Sekali lagi
saya mesti curhat colongan alias curcol. Ya, sudah berkali-kali
memang. Sampai akhirnya saya terinspirasi untuk membuat genre baru: Esai Curcol
— nggak mau kalah sama Denny JA. Tapi, saya yakin curhat saya kali ini
agak penting. Serius…
Ceritanya
terjadi saat saya masih kuliah S1. Jujur saja kalau saya ini mahasiswa biang
kerok. Di mana-mana sukanya bikin rame. Berkali-kali saya mesti bersinggungan
dengan banyak pihak yang merasa terusik dengan ulah saya. Untungnya, saya rock
n’ roll abis saat itu. Jadi Alhamdulillah semua bisa saya lewati dengan woles.
Samapai
akhirnya ada kejadian yang sempat membuat saya mengerutkan dahi untuk sekian
lama. Sebagai tukang onar biasanya seseorang mengkader yang lain untuk bisa
memeriahkan keonaran. Suatu hari adik ideologis saya yang namanya Fajar dan
Dimas mempraktikan cara praktis how to bikin onar.
Ya, kedua adik
kesayangan saya saat itu masih magang. Salah satu tugas magang adalah menulis
berita untuk buletin. Kalau nggak salah saat itu mereka mengerjakan
buletin edisi khusus OSPEK. Ceritanya mereka ingin mengangkat topik soal dana
kemahasiswaan. Mereka punya pandangan jika jumlah mahasiswa kampus kami yang
selalu naik mesti diikuiti kenaikan anggaran kemahasiswaan. Sayangnya, sudah
bertahun-tahaun — sepengetahuan Fajar dan Dimas — dana kemahasiswaan tidak jua
naik.
Dengan
langkah mantap kedua patner in crime ini meniti tangga menuju kantor
rektorat. Mereka belum genap setahun lulus SMA. Jadi, wajar kiranya kalau
metode berpikir dan bertindak keduanya sangat radikal bak heavy metal. Sebagai
abang saya tenang-tenang saja. Saya cukup yakin mereka bisa mendapatkan
informasi yang berharga dan mencerahkan itu.
Rupanya saya
keliru. Sepulang dari rektorat, si kurus Dimas wajahnya memerah dengan bola
mata yang tak fokus. Sementara itu, si bohai Fajar langkahnya acak
sembari melempar kepalan tangan ke tembok. Kakinya menedangi apa saja yang
berada di radius jangkauan tubuhnya. Hem, saya menarik nafas panjang. Dalam
hati saya sudah paham kalau dua sosok bak angka sepuluh itu bakalan buat
persoalan serius.
Benar saja. Rektorat
rupanya kurang nyaman dengan materi wawancara Fajar dan Dimas. Informasi soal
keuangan adalah top secret yang sensitif. Tidak saja menolak untuk
memberikan informasi, organisasi tempat kami bernaung malah diancam dibubarkan.
Sebagai kepala suku konon saya terancam dikeluarkan alias di-DO.
Sebagai
kepala suku akhirnya saya mesti melakukan mediasi. Saya sangat hormat dan
mencintai sosok-sosok di rektorat. Ini asli dan jujur. Dalam banyak hal kami
berbeda pandangan. Tapi secara personal saya sangat hormat kepada
beliau-beliau. Ini curhat. Hehe… Jadi, saya tetap meminta maaf jika
mungkin ada kesalahan etika wawancara yang adik-adik saya lakukan. Sebagai
wujudnya rektorat dipersilahkan untuk menulis hak jawab. Tapi rupanya beliau
sangat sibuk. Ya, walapun sebagai orang tua akhirnya beliau mau kembali meng-ACC
permohonan dana kami. Begitulah bentuk kemesraan antara orang tua dan anak:
cukup dinamis.
Meski
demikian, hingga detik ini saya tak pernah menganggap informasi yang Fajar dan
Dimas minta itu tabu. Informasi dana kemahasiswaan adalah hak publik. Tidak
hanya bagi kampus kami. Semua kampus bahkan semua lembaga publik harus mau
transparan. Itu keyakinan yang saya dan seluruh teman-teman seperjuangan yakini
hingga kapanpun.
Ya, transparansi
adalah konsekuensi demokrasi. Transparansi adalah satu hal penting dalam
pembangunan. Transparansi itu bisa meminimalisir konflik dan penyalahgunaan. Lebih
jelasnya soal khasiat transparansi mungkin saya kutip saja dari ahlinya. Takut
kalau jadi ngawur, hehehe… KontraS (2011) menyatakan trnasparansi atas
informasi publik itu penting untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik:
1. Akan
mewujudkan masyarakat yang tidak korup.
2. Akan
mewujudkan masyarakat yang bebas dari kelaparan.
3. Akan
mewujudkan masyarakat yang lebih sehat.
4. Akan
mewujudkan masyarakat yang lebih menghormati lingkungan hidup.
5. Akan
mewujudkan masyarakat yang lebih menghormati hak asasi manusia.
6. Akan
membantu privasi seseorang lebih dihormati.
7. Akan membantu
negara lebih aman.
8. Akan
membantu untuk sistem politik yang lebih demokratis.
9. Akan
membantu pemerintahan yang lebih efisien.
10. Akan
menyebabkan pengambilan keputusan yang lebih baik.
11. Akan
membantu perekonomian menjadi lebih efisien.
12. Akan
membantu seseorang untuk menerima perlakukan yang lebih baik dari
lembaga-lembaga publik.
Wah, ternyata
transparansi itu cool man!!! Selamat buat Fajar dan Dimas karena
ternyata usahanya itu punya manfaat yang masyaallah. Cuma satu lagi.
Mungkin Almarhum Mas Munir bisa menjawab — selaku pendiri KontraS. Mas Munir,
tolong jawab dengan jujur yah... Apakah transparansi bisa membantu jomblowan
untuk menemukan pasangan? Jangan tertatawa gitu Mas... Ini serius. Curhatku ini
dari dalam relung hatiku terdalam Mas...
Jika Mas
Munir menjawab ya maka saya akan memperjuangkan transparansi sekuat
tenaga saya. Siapa tau selain bisa ketemu jodoh bisa juga mengungkap siapa yang
tega menghilangkan nyawa sampean Mas. Turut sedih karena Pollycarpus
baru dibebaskan Mas. Nanti kalau ketemu tak ajak pockeran. Kalau kalah dia
suruh jongkok sama ngaku siapa yang nyuruh dia. Enak aja, orang seikhlas
seperti Mas Munir ini kok diperlakukan begitu. Oke, selamat beristirahat
dengan tenang sebelumnya Mas. Have a nice dream…
Karena transparansi
informasi publik ini dirasa penting dan urgent maka lahirlah undang-undang yang
mengaturnya. Akhirnya, setelah perdebatan bertahun-tahun, lahirlah Undang-Undang
No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lahirnya UU ini adalah
untuk menjamin hak publik untuk bisa mendapatkan informasi soal lembaga publik.
Lembaga publik yang di maksud dalam UU tersebut mencakup: semua cabang
organ-organ negara, perusahaan negara yang diprivatisasi, universitas swasta, organisasi
inter-pemerintah, hingga Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) yang menerima dan
publik dalam atau luar negeri. UU ini merupakan bentuk pengamalan Konstitusi UUD
1945 Amandemen II (Pasal 28F).
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Ya, karena
sudah diatur oleh UU dan bahkan merupakan amanat konstitusi UUD 1945, transparansi
semua lembaga publik mesti digalakan. Keterbukaan justeru akan melahirkan
manfaat; bukan malah kerugian. Jadi, tidak ada lagi alasan untuk tidak terbuka.
Toh itu tidak akan meruginakan siapapun — jika memang semuanya punya
niat baik. Buat Fajar dan Dimas, kalian nggak usah menyesal atau takut.
Ternyata tindakan kalian benar dan justeru mengamalkan konstitusi. Ciyeee…
selamat yak hampir jadi superhero. Hem, mungkin yang perlu kita
lakukan adalah meluruskan niat. Memperjuangkan keterbukaan bukan dalam rangka
menyerang siapapun. Menggelorakan transparansi lembaga publik adalah bentuk
jihad dan amal kita untuk Indonesia yang lebih baik.
Nah, untuk itulah kami mendirikan Karimata Institute. Apa dan bagaimana Karimata Institute akan kita bahas pada Esai Curcol selanjutnya yak. Yang jelas, PUBLIK PERLU TAHU….
Tahun berikutnya adalah tugas wawancaraku sama bersama partner baruku menghadap rektorat. itu kali pertama tugas kami dan langsung menuju salah satu ruangan paling sakral di kampus yang ada dimana-mana ini.
BalasHapusinsiden adik-adik ideologis bak angka 10 itu, rupanya begitu membekas di relung hati dan sulit hilang dari ingatan.
sungguh, kami berdua sama sekali tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, hingga detik ini.
cuma berbekal gosip "kalau dulu, Mas Dimas dan Mas Fajar" sempat buat masalah. tentu saja kami (anak baru super polos.red) merasa hal itu gosip belaka, karena cerita yang kami peroleh selalu di iringi dengan gelak tawa terbahak-bahak. sungguh dulu kami masih belum mengerti apa maksdunya. maksud dari hubungan tawa dengan masalah pada rektorat.
waktu itu, kami memperkenalkan diri. kami dari unit kegiatan mahasiswa paling bergengsi se-UAD yang sedang diberi tugas meliput..
adduuh, lupa. waktu itu membahas apa. sungguh lupa. yang ku ingat adalah pesan dan nasihat bersama raut wajah kurang bersahabat. aah, apa itu disebut nasihat? entahlah.
kami baru mengajukan sekitar 2 atau 3 butir pertanyaan kala itu. pertanyaan basa-basi.
belum pada inti. tapi kami sudah di wanti dan diberi nasihat seperti ini "Mbak, kalau nulis berita itu yaa, mbok yang "bagus". dulu, ada poros, masing magang. Dimas dan Fajar kalau nggak salah itu yaaa.. (sungguh, mereka terkenal seketika) blaa..blaa..blaa.. (lupa ngomongnya apa. udah nggak konsen duluan waktu itu, gemetar dan takut serta duuh, campur2)
"kita ini satu payung di UAD, satu atap dan satukesatuan. JANGAN MENGGEROGOTI BAGIAN PAYUNG LAINNYA. NEK PAYUNGNYA BOLONG KAN NANTI MALAH KENA HUJAN" kira-kira seperti itu, meskipun redaksinya tidak sama persis demikian..
Kita.. para prajurit pena yang bernaung di unit kegiataan mahasiswa paling kece dianggap sebagai pionir-pionir penggerogot payung.. tikus keles yaa, tukang nggerogot. hihii..
Sekian, cerita selanjutnya di tahun selanjutnya. sungguh saya tidak bisa lupa.
ada nggak yaa, teori Tranparasi Ideal..
BalasHapusjangan terlalu transparanlah untuk menggaet wanita.. takutnya malah semakin menjauh.. hhahaa..
Hahahaha.... menarik itu.
BalasHapusdemikianlah dinamika dalam mencari hal yang kita anggap benar. kadang bertentangan dengan banyak hal. tapi sudah sewajarnya demikian. karena itu, biarlah proses berjalan tapi jangan sampai mundur barang sedikitpun...
soal "trnsparansi jodoh" itu dinamika tersendiri
BalasHapuskadang perlu kelugasan bersikap,
biar cepet laku. hahahah...
mana tulisan kamu yg keren dek??
BalasHapus