Langsung ke konten utama

Sejarah Pers Mahasiswa Part II (1980-1988)

peristiwa Malari 15 Januari 1974,
 salah satu peristiwa besar
dalam sejarah pergerakan mahasiswa

1980         Kongres IPMI ke V pada bulan April direncanakan di Ujung Pandang, karena alasan perizinan akhirnya Kongress dialihkan[1] di Jakarta, padahal persiapan di Ujungpandang sudah siap. Pada Kongres ini ada dua pemikiran: 1) ingin tetap independensi IPMI dalam kondisi bagaimanapun. 2) ingin IPMI dalam pembinaan organisasi kepemudaan tingkan nasional [KNPI] dengan konsekuensinya IPMI berubah nama menjadi IPPMI (Ikatan Pers Pemuda dan Mahasiswa Indonesia). Dan akhirnya kongres memutuskan tetap pada independensinya dan tidak bergabung dengan KNPI. Meski belum menemukan solusi atas banyaknya pembredelan. Konggres menetapkan ketua umum Wikrama Ilyas Abidin dan Agusman Efendi (sekjen) periode 1980-1982.
                  [ ] Pada tahun ini “Kampus” ITB [bulan April 1980] dan “Salemba” UI [bulan Mei 1980] dilarang terbit.
                  [31 Mei ] Depertemen Penerangan [Deppen] dan Departemen Pendidikan dan kebudayaan [Depdikbud] membentuk tim Pembinan Pers kampus mahasiswa Tingkat Nasional melalui SKB Mendikbud & Menpen no. 0166/P/1980, yang anggotanya dari pejabat kedua departemen dan darui dosen-dosen.



1982         pertengahan tahun ini IPMI kian meredup dan dibekukan. Kepengurusan harusnya berakhir tahun 1982. Namun mengalami ketidakjelasan hingga kemudian perlahan organisasi mengalami kebekuan aktifitas. Kondisi ini tidak lepas dari pengaruh normalisasi kampus yang intensif dilakukan tahun 1978. Depdikbud tidak lagi mengakui lembaga intra di tingkat universitas, kecuali pada tingkat fakultas. Sedangkan di luar kampus hanya KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) yang diakui oleh pemerintah. Meski legalitas IPMI belum dicabut, kondisi ini juga berpengaruh terhadap kinerja IPMI[2]. Praktis aktivitas penerbitan mahasiswa tidak banyak muncul. Menurut Ketua Umum IPMI Pusat Wikrama, meski mengalami kesulitan dengan izin dan dana antara tahun 1980-1982 tak kurang 20 kali diadakan pendidikan pers mahasiswa di seluruh Indonesia.[3]
1983         [16 Maret 1983] Wawasan Almamter diterapkan oleh Mendikbud baru [Nugroho notosusanato], konsep ini sebenarnya sudah diterapkan di UI semasa ia menjabat rektor UI [15 Januari 1982]
1984         Pelita IV. Pemerintah kelabakan soal ekonomi.
                  [ 26 Maret 1984]  Rapat Kerja Nasional Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, yang menghasilkan Pola Pembinaan Mahasiswa [POLBINMAWA} sebagai pedoman mengatur aktivitas mahasiswa[4]
1985         [21 – 28 Oktober 1985] Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional di Cibubur, Jakarta oleh Forum Komunikasi dan Kajian Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, yang menerbitkan majalah mahasiswa Politika. Acara ini diikuti oleh 125 mahasiswa dari 29 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta dari 17 Kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Dalam pertemuan ini terungkap akan kesadaran adanya wadah bagi Pers Mahasiswa yang berfungsi sebagai koordinator pengembangan program pendidikan, latihan, seminar, dan diskusi-diskusi mengenai pers mahasiswa. Bahkan sempat disepakati pembentukan tim kecil untuk menjajagi kemungkinan dan kesiapan didirikan suatu lembaga pengembangan pers mahasiswa tersebut. Tim kecil ini terdiri 15 orang dari 13 Perguruan Tinggi peserta acara dengan 2 diantaranya panitia acara. Perwakilan PT itu sengaja ditunjuk yang di Jakarta dengan pertimbangan memudahkan koordinasi tim kecil karena faktor geografis.[5]
                  [29 Oktober 1985] majalah Balairung terbentuk setelah adanya seminar “Pers mahasiswa UGM“. Kemunculan majalah ini dinilai istimewa karena dikelola oleh mahasiswa. Meski masih ada trauma akibat pembreidelan Koran Mahasiswa UGM “Gelora Mahasiswa“ walaupun akhirnya Balairung ini sempat dibreidel dalam waktu 5 bulan, lalu terbit lagi dengan STT dan pengamatan khusus.[6]
1986         Bulan Juli diresmikan LPM Universitas Nasional yang kemudian menerbitkan koran Solidaritas, meski akhirnya koran ini pun dibreidel. Meski demikian LPM ini menelorkan bererapa aktivis pers mahasiswa, selah satunya Wikrama I Abidin, Ketua Umum IPMI pusat periode 1980-1982. forum-forum pertemuan para pegiat/aktivis pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mulai marak terjadi meski berbentuk off print. Aktivitas-aktivitas penerbitan dan beberapa forum pelatihan dan pendidikan jurnalistik mulai tampak di tahun 1986-1989.
                  [11 – 21 Agustus 1986] diselengarakan Pekan Orientasi Jurnalis Mahasiswa Se-Jakarta di Jakarta oleh LPM Universitas Nasional “Solidaritas”. Diikuti 211 mahasiswa dari 31 Perguruan Tinggi di Jakarta. Dari acara ini kian terlihat keinginan untuk menghimpun diri dalam satu wadah bersama. Sehingga forum ini menyepakati dibentuknya Kelompok Studi Jurnalistik RELATA yang diharapkan dapat menampung dan menyalurkan bakat – minat mahasiswa Jakarta terhadap jurnalistik, pengembangan media ataupun penerbiatan mahasiswa. RELATA banyak memberikan kontribusi bagi usaha penyatuan gerakan dan aktivis pers mahasiswa di Jakarta.
                  [5 – 8 Oktober 1986] Latihan Ketrampilan Pers Kampus Mahasiswa tingkat Pembina oleh Jurusan komunikasi Massa FISIP UI bekerjasama dengan Direktorat kamahasiswaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Diikuti oleh 57 aktivis pers mahasiswa dari perguruan tinggi se-Indonesia. Dari diskusi yang dilakukan tersimpul bahwa perlu segera dibentuk wadah nasional untuk pengembangan aktifitas pers mahasiswa di Indonesia. Dan ditegaskan sudah harus dibentuk paling lambat 1 tahun setelah forum itu.
                  [8 – 15 Desember 1986] Studi Perbandingan Jurnalistik Mahasiswa [Jakarta - Yogyakarta - Surakarta] oleh Biro Pendidikan dan Latihan LPM UNAS yang diikuti 80 aktivis pers mahasiswa dari 8 PT dari Jakarta dan Bandung. Studi dilakukan dengan aktivis pers mahasiswa di UGM, IAIN Sunan Kalijaga dan UMS Surakarta. Dalam kesempatan itu disinggung tentang perlunya wadah atau badan yang berfungsi optimal yakni dalam kesamaan pandangan dan sikap untuk mengembangkan dan meningkatkan profesionalisme jurnalistik di kalangan mahasiswa.
1987         [26 - 27 Maret 1987] Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional di Bandar Lampung. diselenggarakan oleh SKM Teknokra Universitas Lampung.
[27 - 29 Agustus 1987] Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia oleh majalah Balairung UGM. Diikuti oleh 247 aktivis Pers Mahasiswa dari 41 PT di Indonesia. Forum ini dihadiri oleh Koesnadi Hardjosoemantri (aktivis pendiri IPMI 1950an). Selanjutnya diadakan diskusi yang diikuti 60 aktivis perwakilan peserta, dari diskusi ini muncul pemikiran untuk menghidupkan satu wadah persma di tingkat nasional. Dalam pertemuan tersebut dibuat panitia ad hoc yang mendapat tanggung jawab untuk menjajagi dan menyiapkan kemungkinan dilahirkannya wadah nasional bagi aktivitas pers mahasiswa. Panitia ad hoc ini terdiri 4 orang. Dua dari  Yogyakarta (disebut poros Yogyakarta). Mereka adalah:
Abdul Hamid Dipopramono, Pimpinan Umum majalah Balairung UGM Yogyakarta
M. Imam Aziz, pimpinan Umum majalah Arena IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sedangkan dua dari Jakarta  yang disebut Poros Jakarta adalah:
Rizal Pahlevi Nasution yang waktu itu menjabat sebagai ketua kelompok studi jurnalisik Relata dan pimpinan umum majalah Media Publica, Fikom, Universitas Mustopo Beragama, Jakarta dan
Imran Zein Rolas, LPM Unas, pimpinan umum majalah Politika, Fisip Unas, Jakarta.
Poros Jakarta mendapat tugas melakukan konsolidasi di wilayah barat yang meliputi Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara Poros Jogyakarta melakukan konsolidasi di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian. Selain itu mereka mendapatkan amanat untuk melakukan konsultasi, konfermasi, lobby dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten dengan masalah ini, seperti alumni IPMI, pengurus IPMI terakhir, pejabat universitas dan birokrat.
Dari panitia ad hoc disepakati beberapa langkah diantaranya mengadakan kegiatan dan pertemuan berikut:
[18-20 September 1987] Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa oleh Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum di Kuningan Jakarta, diikuti oleh 40 aktivis pers mahasiswa Jakarta, bandung, yogyakarta, Solo, Bogor dan Malang.
[11-13 Oktober 1987] Pertemuan Pengelola Pers Mahasiswa Se-indonesia oleh Balairung UGM di Kaliurang Yogyakarta. Diikuti oleh 60 aktivis dari berbagai penerbitan mahasiswa dan kelompok studi jurnalistik dari tanjungkarang, Ujungpandung, Jakarta, Bogor, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Solo, Salatiga, Surabaya, Malang dan lainnya.
[17-27 Oktober 1987] Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa (Nasional) II. Kegiatan ini diselenggarakan di Jakarta pada oleh LPM UNAS. Diikuti oleh 205 aktivis dari 46 PT di Medan, Tanjungkarang, Pontianak, Ujungpandang, Denpasar, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Bandung, Bogor, Tangerang, dan Jakarta.
Dari serangkaian pertemuan diatas panitia ad hoc memiliki kesimpulan sementara tertanggal 1 November 1987 di Jakarta[7], yakni:
1) Sudah saatnya hadir / lahir sebuah wadah nasional untuk mengembangkan aktivitas pers mahasiswa Indonesia.
2) Struktur organisasi  dan kelembagaannya haruslah luwes / fleksibel sehingga dapat berjalan efektif.
3) perlu diselenggarakan suatu pertemuan nasional untuk melahirkan wadah dimaksud, selambat-lambatnya Mei 1988 (setelah sidang umum MPR RI).
[10 Desember] Mimbar bebas pers mahasiswa di UGM dan UII dalam rangka hari HAM yang dihadiri oleh tidak hanya aktivis persma, pun berdatangan dari luar kota
[11-13 Desember 1987] Pertemuan Pengelola Pers Mahasiswa se-Indonesia/Diskusi Panel Pers Mahasiswa dari Masa ke Masa di Kaliurang Yogyakarta.
[31 Desember] konsolidasi di pantai Parangtritis yang diikuti berbagai aktivis dari beberapa kota.
1988         [18 Januari] Rapat Kerja Nasional Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Mendikbud baru dijabat oleh Fuad Hasan, karena sebelumnya Nugroho Notosusanto meninggal dunia sebelum habis periodenya. Hasilnya Pola Pengembangan Kemahasiswaan [POLBANG MAWA] ini lebih lunak dan disebut-sebut membawa angin segar pada aktivitas kemahasiswaan.
                  [26 – 27 Maret] Sarasehan Pers Kampus Mahasiswa se-Indonesia di Teknokra Lampung[8]
[  ] pem-blackout tulisan Arief Budiman “Regenerasi Orde Baru” dalam majalah Arena oleh rektornya, dan dalam waktu hampir bersamaan 7 media terbitan mahasiswa di Univ. Satya Wacana Salatiga dibredel oleh rektornya; imbas [F. Teknik], Sketsa [FKIP], Dian Ekonomi [Ekonomi], Rekayasa [FH], Biota [F.Biologi], dan Agronomi [F.Pertanian], yang dipicu oleh pemberitaan imbas tentang laporan adanya penyimpangan di Universitas.
                  [11 - 12 April 1988] Mahasiswa IAIN se-Indonesia di Yogyakarta oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Salah satu hasilnya, dibentuknya komite Pembelaan pers Mahasiswa indonesia [KPPMI] sebagai solidaritas kesewenangan terhadap pers mahasiswa dan kebebasan pers
[21 - 28 Mei 1988] Orientasi Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa di Jakarta tanggal oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
 [6 - 7 Agustus 1988] Puwokerto Informal Meeting di Purwokerto, tanggal oleh SKM Sketsa Universitas Jenderal Soedirman. Dihadiri oleh 40 aktivis persma. Pembahasan masih sekitar wadah tunggal, terkait dengan penyikapan terhadap IPMI yang akan konggres. Hasilnya membentuk tim khusus yangberanggotakan 10 orang, termasuk 4 orang panitia ad hoc.
[10 Agustus 1988] Pertemuan dengan dewan pimpinan IPMI pusat yang sudah demisioner di Jakarta, oleh tim kerja persiapan kongres.
[28 Agustus - 1 September 1988] Latihan Ketrampilan Pers Mahasiswa tingkat Pembina se-Indonesia di Yogyakarta
[19 - 22 September 1988] Panel diskusi Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia di Purwokerto di Universitas Jenderal Soedirman (disebut : Pra kongres IPMI VI). Dihadiri oleh kurang lebih 45 PT negeri dan swasta se-Indonesia. Hasil penting dari sarasehan ini berupa DEKLARASI BATU RADEN, yang diantaranya ditandatangani oleh 18 wakil aktivis pers mahasiswa kota yang hadir. Berikut kutipan teks deklarasi Baturaden Purwokerto: “Sadar bahwa demokrasi, keadilan dan kebenaran yang hakiki merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang harus selalu diupayakan secara berkesinambungan oleh seluruh komponen bangsa. Perguruan Tinggi khusunya pers mahasiswa sebagai salah satu komponennya, bertanggungjawab memperjuangkan cita-cita tersebut secara kritis, konstruktif dan independen.
Dengan semangat kebersamaan dan didorong oleh keinginan luhur untuk melestarikan dan mengemban peran pers mahasiswa di seluruh Indonesia, maka seluruh aktivis pers mahasiswa menyatakan perlu dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).” Tertanggal 21 September 1988. selain itu materi yang dibahas dibagi dalam 3 komisi dengan 3 masalah pokok: komisi A tentang AD/ART, komisi B Program Kerja dan Komisi C persiapan Konggres. Sidang Komisi A berjalan alot sekaligus ribut dan menyenangkan, terjadi debat adu argumentasi hingga sempat 5 kali sidang tertunda dan 7 kali lobyying. Akhirnya rancangan keputusan 40% merubah/menambah/memperbaharui /menyempurnakan AD/ART lama dan mengagendakan pasal 4 dan pasal 7 AD serta pasal 4 bagian butir 3 ART. Seluruhnya tercatat 25 jam waktu ditempuh. Sedangkan komisi B pun berjalan alot. Pembahasan meliputi masalah organisasi, faslititas, kerjasama antar lembaga, kaderisasi dan pengembangan. Dan komisi C yang membahas persiapan konggres memutuskan Lampung sebagai tuan rumah konggres ke VI pada tahun depan, setelah sidang buntu maka dilakukan voting meyisihkan Semarang, Denpasar, dan Pekanbaru. Selain itu pun dibentuk tim pengarah (SC) untuk kepanitiaan persiapan kongres tersebut.[9] Meski pada akhirnya pertemuan ini tidak ada kelanjutan (selalu sulit) untuk mengadakan forum-forum nasional yang ditelah direncanakan itu[10].
[17 - 27 Oktober 1988] Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa Nasional II di Jakarta, lembaga pers mahasiswa Universitas Nasional


[1] Tablois Sketsa edisi September tahun 1988
[2] Agung Sedayu, “Kilas Sejarah PPMI” . Materi Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar Plus se Bali-NTB, di KNPI Bali, 17-18 Desember 2004.
[3] Wikrama I Abidin, “Memahami Arti Kehadiran Pers Mahasiswa” dalam Majalah Balairung edisi 1987.
[4]  Didik Supriyanto. 1998. “Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK” Jakarta: Sinar Harapan. Hlm 87
[5] Majalah Balairung edisi ni. 7 tahun 1988 hlm. 39 - 40
[6] Majalah Balairung edisi ni. 7 tahun 1988 hlm. 39
[7]  “Menuju Konsolidasi Pers Mahasiswa Indoneasia” Majalah Balairung edisi ni. 7 tahun 1988 hlm. 41
[8]  Didik Supriyanto. 1998. “Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK” Jakarta: Sinar Harapan. Hlm 107.
[9] Tabloid Sketsa edisi September 1988 hlm 8
[10] Resiyanto Efiawan dalam “Dinamikan Pers-Mahasiswa Pasca 80-an Kurang Berkembang (IPMI Perlu Dihidupkan Lagi)” pada Majalah Balairung Edisi Khusus 1991, hlm 28
Penulis: Moch. Fathoni (Mantan Koor. Litbang PPMI, alumni UAD)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.