Nusakambangan
sedari dulu dikenal sebagai pulau penjara kelas kakap. Terdapat tujuh penjara
dengan konsep maximum security. Kini tengah ada usaha untuk mendirikan
pesantren di ketujuhnya.
Abu memperhatikan cara Umar menulis huruf Arab. “Jadi wadaddi idayaksa itu apa?” tanya abu
pada Umar. Umar hanya diam sembari memperbaiki rangkaian hurufnya. Abu dengan
pelan kemudian memberikan koreksi atas tulisan Umar. Umar kembali ke mejanya.
“Ayo siapa lagi yang mau coba?” ajak Abu pada delapan peserta pelajaran nahu pagi itu.
Sejenak tak seorang pun bersedia maju. Umar pun kemudian
meminta rekannya untuk mencoba maju. “Pak Catur, ayo Pak. Jangan
sembunyi-sebunyi terus,” ucap Umar. Catur punya cukup nyali untuk maju. Dengan
sedikit ragu ia maju dan mencoba menulis. Berkali-kali ia mesti menghapus
tulisannya karena belum sesuai contoh. Peserta lain menyambutnya dengan tawa.
Mereka juga saling memperlihatkan hasil tulisannya pada peserta di sampingnya.
Abu menunjukan contoh tulisan yang benar dari buku berjudul Tata Bahasa Arab. Bukan pesantren atau
sekolah yang menjadi tempat Abu mengajar melainkan sebuah masjid. Meski masjid
itu tak berdindinding namun pagarnya berlapis-lapis. Sekitar empat lapis pagar
besi menjulang dengan kawat berduri di atasnya mengitari tempat Abu mengajar. Tiap
pojok pagar dipasangi CCTV yang tak henti mengawasi. Sementara di empat pojok
pagar terluar, menara-menara siaga dengan lampu tembaknya. Abu memang mengajar
di Lapas Pasir Putih Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Salah satu Lapas di
Nusakambangan yang memegang predikat maximum
security.
Abu sendiri adalah warga binaan Lapas Pasir Putih. Sekitar setahun
lalu ia mejadi warga Pasir Putih. Sebelumnya ia adalah pengajar di sebuah
pesantren di Solo. Ia didakwa pasal terorisme. Karena merasa ilmunya mesti
diamalkan, sedari ia masuk ia mengajak warga lain untuk belajar agama. “Ya ini juga pendidikan Allah bagi saya,”
ucap pria bernama lengkap Abu Husna tersebut.
Ketika pertama kali Abu Husna bergabung dengan Lapas Pasir
Putih, masjid lapas nampak sepi. Ia akhirnya berinisiatif untuk mengadakan
kegiatan. Berbekal ijin dari kepala Lapas, ia memulai kegiatan belajar dengan
hal yang sederhana. Ia mengingat hafalan qur’an sementara warga binaan lain
mencocokannya dengan qur’an. Jika terdapat kesalahan Abu meminta kawannya untuk
mencatat. Tiap hari ia menyelesaikan setengah juzz hingga akhirnya khatam. Baru
setelah itu ia mengajar materi yang lebih serius.
Materi itu dimulai dengan pengetahuan seputar qur’an. Warga
binaan yang kemudian menjadi santrinya dikenalkan pada sejarah qur’an.
Selanjutnya mereka diajar Abu untuk mengenal bahasa Arab. “Dari dasar sekali.
Kita mulai dari nulis,” ujaranya. Sebagian besar santrinya belum mampu membaca
dan menulis qur’an. Meski demikian minat para warga binaan ternyata cukup
tinggi. Jumlah pesrta yang awalanya hanya tiga orang meinggkat menjadi 13 orang
kini.
Tentulah berbeda antara santri di pesantren dengan warga
binaan. Abu mngistilahkan bahawa kawan-kawannya unik. Saat awal mereka sepakat
untuk memulai belajar dari pukul delapan. Namun, kala itu tak satupun yang
telah siap. “Yang paling berat adalah disiplin. Jam 8, mereka masih tidur,”
kenang Abu. Meski jadwal telah lebih siang, tetap saja hanya sedikit dari
rekannya yang mampu tepat waktu. Bagi warga binaan yang didakwa narkoba, sikap
mereka jauh lebih unik. “Kalo lagi mood, mereka datang ke masjid, adzan,
berhari-hari, kalo gak mood mereka hilang berbulan-bulan,” tambah Abu.
Selain untuk mengisi waktu luangnya, Abu juga ingin agar
kawan-kawannya bisa kembali menjadi manusia yang baik dengan belajar qur’an
tersebut. Setidaknya mereka terlatih untuk aktif dan tidak mudah untuk stres. “Membangkitkan
ilmu itu adalah upaya paling mulia untuk meyelamatkan manusia dari kehancuran,
terutama oleh narkoba,” ujar mantan pengajar di sebuah pesantren di Solo
tersebut. Ia sangat mendukung program Pesantren yang rencananya akan diadakan
di seluruh Lapas Nusakambangan. “Kalau pesantren dijalankan ustadznya mesti
sabar juga,” tambah Abu. Ia sangat yakin dengan ilmu agama, proses
pemasyarakatan akan lebih baik.
Salah seorang peserta, Umar mengaku sangat terbantu dengan
apa yang diajarkan Abu Husna. Pemuda asal Ambon ini mengaku memperoleh semangat
untuk memperbaiki diri. Pengetahuan qur’an sangat membantunya menemukan prisip
hidup yang sejatinya. “Alhamdullilah di sini saya diberi kesempatan untuk
menjadi lebih baik,” cakap pemuda 25 tahun ini. Ia yang didakwa atas kasus
pembunuhan sebelumnya dikenal sebagai biang di lapas. Kala masih tinggal di
Lapas Kembang Kuning, ia berkali-kali disell karena berbuat onar. Setelah
pindah ke Lapas Pasir Putih ia kini bahkan seperti menjadi asisten Abu Husna
dalam mengajar.
Umar tidak menilai apa yang diajarkan Abu murni tentang
qur’an dan sama sekali tak menyinggung terorisme. Baginya Abu adalah bapa yang
mencurhkan ilmu bagi kebaikannya dan kawan-kawan. “Subahanallah, kita sangat
tertolong,” ujar Umar yang saat itu mengenakan pecis dan mata yang meneduh. Minat
warga binaan lain untuk belajar agama menurutnya cukup tinggi. Umar membantu
Lapas untuk mendata warga yang berminat mengikuti pesantren. Tak kurang 80
orang telah mendaftar.
Haris, salah seroang warga binaan Lapas Kembangkuning telah
berperan aktif dalam pembelajaran agama. Di waktu luangnya ia mengajar membaca
qur’an pada napi lainnya. “Ada sedikit ilmu yang ingin saya amalkan,” papar
pria asal Seragen, Jawa Tengah ini. Ia didakwa kasus terorisme dengan masa
hukuman delapan tahun. Ia mengakui beberapa kawan sesama napi terorisme yang
sama sekali tak mau berinteraksi. Meski demikian ia tidak sama sekali memasukan
ideologi dan semacamnya. “Ya, setiap hari kami ada kegiatan kecuali hari
Sabtu,” tambahnya. Selain mengajar membaca qur’an, Haris juga mengajak
rekan-rekannya untuk yasinan.
****
Kapal merapat tepat waktu pagi itu. Pekerja dengan sepatu
khas pekerja tambang menenteng bangga selang dan tali. Tak banyak kata terucap
dari mereka. Mata mereka hanya memandang yakin pulau hijau seluas 121 km² di
depan mata. Seorang paruh baya yang terselip di rombongan tersebut. Ustadz Hasan,
begitu ia disapa, sejak tahun 1991 telah keluar masuk Nusakambangan. Berbaju
koko serta berkopiah hitam, pria itu tanpa canggung memecah tawa para pekerja.
Kala kapal bersandar di dermaga, Hasan dan seluruh pekerja
mendarat. Sebuah Isuzu Panther tahun 90-an telah siap di halaman cek point
Holcim – sebuah perusahaan semen. Melihat jalan aman dari alat-alat besar,
Hasan langsung tancap gas. “Saya jadi sopir travel
sekarang ya,” candanya berlanjut tawa. Dengan sigap ia mengatur kemudi menembus
rimba Nusakambangan. “Indah bukan pemandangannya,” tambah Hasan. Jalan yang
dilewati persis di tepi laut dengan rimba hijau di sisi lainnya. Keindahan itu
tak mencerminkan mitos seram sembilan penjara kelas kakap di dalamnya. Dari
jumlah tersebut, tujuh lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang masih berfungsi.
Lapas lain yang merupakan peninggalan VOC kini menjadi cagar budaya.
Setelah berpuluh tahun berdakwah, Hasan tengah mempersiapkan
konsep pesantren bagi seluruh Lapas. Ini dilakukannya agar proses pendampingan
bisa lebih efektif. Sejaitinya Hasan telah melakukan bimbingan konseling dengan
konsep pengajaran Islam selama ini. Hampir seluruh warga binaan terutama yang
muslim mendapat bimbingan konseling darinya. Warga secara perlahan diperkenalkan
pada masjid. Setelahnya, mereka diarahkan untuk memperbaiki sikapnya, minimal
mau mengerjakan shalat. Baru setelah itu warga warga binaan diberikan ilmu
tentang Islam pula secara bertahap.
Hasan melihat metode konseling yang demikian cukup ampuh.
Bersama para pengurus Lapas, ia mencetuskan untuk menjadikan pembinaan berbasis
keislaman itu lebih tersistematis. Sebuah perusahaan semen, Holcim, yang tengah
beraktifitas di Nusakambangan juga sanggup untuk mendukungnya. Sejumlah pihak
akhirnya sepakat untuk membuat konsep pesantren di semua Lapas Nusakambangan.
Sekitar bulan Oktober 2012 pesantren tersebut akan diresmikan serentak di Lapas
Terbuka, Batu, Besi, Narkotika, Kembangkuning, Permisan, dan Pasir Putih.
Pesantern adalah bentuk pembinaan kepribadian selain program pembinaan
kemandirian yang pula terus didorong.
Program pesantren akan berpusat di masjid tiap Lapas. Kelak
akan ada kurikulum termasuk silabus bagaimana agar materi Islam yang disajikan
bisa memberikan dampak bagi warga binaan. Hasan yakin bahwa pesantren bisa
berperan banyak dalam proses pemasyrakatan. “Sederhana saja. Bagaimana
memberikan kontrisbusi di mental seperitual. Kita harapakan ada perubahan
perlaku,” ujar pria 53 tahun ini. Program pesantren juga akan membantu petugas
Lapas mengatur warganya. “Tidak terlalu repot-repot menasihati,” tambahnya.
Pesantren sedianya akan diisi materi bahasa arab, bahsa
inggris, tahfidz, tahsin, dan pemantapan beribadah. Pendidikan akan
dilaksanakan tiga hari seminggu. Pesantren akan melibatkan pengajar dari luar.
Sekitar sembilan ustadz akan membantu Hasan dalam programnya. Kondisi di Lapas
berbeda dengan di luar. Perlu ada perlakuan khusu agar tujuan pesantren bisa
tercapai. “Ustadzpun saya brifing dulu, saya training dulu, walaupun ilmunya
dalam sekali,” paparnya. Untuk itu kurikulum dan pengajar pertama-tama akan
disesuaikan dengan kondisi Lapas. “Di manapun bumi Allah. Di sinipun bumi
Allah,” tambah Hasan yang kelahiran Bogor, Jawa Barat ini.
Tak lupa Hasan juga akan melibatkan warga binaan yang
memiliki pengetahuan agama untuk ikut berperan. Dalam pengalamannya, jika napi
yang mengajar, materi akan lebih mudah diterima. Hasan jugalah yang membuat
sejumlah terpidana terorisme diizinkan untuk mengajar. Abu Husana dan Haris
beberpa di antaranya. Awalnya mereka dilarang berdakwah. Dengan penjelasan
Hasan yang memastikan mereka tak membawa misi tertentu, Abu dan Haris akhirnya
bisa mengajar.
Dalam program pesantren juga dipersiapkan pendidikan kilat
bagi peserta yang memiliki potensi menjadi mubalig. Rencanya proses akan
dimuali dengan pendidikan selama enam bulan. Tiap Lapas mengirim lima napi
terbaiknya. Mereka yang terpilih akan dikarantina dan disaring. Dari diklat itu
akan didapatkan lima orang yang terpilih sebagai penceramah. Mereka akan
berdakwah dari penjara ke penjara. “Saya sudah izin Pak Mentri, Pa Dirjen juga.
Nanti (napi, Red.) keliling Lapas. Jadi nanti napi menasihati napi sendiri,”
pungkas Hasan. Nasihat ihwal bertaubat akan lebih efektif dilakukan oleh napi
sendiri karena muncul dari pengalaman.
Muhammad Zaelani, kepala Lapas Permisan mengaku sangat mendukung
adanya program pesantren tersebut. Menurutnya pendidikan yang bermuara pada
nilai-nilai Islam akan efektif memperbaiki kepribadian seseorang. Dalam
pengalamannya malang melintang dari berbagai penjara, kesadaran akan nilailah
yang menjadi faktor utama perbaikan jiwa seorang napi. “Saya pernah tugas di
wilayah minoritas muslim. Pernah saya membuat napi menjadi muslim,” ujar pria
kelahiran Yogyakarta 1960 silam ini.
Bagi Zaelani program pembinaan agama sebernarnya telah lama
dilaksanakan. Ini mengacu pada kewajiban pembinaan kepribadian yang diamanarkan
oleh undang-undang. Ia sejumlah Kalapas telah mengatur secara otonom bagaimana
proses pembalajaran agama. “Yang kita perlu adalah kurikulum hingga semacam
silabus,” katanya. Ia ingin jika pesantren di formalkan tujauan dan proses
pembelajran bisa lebih terukur. “Ya, itu kan hanya formalnya. Yang penting
pelaksanaannya,” tambah Kalapas yang pernah dikirim ke Jepang dan Amerika ini. Ia
berharap jika program pesantren bisa berjalan sesuai rencana.
Zaelani juga mewanti-wanti ihwal tantangan yang kemungkinan
terjadi. Di dalam Lapas tidak hanya berisi orang yang awam agama. Terdapat pula
napi yang ilmu agamanya cukup mumpuni. Dalam pengalamannya, perbedaan Ormas
Islam bahkan aliran mesti bisa diperhatikan. Ia mencontohkan enam napi kasus
terorisme di Lapasnya. Tiga diantaranya mau bergaul, bahkan membantu mengajar
membaca qur’an. Sedang sisanya sama sekali tak mau kompromi. Mereka masih
menyebut Zaenal dan petugas lapas lain taghut.
Bahkan solat Jum’at pun mereka tak sudi karena masjid dan teman sholatnya tak
sepandangan. Ia meminta agar materi dan ustadz yang digunakan memiliki
netralitas.
****
Suara merdul plus irama alat musik nan harmonis terdengar
dari tengah Lapas Besi. “Banyak salahku
dan juga banyak dosaku…,” bunyi sepenggal syair lagu itu. Sekitar delapan
warga binaan tengah berlatih nasyid. Sebagai selingan mereka memainkan lagi
bergenre pop ciptaan sendiri. “Penjara
sebagai ujung taubatku, Allah kan selalu jadi saksiku, tuk lalui hidup dalam
penyesalanku…,” bunyi reff lagu itu. Latihan dilakukan sebagai persiapan
tampil di acara syawalan PT. Holcim. “Cinta
kasihku hanya untukMu, semangat hidupku hanyalah karenaMu,” alunan syair
penutup lagu. Mereka kemudian maminkan marawis yang berisi shalawat memuja Sang
Rab.
Kelompok nasyid tersebut adalah salah satu hasil dari
pembinaan agama di Lapas Besi selama ini. Sebagian besar anggotanya adalah
terpidana kasus narkoba. Selain dibimbing oleh Hasan Makarim, salah seorang
motor grup tersebut juga paham soal nasyid dan marawis saat di luar. Mereka
sepakat mendirikan grup nasyid yang memainkan lagu bergenre marawis dan pop
religi. Setelah terbentuk musik yang mereka mainkan ternyata cukup diminati.
Mereka menang dalam kompetisi nasyid se-Nusakambangan. Dari itu mereka
beberapakali diminta manggung di kota
Cilacap.
Dedi Turyadi, kepala Lapas Besi berkisah jika awalnya grup
nasyid warga binaannya tak memiliki alat yang layak. Mereka bermusik dengan
alat seadanya seperti galon air mineral. Lapas akhirnya berinisiatif memeberikan
fasilitas gitar. Dengan alat yang cukup sederhana musikalitas grup nasyid Lapas
Besi ternyata mumpuni. Saat tampil di sebuah acara, beberapa yang menyaksikan
tertarik untuk membantu memberikan alat musik lengkap. Salah satunya adalah PT.
Holcim yang memang sedang melakukan penambangan di pulau Nusakambangan.
Menurut Dedi, kegiatan semacam nasyid sangat membantunya
dalam pembinaan. Warga binaan bisa memanfaatkan waktu dan energi untuk hal yang
positif. Selain itu pesan yang terkandung dari sholawat bisa menata mental napi
untuk kembali baik. Karena sebagian besar warga binaan Lapas Besi adalah kasus
narkoba, pendekatan agama sangat diperlukan. “Kalau narkoba itu ya. Yang paling
penting rohaninya,” ujar pria kelahiran Tasik Malaya 52 tahun silam ini. Banyaknya
kegiatan juga membantu napi untuk tak kembali kecanduan.
Grup nasyid Lapas Besi diakui Dedi sebagai grup terbaik. Bahkan
personil grup tersebut telah melakukan kaderisasai. Sehingga tatkala salah
seorang napi telah bebas, grup nasyid tetap bisa hidup. Tentang rencana
peresmian pesantren, Dedi mengaku antusias. Walaupun pembelajaran agama telah
berjalan, jika diresmikan, pembelajaran bisa lebih efektif. “Di sini masjid
makmur. Puasa kemarin taraweh ful hingga akhir,” katanya. Ia juga
mempersilahkan pihak ketiga yang ingin membantu program pesantren tersebut. “Minimal
kan harus ada mike ya,” tambah Dedi mengomentari keterlibatan PT. Holcim
sebagai sponsor dalam program pesantren.
Dalam rencana peresmian pesantren di seluruh Lapas
Nusakambangan, Lapas bekerjasama dengan PT. Holcim. Perusahaan semen itu
menjadikan Lapas sebagai prioritas dalan program CSR (Corporate Social Responsibility). “Dimanapun kita beroprasi, kita memperhatikan tiga hal
pokok: adanya nilai tambah bagi warga sekitar, adanya CSR, dan sustainable environment,” ujar General Manager PT. Holcim, Didik Dirgantoro. Keberadaan
Lapas di Nusakambangan menjadi perhatian utama program tersebut.
PT. Hoclim sendiri telah beberapa tahun melakukan penambangan
di area pulau nusakambangan. PT. Holcim mengantongi IUP (izin ….. produksi)
seluas 100 hektar. Ada beberapa pihak yang selalu dilibatkan dalam perencanaan,
baik eksploitasi, reklamasi, hingga CSR. Pihak tersebut adalah Departemen Hukum
dan HAM, BKSDA (Badan Kordinasi Sumber Daya Alam) Kabupaten Cilacap, dan
sejumlah LSM. Selain proses ekploitasi yang masih berjalan, proses reklamasi,
dan CSR terus berjalan.
Untuk CSR, PT. Holcim telah merencanakan hingga lima tahun.
CSR tersebut meliputi Program Pembinaan Terbaik (kemandirian dan kepribadian),
Pengembangan SDM Pemasyarakatan (Pegawai dan Masyarakat), Ramah Lingkungan, dan
Infrastruktur Sarana Prasarana. Pelaksanaan CSR tersebut dilaksanaan hingga 100
persen pada tahun 2015.
Program pesantren yang sedang digalakan Lapas adalah salah
satu bentuk dukungan Holcim dalam program pembinaan terbaik. Dalam hal
pembinaan kepribadian, Holcim membangaun dan memperbaiki fasilitas yang terkat
dengan pembinaan kepribadian seperti masjid. Menurut Didik, Holcim juga
menyediakan perlatan serta keperluan dalam jalnya pesantren tersebut. Selain
itu, lomba terkait pemahaman agama seperti lomba qiroah, cerdas cermat agama
dan sebagainya juga menjadi perhatian Holcim. “Kalau soal itu (Agama, Red.)
barangkali saya kalah dengan mereka (warga binaan, Red.),” canda Didik yang
kini berusia 45 tahun ini. Bagi pembinaan kemandirian napi, Didik mengaku jika
Holcim juga memberikan bantuan pembinaan keterampilan. Keterampilan yang
diberikan adalah seperti pelatihan perbengkelan, batik, pembuatan sapu, batu
akik, dan sebagainya.
Warga binaan juga dilibatkan dalam program ramah lingkungan. Mereka
yang sudah pada tahap asimilasi diajak bekerjasama untuk melakukan pembibitan
tanaman. Dengan bekerjasama dengan BKSDA, pembibitan dilakukan di green house
Lapas Narkotika dan Lapas Terbuka. 40.000 bibit yang ada rencananya akan
ditanam untuk mereklamasi lahan bekas tambang. Dengan bekerjasama dengan BKSDA,
pembibitan dilakukan di green house Lapas Narkotika dan Lapas Terbuka.
Didik juga memandang perlu
adanaya pemberdayaan petugas Lapas. Untuk itu Holcim baru saja meresmikan PAUD
yang sedianya menjadi tempat belajar anak para petugas. Petugas Lapas juga
diberi pelatihan API (Assessing
Personal Genius) dan OPI (Organization
Performance Improvement) agar para petugas
memiliki kompetensi yang baik. Kompetensi yang baik akan membuat proses pemasyarakatan
lebih efektif. “Kita bercita-cita, setelah mereka (warga binaan, Red.) tidak di
sana, mereka bisa mandiri,” harap Didik atas nama Holcim.
Dimuat di Majalah Isra' Pusham UII
Komentar
Posting Komentar