Langsung ke konten utama

Sejarah Pers Mahasiswa Part I (1908-1978)

oragnisasi Boedi Oetomo,
 timbul dari adanya politik etis

1908         Hindia Poetra diterbitkan oleh Indische Vereeninging [mahasiswa indonesia di Belanda], organisasi ini berubah nama Indonesische Vereeninging pada tahun 1922, dan tahun 1923 kembali ke tanah air. Akhirnya tahun 1925 menjadi Perhimpunan Indonesia.
1914         Jong Java  diterbitkan oleh pelajar dan mahasiswa
1923         Ganeca diterbitkan oleh organisas mahasiswa BSC atau CSB
1924         Indonesia Merdeka diterbitkan oleh mahasiswa Indonesia di Belanda
1928         Soeara Indonesia Moeda diterbitkan setelah Sumpah Pemuda
1930         Oesaha Pemoeda diterbitkan oleh pelajar dan mahasiswa Indonesia di Kairo Mesir
                  Jaar Boek diterbitkan oleh THS [sekarang ITB] pada kurun waktu 1930-1941
1945         majalah IDEA yang diterbitkan leh PMIB ynag kemudian berganti PMB pada tahun 1948

1955         [8 Agustus] Konferensi I Pers Mahasiwa Indonesia di Kaliurang. Hasilnya didirikan SPMI [Serikat Pers Mahasiswa Indonesia] ketuanya T Yacob dan IWMI [Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia] yang diketuai oleh Nugroho Notosusanto. Dihadiri oleh 10 majalah
1957         SPMI dan IWMI mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia I di Manila, yang bertema “Asian Student: Its Responsibilities, Problem and Role in Nation Building“.
1958         [16-19 Juli 1958] Konferensi II Pers Mahasiwa Indonesia. Hasilnya SPMI dan IWMI melebur menjadi satu wadah IPMI [Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia]
1965         [10 September] IPMI membuat surat pernyataan[1] tentang Independensi IPMI terkait isu IPMI anak PSI dan Masyumi serta tidak mencantumkan Manipol Usdek dalam AD/ART IPMI. Tahun ini direncanakan konggres pada bulan Desember. Namun gagal akibat G 30 September 1965
1966         [25 – 30 September] Musyawarah kerja nasional dan Simposium IPMI se-Indonesia di Bandung. Hasilnya IPMI terlibat dalam arena politik. IPMI bekerjasama menjadi Biro Penerangan dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). pada masa ini 1966-1968 pengurus IPMI di daerah menerbitkan media. Di Jakarta terbit Mahasiswa Indonesia [menjelang G 30.S] dan harian KAMI. Di Bandung terbit Mahasiswa Indonesia [1966, edisi Jabar], Mimbar Demokrasi (30 September 1966]. Di Yogyakarta terbit Mahasiswa Indonesia [edisi Jateng], Muhibbah [UII, 11 Maret 1967]. Di Banjarmasin terbit Mimbar Mahasiswa [1968], di pontianak terbit mingguan KAMI [1968, edisi Kalbar], di Surabaya terbit mingguan KAMI [1968, edisi Jatim] di malang terbit Gelora Mahasiswa Indonesia [1967] di Makasar terbit mingguan KAMI [akhir 1966] dan sebagainya.[2]
                  Ditetapkannya UU no. 11 th 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers
1969         [28 – 30 Juli] konggres II IPMI. IPMI menyatakan independensi organisasi menyusul kondisi politik dan tidak dalam lingkar birokrasi kekuasaan yang baru.
                  Pemerintah membentuk BKSPMI (Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk  sebagai tandingan IPMI dan untuk mengerdilkan peran IPMI.
1971         Pemilu, orde baru menguasai kursi MPR 60 %
                  Konggres III IPMI di Jakarta. Terpilih Fahmi Alatas sebagai ketua umum. Hasilnya IPMI dipaksa untuk back to campus dan terjadi perpecahan yang menolak konsep ini. Harian KAMI menyatakan diri bukan pers mahasiswa yang berada di luar kampus. Pers mahasiswa dipaks menjadi sub sistem dalam struktur birokrasi kampus.
1973         [23 Juli] dibentuk KNPI [Komite Nasional Pemuda Indonesia] oleh pemerintah yang sudah dirintis pasca pemilu 1971 oleh Golkar dkk
1974         [15 Januari] Peristiwa MALARI (Mala Petaka Limabelas Januari). 11 surat kabar harian dan 1 majalah berita dibreidel untuk upaya menghentikan demontrasi mahasiswa di Jakarta. Diantara demo yakni menggugat sistem pembangunan ekonomi orde baru.
                  [dalam waktu yang hampir bersamaan] terbitan kampus dibreidel; Salemba, Makara, Komunikasi Massa dan Tridharma di jakarta, Kampus, Integritas, dan Berita ITB di Bandung, Muhibah, Gelora Mahasiswa, dan Ar-Risalah di Yogyakarta, serta Aspirasi di Palembang. Sekitar periode masa awal orde baru ini sejumlah 46 dari 163 surat kabar di seluruh Indonesia dibreidel. [pers] dibreidel: harian Masa Kini di Yogyakarta, Lensa Generasi di Tanjung Karang, Pelita, Sinar Harapan, Jurnal Ekuin, Jayakarta, dan Prioritas di Jakarta, Majalah Expo, Topik, matahari, dan Fokus di Jakarta, Tabloid mingguan Monitor di Jakarta, dan majalah-majalah berita, Tempo, dan Editor serta tabloid mingguan Detik di Jakarta.
                  [ ] Keluar SK Mendikbud no 028 tahun 1974 tentang kegiatan kemahasiswaan di bawah pimpinan perguruan tinggi. Meski di bawah kendali struktur kampus beberapa pers mahasiswa lahir pada periode ini.
                  [28 Oktober] konggres I KNPI, yang ingin menjadikan KNPI sebagai wadah tunggal organisasi pemuda dan ormas mahasiswa
1975        muncul Peraturan Menteri Penerangan No. 01/per/menpen/1975 yang menggolongkan pers mahasiswa dalam penerbitan khusus dan adanya SIT [surat izin terbit]. Sehingga membatasi ruang lingkupnya, dengan diarahkan dari isu-isu politik ke urusan teknis dan akademis praktis.
1976         Kongres IPMI ke IV pada bulan Maret 1976 di Medan. IPMI belum mampu keluar dari permasalahan hidup antara di luar atau di dalam kampus. Akhirnya, IPMI gagal dalam mencari eksistensinya, tidak menghasilkan AD/ART baru, ditambah IPMI banyak ditinggalkan oleh LPM anggota yang memang pada saat itu terlalu enjoy mengurusi urusan di dalam kampus masing-masing sehingga lupa kewajiban organisasi skala nasional yang dulu pernah dibentuk bersama, selain itu juga menyusul aktivis baru yang ahistoris tentang IPMI[3].
1978         [ ] SK no. 28/1978 tentang wewenang dan batas permainan civitas akademika kampus
                  [21 Januari] SK Pangkopkamtib No. SK EP/02/KOPKAM/I/1978 tentang perubahan Dema. [31 Januari] SK Mendikbud no. 1256/U/1978 ditetapkannya tentang penetapan NKK
                  [  ]             SK Mendikbud no. 037/U/1978 tentang Bentuk Penataan Kembali Kehidupan Kampus.
                  [  ] Instruksi Dirjen Dikti no. 002/DJ/inst/1978 tentang pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga-lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
                  Bulan Janusari ini tentara menduduki kampus, menangkap pimpinan gerakan menyusul instruksi pembekuan Dema.
                  [19 April] SK Mendikbud no. 0156/U/1978. Maka dengan diberlakukannya NKK/BKK ini mengurung ruang gerak Aktivis Pers Mahasiswa dalam kampus. Pada kelembagaan mahasiswa, melalui NKK/BKK terjadi strukturisasi dalam setiap kegiatan mahasiswa. Kondisi demikian menyulut api-api protes mahasiswa sepanjang tahun 1974-1978, yang diantaranya dilakukan oleh Dewan Mahasiswa (Dema) meski sudah dibekukan.
                  [ ] pemerintah membreidel sementara 7 surat kabar harian di ibu kota untuk meredam meredam aksi demonstrasi mahasiswa. Demostrasi menentang Soeharto dari Presiden. Sebaliknya kekosongan pers umum membuat persma menaikkan oplahnya dengan berita yang keras, sehingga periode ini secara serentak banyak persma yang dimatikan[4].
                  [hasil sidang umum MPR] KNPI secara formal dijadikan sebagai wadah tunggal organisasi nasional pemuda.



[1] Lihat AmirEffendi Siregar. 1983. “Pers Mahasiswa Indonesia: Patang Hilang Tumbuh Berganti” . Jakarta: PT. Karya Unipress. Hlm 45 dan 129
[2] Lihat AmirEffendi Siregar. 1983. “Pers Mahasiswa Indonesia: Patang Hilang Tumbuh Berganti” . Jakarta: PT. Karya Unipress. Hlm 47
[3] Lihat tulisan M. Kodim “Membaca Lembaran Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia; Lika-liku Dinamika dalam Tiap Babakan Sejarah”. Tidak dipublikasikan
[4] Lihat AmirEffendi Siregar. 1983. “Pers Mahasiswa Indonesia: Patang Hilang Tumbuh Berganti” . Jakarta: PT. Karya Unipress. Hlm 55
Penulis: Moch Fathoni (Mantan Koor. Litbang PPMI, Alumni UAD)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.