Mereka pernah berlaku
tak selayaknya manusia. Mereka kehialangan harkat dan martabatnya. Akan tetapi,
mereka tetap manusia. Penjara adalah bengkel agar mereka kembali menjadi
manusia yang paripurna.
Suparman baru saja pulang merantau dari pulau
Bangka malam itu. Saat di terminal ia tak sengaja bersenggolan dengan sesorang.
Ia langsung meminta maaf. Ternyata orang yang baru saja ia tabrak adalah preman
yang menguasai terminal itu. Kesokan harinya, saat Suparman baru saja sholat
subuh, ia dikejutkan oleh suara kaca pecah. Suparman berlari ke ruang tamu dan
mendapati beberapa orang baru saja melempar kaca rumahnya dengan batu.
Orang tua Suparman cukup terpukul dengan kejadian
itu. Suparman memang masih tinggal dengan Ayah dan Ibunya. Melihat kesedihan
orang tuanya dan sakit hati yang memuncak, Suparman lantas bergegas mencari
grombolan yang merusak rumahnya. Ternyata ia menemukan orang-orang tersbut di
terminal. Mereka bersama orang yang tempo hari bersenggolan dengannya. Tanpa
pikir panjang Suparman langsung menghampiri grombolan tersbut. Singkat cerita
Suparman berkelahi dengan lima orang sekaligus. Satu di antaranya tiba-tiba
tumbang. Sebilah pisau menembus dadanya. Suparman akhrinya ditahan setelah
mengalahkan sang penguasa terminal. “Saya langsung menyerahkan diri,” kenang
Suparman dengan mata nanar.
Peristiwa itu terjadi sekitar tiga tahun silam di
kampung halaman Suparman. Setelah sekian waktu ditahan di Palembang, ia
dipindah ke Lapas Pasir Putih Nusakambangan. Kini ia menjadi salah satu takmir
di masjid Lapas Pasir Putih. Ia membantu Hasan Makarim dalam melakukan
bimbingan keagamaan. Suparman juga menjadi asisten tiap kali pelajaran bahasa
Arab bersama Abu Husna. “Jazakumullah
khoirul jazza,” ucapnya kala Hasan Makarim menyambangi masjid. Ia cepat
menangkap pelajaran bahasa Arab.
Suparman
adalah salah satu dari sejumlah warga binaan Lapas Pasir Putih yang aktif dalam
kegiatan masjid. Tiap hari Senin hingga Kamis mereka mengadakan kajian bahasa
Arab yang diberikan Abu Husna. Suprman juga yang bertanggungjawab untuk
mengumandangkan azan. “Saya senang sekali dapat kesempatan belajar agama di
sini,” ucap pemuda 25 tahun ini. Ia dan rekannya di masjid rata-rata tak cukup
mengenal agama.
Selain jago bahasa arab, Suparman juga dikenal
lincah bermain footsal. Tiap Lapas di Nusakambangan memang dilengkapi dengan
fasilitas olah raga yang lengkap. Dari tenis lapangan hingga bola basket semua
sesuai standar profesional. Hermawan Yunianto, Kepala Lapas Batu menjelaskan
jika fasilitas olah raga adalah salah satu syarat penting dalam pembinaan. Secara
umum program pembinaan di Lapas dibagi menjadi program pembinaan kepribadian
dan program pembinaan kemandirian. Kedua program pembinaan tersebut mesti
dijabarkan dalam kegiatan nyata secara efektif.
Menurut Hermawan, proses pemasyarakatan pada dasarnya
adalah mengembalikan manusia kepada harkat martabatnya. Seorang manusia yang
bermartabat mesti dibangun jiwanya. Sedang manusia yang memiliki harkat harus
memiliki kemandirian. Untuk sementara mereka yang berada di Lapas tengah
kehilangan keduanya. Maka, pemasyarakatan harus membangunnya sebagai manusia
yang utuh kembali. “Ini mahluk yang namanya manusia,” ujarnya menjelaskan jika
prinsip pembinaannya adalah memanusiakan manusia.
Mempraktikan pembinaan yang demikian bukan perkara
mudah. Warga binaan datang dengan kepribadian masing-masing. “Karena ini
penjara. Ada dimensi-dimensi lain yang harus kita perhatikan,” papar Hermawan. Latarbelakang
si napi termasuk etnis dan budaya bahkan pendidikan menjadi hal yang penting
untuk diperhatikan. “Ada seribu orang, seribu keunikan pula,” tambah pria
kelahiran Banjarnegara ini. Ia menyebut pembinaannya dengan istila unequal approach.
Karakteristik yang berbeda disikapi dengan
pendekatan yang berbeda pula. Adakalanya pembinaan bersifat lembut untuk
menyentuh kesadaran para napi. Adakalanya pula petugas bersikap keras untuk
membangun kepatuhan. “Mendekati manusia sesuai dengan keunikan yang dimiliki.
Jadi bukan diskriminasi,” jelas Hermawan sembari memberikan ilustrasi. Lapas
yang ia pimpin saat ini memang berisi tahanan kelas kakap. Sejumlah 27 napi
hukuman mati, 43 orang hukuman seumur hidup dan ratusan lainnya dengan masa
tahanan kategori tinggi. “Ngeli tapi ojo keli. bahasa saya seperti itu,”
pungkasnya mengistilahkan pendekatan pada warga binaan.
Lapas Batu juga pernah menjadi perbincangan hangat
November 2008 silam. Kala itu adalah eksekusi terpidana mati kasus terorisme
Amrozi, Ali Gufron alias Muklas, dan Imam Samudra dilaksanakan. Edi Warsono,
Kepala Bagian Pembinaan di Lapas Batu memiliki kesan tersendiri terhadap
ketiganya. “Terlepas dari mereka bersalah, saya cukup kehilangan saat itu,”
kenangnya. Dalam penilaian Edi, ketiganya sosok yang ramah. Selama tiga tahun
ditahan, mereka cukup kooperatif. “Ini foto saya dengan Amrozi,” ucap Edi
sembari menunjukan fotonya bersama Amrozi yang nampak cukup akrab. Karena
itulah Edi menyebut napi kasus terorisme sangat unik.
Selain trio tersebut, hingga kini Lapas Batu juga
membina sekitar enam terpidana terorisme. Edi yang pernah menjadi pemateri
dalam workshop penanganan napi terorisme di London, Inggris ini menereangkan
jika ada penangan khusus bagi mereka. “Mereka bukan karena soal perut. Bertolak
dari suatu nilai. Kita harus memahami itu,” paparnya. Untuk itu, sedari awal
memang ada kesepakatan bagi warga binaan kasus terorisme. “Ada MOU. Mereka
harus siap menerima perbedaan yang ada,” ujar pria asli Cilacap ini.
Pendekatan utama yang dilakukan adalah
membangkitkan kesadaran akan nilai yang universal. Tentang Islam, Edi mencoba
membawa mereka pada hal yang bersifat umum. “Mana yang wilayah syareat, mana
yang tidak. Kita harus pahan. Kalau tidak kita bentrok,” ucap lelaki 50 tahun
ini. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara juga menjadi hal utama bagi
napi ideologis tersebut.
Napi Terorisme juga dilibatkan dalam pembinaan
agama dan pemeliharaan Lapas. Mereka memiliki kelebihan untuk mengajak
rekan-rekannya hidup disiplin. Bebrapa dari mereka sudah mau membuka diri dan
mampu berkontribusi bagi perkembangan Lapas.
****
Andrea Tanamas antusias menerangkan produk
aksesoris di mejanya. Ia kemudian mengenakan kacamata plus agar lebih jelas
melihat produk tersebut. “Ini sepesial karena asli tulisan tangan,” terangnya.
Menggenakan kaos Polo dan celana blue jeans, penampilan pria 56 tahun ini cukup
parlente. Ia nampak seperti direktur sebuah perusahaan. Tak terlihat jika ia adalah
salah seroang napi di Lapas Pasir Putih. “Dua tahun lagi saya bebas,” tutur
lelaki asal Jakarta ini.
Sementera itu di belakanga Andrea, rekan-rekannya
nampak sibuk dengan karya-karyanya. Mereka tengah membuat kerajinan gelang dan gantungan
kunci. Beberapa tengah menghaluskan pralon yang menjadi media. Setelah itu
pralon dilukis dengan tangan. Rata-rata motifnya berupa batik dengan tulisan
Lapas Pasir Besi.
“Hallo, nama saya Okudele,” sapa seorang bertubuh
tinggi besar dengan rambut gimbal panjang hingga sepunggung. Lelaki asal
Nigeria itu lantas menunjukan karya-karnya. Sebagian besar karyanya adalah
kerjinan kerang dan pasir. Kerang itu dilukis bertemakan religi. Sedang pasir
adalah media mempercantik bingkai dengan lukisan Nabi Isa di dalamnya. “Saya
senang sekali. Banyak yang laku,” ujar Okudele. Ia adalah terpidana mati kasus
narkoba.
Di ruangan yang sama tiga orang tengah sibuk
dengan jaitannya. Seorang bertugas menggambar dan memotong kain. Seorang
lainnya penuh konsentrasi menjahit kain yang ada dan seorang lagi tengah asik
mengobras. “Ini sedang bikin baju batik,” ujar Hibzani salah satu penjahit itu.
Kualitas pakaian buatan Hibzani sudah tergolong mumpuni karena cukup laku. Di
bengkel jahit itu mereka juga membuat horden.
Anggit Yongki Setiawan dengan penuh perhatian
memperhatikan kerja binaannya. Ia sebagai Kasi Kegiatan Kerja Lapas Pasir Putih
menerangkan jika ketiga penjahitnya adalah pilihan. Awalnya ada diklat
menjahit. Mereka yang dinilai baik diikutkan di diklat lanjutan. Dari sekian,
Hibzani dan ketiga temannyalah yang lolos.
Selain kerajianan dan menjahit, pembekalan
keterampilan yang diberikan adalah Las, perikanan, pertanian, dan peternakan. Hasil
penjualan karya para napi dimasukan dalam kas. Kas itu kemudian dibelajakan
untuk bahan baku, sisanya menjadi tabungan bagi napi bersangkutan. Selain
manfaat materi, kegiatan itu sangatlah membantu Lapas. “Waktu itu kan jadi
nggak terasa. Tahu-tahu sudah berganti hari,” ujar Anggit.
Pembekalan keterampilan adalah bentuk pembinaan
kemandirian. Kalapas Terbuka, Muhammad Susani menjelaskan jika pemibanaan
kemandirian sangat penting agar setelah di luar, napi bisa menjalani kehidupan
secara normal. Keterampilan sekaligus membentengi mereka untuk kembali berbuat
menyimpang. Lapas Terbuka yang Sani pimpin sejatinya adalah tempat yang
dipersiapkan bagi napi menjelang ia bebeas. Sesuai peraturan, hanya napi dengan
sisa tahan 1,5 tahun yang boleh ditempatkan di Lapas Terbuka.
Peraturan tersbut bagi Sani perlu diperbaiki
termasuk peraturan mengenai Lapas Terbuka. “LP Terbuka itu mau di bawa kemana”
tanya Sani. Pertanyaan itu tepat kiranya jika melihat kondisi Lapas Terbuka.
Berbeda dengan Lapas lain yang penuh sesak, Lapas Terbuka sangat minim
penghuni. “Di sini ada tiga orang napi banding 30 pegawai. Banyak pegawainya,”
tutur Sani yang memagang gelar master dari Universitas Indonesia ini. Dari
ketiga napi, hampir semuanya kasus pidana ringan seperti pencurian dan
perkelahian dengan kekerasan.
Kondisi itu barkibat pada berjalannya program
Lapas. Lapas Terbuka dipersiapkan membekali keterampilan sehingga memiliki
banyak kegiatan. Karena jumlah napi tidak sesuai, program seperti pertanian dan
peternakan justru dilakukan oleh petugas Lapas. Padahal potensi Lapas Terbuka
sangat penting bagi pembinaan napi.
Sani tak mengingkari jika memang ada sedikit
permasalahan dalam kerjasama antar Lapas. “Ada konflik interest antara
masing-masing Lapas,” katanya. Beberapa Lapas tidak mau memindahkan napi yang
seharusnya dimasukan ke Lapas Terbuka. Sebagian besar napi yang hampir lepas
memiliki kepribadian dan etos kerja yang baik. Hal itu akan mendukung
kesuksesan program Lapas. Sebaliknya, napi yang bermasalah biasanya langsung
dipindah. “Saya berharap peraturan menganai Lapas Terbuka mesti dikaji
kembali,” pungkas Sani yang baru beberapa bulan ditempatkan di Lapas Terbuka
ini.
****
Maret 2011,
secara mengejutkan Lapas Narkotika menjadi pergujingan di masyarakat. Kepala
Lapas Marwan Adli dan dua petugas Lapas Narkotika diciduk Aparat Badan
Narkotika Nasional (BNN). Marwan dan anak buahnya diduga bersekongkokol dengan jaringan
perdagangan narkotika. Mereka bekerjasama dengan napinya mengendalikan
perdagangan narkotika bersekala besar. Kini, Marwan sang komandan pejaga
penjara justru merasakan sendiri dingin dan sunyinya hotel prodeo.
Tak berselang lama, Lilik Sujandi yang kala
itu bertugas di Lapas Merauke, Papua dihubungi Drijen Pemasyarakatan. Ia
diminta untuk memimpin Lapas Narkotika. Sebelumnya Lilik sudah menyangka jika
ia mesti dipindahkan. “Saya selalu ditempatkan di Lapas yang tengah
bermasalah,” ujuarnya. Kalapas termuda itu pun segera memutar otak untuk
membenahi Lapas Narkotika.
Dalam hintungan bulan, Lilik mampu merubah Lapas
Narkotika. Tahun 2011, Lapas Narkotika dianugerahi sebagai Lapas Terbaik. Hasil
itu tak mencengangkan jika melihat sejumlah terobosan yang Lilik lakukan. Pertama,
ia melakukan kompterisasi Lapas. Ia membuat database seluruh napi yang ada.
Sistem itu diperkuat dengan kontrol penjenguk yang terintegrasi dalam sistem.
“Siapa yang mengunjungi siapa, semua tercatat di komputer,” ucap Kalapas yang
sempat di kirim ke Swedia dan Jepang ini. Hal itu mengurangi potensi adanya
penyeludupan ke dalam Lapas. Napi yang mendapat kunjungan juga dipanggil
melalui pengeras suara. Itu mengurangi potensi adanya pungutan liar.
Kedua, Lilik merombak ruang tunggu layaknya taman.
Ini menyikapi banyaknya keluarga korban yang adalah ibu-ibu muda. Dengan
membuatnya layaknya taman bermain, keintiman hubungan ayah, ibu, dan anak bisa
dijaga. Terobosan itu juga penting agar proses edukasi terhadap anak bisa
berjalan. “Paling tidak mereka tidak mengalami trauma,” tambah pria asli
Magelang ini. Ruang jenguk itupun dilengkapi dengan ruang menyusui dan tak lupa
permainan khas anak-anak di halamannya.
Yang ketiga, lilik menjadikan warga binaannya
sebagai konselor bagi napi lainnya. “Merek harus ikut dalam amar makruf nahi
mungkar,” jelas Lilik yang baru berusia 40 tahun ini. Program ini bekerjasama
dengan Hasan Makarim sebagai pembina agama. Beberapa napi yang memenuhi syarat
dilatih kemampuan berdakwahnya. Mereka dipersiapakan untuk menasihati sesama
napi lainnya. Lilik yakin jika apa yang diceramahkan oleh seorang yang pernah
mengalami akan lebih bisa masuk dalam kesadaran.
Terkait pendahulunya yang tersandung persoalan
hukum, Lilik berpendapat bahwa godaan menjadi seorang sipir penjara itu luar
biasa besar. Saat bertugas di Cipinang, ia pernah ditemui seorang bandar. “Uang
satu koper besar di depan saya. Kalo iman nda kuat, saya langsung kaya raya
saat itu juga,” kenang Lilik mengingat peristiwa saat awal menjadi petugas
Lapas. Ia mengingatkan Namun sebagai seorang petugas hendaknya berfikir lebih
luas. Tak lupa ia mengingatkan bahwa iman dan ketakwaan terhadap Tuhan adalah
hal utama.
Dimuat di Majalah Isra', Pusham UII
Komentar
Posting Komentar