sini poros Yogya-Bandung semakin erat.
       Selanjutnya, konsolidasi mengarah ke Kalimantan.21 Di Pontianak, PPMI bertemu dengan para aktivis pers mahasiswa. Pertemuan ini akhirnya melahirkan Forum  Pers Mahasiswa se-Kalimantan Barat dan M. Amsyar (Info Oikosnomos FE Untan) sebagai ketuanya. Sedangkan wilayah Banjarmasin, Kalimantan Selatan, belum dapat langsung berkoordinasi karena kendala transportasi.22
        Karena dirasa sulit dan kurang memungkinkan, maka konsolidasi kembali dilakukan di Jawa Tengah dan sekitarnya. Di Solo, pada Desember 1993, dirintis pembentukan secara formal forum kota se-Surakarta, yang kemudian disahkan pada 21 April 1995 dengan nama Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Surakarta (PPMS) dengan Cecep (Majalah Bara Universitas Islam Batik Solo) sebagai ketuanya.
        Beralih ke Jombang, Sarasehan Pers Mahasiswa se-Indonesia diselenggarakan oleh Tabloid Merdeka Universitas Darul Ulum pada 13 Desember 1994. Sarasehan tersebut lantas merumuskan lanjutan konsolidasi dengan pendelegasi dan mandat kepada aktivis pers mahasiswa perwakilan kota untuk segera membentuk Dewan Kota bagi yang belum terbentuk atau tidak aktif forum kotanya. Beberapa diantara yang diberi mandat hasil kesepakatan tersebut yakni, Affan Zaldi (SKM Teknokra Unila) di Lampung, A’an Rusdianto (Hayamwuruk FS Undip) Semarang, Ahmad Hussein (Pabelan Pos UMS) Surakarta, I Gede Budane (Akademika Unud) Denpasar, M. Amsyar (Info Oikosnomos Untan) Pontianak, Subchan (Majalah Reaksi FT Unhas) Ujung Pandang, Isa Ansori (SKM Kinday Univeristas Lambung Mangkurat), Alfie Syahdiar (Memi Unsoed) Purwokerto, M. Ismail (UKPKM Unej) Jember, dan Helmy Supriyanto (SKM Klik UWK) di Surabaya.23 
        Kabar dari Sumatera, para aktivis pers mahasiswa membagi tiga wilayah koordinasi. Wilayah Aceh dan Sumatera Utara dengan mediator Iskandar Muda Hasibuan (Majalah Wacana FS USU); wilayah Sumatera Barat, Riau, dan Jambi dengan mediator Rudi Rusli (SKM Genta Universitas Andalas); dan wilayah bagian selatan berpusat di SKM Teknokra Unila Lampung.24
       Namun, hasil sosialisasi dan konsolidasi di Sumatera belum maksimal sehingga hanya Sumatera bagian Selatan yang berjalan baik. Hal ini karena generasi bawahnya atau lapis bawah mediator kurang memahami fungsi mediator dan keberadaan PPMI. Disamping itu juga karena faktor terlalu cepatnya pergantian pengurus pers mahasiswa yang rata-rata setahun sudah berganti. Sehingga hubungan secara organisasional yang berjalan hanya dengan Sumatera bagian Selatan, sedangkan selain itu hanya hubungan pertemanan.
       Begitu pula di Jakarta, hasil konsolidasi belum maksimal. Peta politik yang santer membuat mediator wilayah Jakarta lebih defensif.25 Demikian langkah-langkah sosialisasi dan konsolidasi yang dilakukan oleh Presidium periode I. Belum usai memang. Namun paling tidak telah membuat PPMI lebih mengakar. Di sisi lain sikap PPMI kurang maksimal dalam hal advokasi. Hal itu yang menjadi catatan memasuki periode II 1995-1997.
“Kami mengakui, dalam mengayuh arus politik, PPMI masih dirasa mandul. Akselerasi dan respon politik nasional PPMI masih jauh dari cukup untuk dikatakan responsif atau bahkan radikal. Yang bisa dicapai oleh Presidium PPMI periode 1993-1995 ini hanyalah dalam manifest advokasi, tak lebih dari sekedar itu.”26
        Konsolidasi perlu terus-menerus dilakukan, baik di kota, wilayah maupun nasional. Hal ini disadari menjadi bagian penting dalam upaya soliditas basis dan penggalangan kekuatan riil PPMI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.