Sila-Sila Pancasila |
Masyarakat dibuat resah oleh merebaknya teror bom buku. Disinyalir isu SARA melatarbelakangi teror tersebut. Beberapa waktu sebelumnya terjadi bentrok antara salah satu Ormas dengan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Bentrok serupa menyusul terjadi di Temanggung dengan pemicu sama yaitu Agama. Televisi Al Jazeera bahkan memberitakannya sebagai usaha kudeta terhadap pemerintahan Presiden SBY. Barangkali isu tersebut terlalu jauh. Gejala lunturnya rasa kebhinnekaan antar anak bangsa lebih mungkin menjadi sebab maraknya konflik horizontal di masyarakat.
Menjadi negara bangsa atau nation-state memang penuh tantangan. Tantangan tersebut muncul dari keberagaman yang dikandungnya. Kanyataan ini sebenarnya telah diantisipasi oleh para pendiri bangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar dan asas negara. Konsep Bhinneka Tunggal Ika menjadi jargon yang mesti mendasari setiap anak bangsa dalam hal apapun.
Jika diruntut, konflik horizontal antar kelompok yang berbeda merebak setelah reformasi bergulir. Bukan berarti reformasi salah atau sistem otoriter orde baru baik. Namun, menurunya sikap menghargai keberagaman yang kini terjadi dikarenakan simbol kebangsaan yaitu Pancasila yang kian tersisih.
Ketika orde baru, Pancasila ditanamkan dengan cara indoktrinasi. Ketaatan terhadap Pancasila kala itu juga dimanfaatkan bagi penguasa untuk menyingkirkan lawan politik dan masyarakat yang kritis. Inilah mengapa setelah reformasi cara yang terkesan otoriter dan tidak menghargai kemerdekaan berfikir tersebut dihapuskan.
Penghapusan metode lama tersebut ternyata tak memunculkan cara baru yang lebih efektif dalam mengembangkan sikap kebangsaan. Salah satu contoh kegagalan tersebut adalah pada pendidikan formal seperti pada pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan saat ini malah boleh dibilang tidak lebih baik dari P4 pada zaman Orba.
Kondisi tersebut nampak dari materi pembelajaran Kewarganegaraan yang terlalu terfokus pada pengembangan kemampuan kognitif. Seorang siswa SD kelas 3 semisal mesti menghafal hal berat seperti Trias Politika. Kakak kelasnya kemudian mesti menghafal UUD 1945 atau butir-butir Pancasila. Cara ini justru mempersempit pamahaman siswa mengenai konsep Pancasila dan kebhinnekaan. Seolah yang namanya Indonesia dan Pancasila itu hanya untuk dihafalkan agar lulus ujian semata. Indonesia dan Pancasila bukan lagi dimaknai sebagai gagasan konseptual yang mesti dipraktikan dalam kehidupan nyata.
Berkaca dari semakin menurunnya sikap toleransi atas keberagaman mestinya ada langkah konkrit terutama dalam bidang pendidikan. Ini bisa dimulai dengan pembenahan sistem pendidikan agar bisa lebih menanamkan sikap toleran. Dimulai dari pendidikan Kewarganegaraan yang lebih mengutamakan pemberian materi Pancasila yang mengutamakan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Berlanjut dengan memasukan konsep pendidikan multikultural pada setiap mata pelajaran yang ada.
Komentar
Posting Komentar