Di usia yang lebih dari satu abad ini Muhammadiyah semakin matang. Organisasi
yang dibidani oleh KH. Ahmad Dahlan ini mampu menjadi tetua yang bijak. Riuh-riak
persaiangan ideologis dan politis Ormas Islam tidak membuat Muhammadiyah hanyut
di dalamnya. Muhammadiyah tetap berusaha istiqomah untuk memnjadi lilin bagi
umat.
Keteguhan Muhammadiyah salah satunya bisa dijumpai pada Ranting Suronatan.
Dari salah satu ranting tertua ini, dinamikan Muhammadiyah bisa diterawang. Dinamika
ranting Suronatan dapat menunjukan bagaimana Muhammadiyah berdialektika dengan
sejarah dan zaman.
Catatan sejarah menunjukan jika Ranting Suronatan telah berdiri sejak
tahun 1928. Setidaknya itu ditunjukan oleh dokumen Piagam Pendirian
No:28/KET/I.0/B/2008. Dokumen tersebut menunjukan jika Ranting Suronatan resmi
berdiri pada 1 Juli 1928. Namun demikian, bukti sejarah lainnya — sebuah papan
nama kayu berbahasa Arab — menunjukan jika ranting tersebut telah ada sejak 1921.
Jika bukti tersebut benar maka Ranting Suronatan hanya terpaut sembilan tahun
dari berdirinya Muhammadiyah secara resmi di Kampung Kauman. Hal tersebut
sangat mungkin karena Suronatan memang berbatasan langsung dengan Kauman.
Kedekatan geografis dan historis dengan Kauman menjadi hal yang mendukung
perkembangan Ranting Kauman. “Kasarannya, orang di sini belum lahir pun sudah
Muhammadiyah,” ujar Arief Yulianto, ketua Ranting Muhammadiyah Suronatan. Kedekatan
kultural dengan Kauman membuat kegiatan dakwah dan pengkaderan di Suronatan
relatif mudah. Leluhur Suronatan sedari dulu merupakan sosok-sosok yang juga
membidani dan menjadi saksi kelahiran Muhammadiyah. Tahap konflik ideologis awal
antara ideologi Muhammadiyah dengan ideologi Islam tradisional tidak begitu
terasa di Suronatan.
Namun demikian, bukan berarti Ranting Suronatan “adem ayem” tanpa
adanya gejolak. Sebagai kampung yang bisa dikatakan pusat Kota Jogja, Ranting
ini mau tidak mau mesti terpengaruh dengan dinamika politik nasional. Gejolak
itu dimaknai sebagai sebuah tantangan yang bisa berdampak positif. Dengan penuh semangat, Arief mengatakan, “Harus
ada faksin. Harus ada separing patner. Harus ada musuh, dalam tanda petik.” Pada
1960-an semisal, Suronatan tidak bisa menghindar dari gesekan dengan konflik
ideologi dari partai politik. Kebetulan masa itu menjadi masa kejayaan bagi
PKI. Secara ideologis, PKI memang sangat berbeda dengan Islam dalam hal ini
persyarekatan Muhammadiyah.
Perbedaan ideologi antara Islam dan PKI saat itu sangat meruncing di
tataran akar rumput. Suronatan berbatasan langsung dengan kawasan Mantri Jeron
yang kala itu dikenal sebagai “daerah merah” — daerah yang didominasi ideologi
kiri. “Saat itu ya kami sangat kesulitan masuk apalagi berdakwah di sana,” kata
Arief melanjutkan cerita sesepuh Muhammadiyah. Pasca meredupnya PKI yang
ditandai oleh peristiwa G 30 S PKI, akses menuju daerah merah itu mulai terbuka.
Politik Orde Baru yang represif terhadap gerakan kiri memunculkan celah yang memungkinakan
untuk perkembangan dakwah. Muhammadiyah saat itu mulai mendirikan basis
organisasi di wilayah mereh tersebut. Hingga saat itu, wilayah Mantri Jeron dan
semacamnya justeru menjadi pusat perkembangan dakwah Muhammadiyah.
Ketika era keterbukaan dan kebebasan mencual dengan ditandai lahirnya Orde
Reformasi, Ranting Suronatan kembali diuji. Uforia keterbukaan berakibat pada masuknya
ideologi dan pemikiran baru. Kesemuannya menawarkan kebaruan. Namun demikian,
tidak semua falsafah berpikir tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Umat
Islam secara nasional pula terdampak dengan dinamika tersebut. Mau tak mau,
Ranting Suronatan juga mengalami dampak dari “banjir ideologi”.
Ideologi yang bergesekan dengan Muhammadiyah muncul baik dari kelompok
pemikiran Islam maupun di luar Islam. Salah satu gerakan ideologis yang
nyata-nyata bersinggungan dengan Muhammadiyah adalah salah satu partai Islam. Partai
Islam tersebut persis lahir pasca reformasi. Dengan mengambil wilayah
Muhammadiyah yang cenderung menjadi gerakan pemurnian, Partai tersebut “mencuri”
kader dan wilayah dakwah Muhammadiyah.
Muhammadiyah, meski sebagai gerakan pemurnian Islam, tidak bersifat
hitam-putih dan masih menghargai kebudayaan bangsa Indonesia. Ini berbeda
dengan partai dakwah tersebut. Partai yang muncul dari kader yang kebetulan
berbeda pandang tersebut bersifat puritan ekstrim. Mereka tidak mengambil
bagian dalam kelahiran Indonesia namun ingin memonopoli Indonesia. Indonesia
dan Islam dalam pandangan mereka harus menjadi “melting pot” — yakni
sesuatu yang sama sekali baru. Kebaruan tersebut dalam pandangan mereka adalah
harus menjadi seperti bangsa Arab. Sesuatu yang sangat ditentang oleh
Muhammadiyah dan Ormas Islam berhaluan moderat lainnya.
Ranting Suronatan menjadi saksi bagaimana partai dakwah tersebut merngsek
masuk. Awalnya mereka bermain secara halus. “Ada sekertaris kami yang selalu
lupa membubuhkan undangan dengan cap logo Muhammadiyah,” kata Arief. Oknum
tersebut akhirnya diketahui sebagai kader yang telah bergabung dengan partai
dakwah tersebut. Dia berusaha menjauhkan masyarakat Suronatan dari simbol
Muhammadiyah. “Semua kegiatan diatas namakan pengurus Masjid,” tambah pria
paruh baya nan murah senyum tersebut. Usaha tersebut dilakukan agar partai
dakwah tersebut bisa mengajak masyarakat Suronatan untuk menjadi simpatisan
partai dakwah. Dengan sejumlah usaha, karena dianggap merugikan, oknum tersebut
dapat diamankan.
Upaya pengikisan idelogi tersebut tak berhenti samapai di situ. Sekali
lagi Ranting Suronatan hampir kecolongan. Tiba-tiba ada pihak yang ingin
mendirikan sebuah pesantren. Awalnya, pihak tersebut menunjukan etikat bahwa
pesantren tersebut menjadi tempat pembinaan kader Muhammadiyah. Faktanya
berbeda. “Yang menjadi ustadz di sana celananya di atas mata kaki semua,” ucap
Arief dengan bahasa simbolis. Hal itu di luar akat dalam pendirian pesantren. Akibatnya,
pengurus mencabut permohonan izin ke Departeman Agama. Telah banyak simpatisan
partai dakwah yang dikader di pesantren tersebut. Meski telah diamankan, sebuah
masjid di jalan KH. Ahmad Dahlan terlanjur jatuh pada tanga mereka. “Untungnya
masjid itu hanya masjid persinggahan pada pengguna jalan. Mereka sulit
melakukan pengakaderan di masjid At-Taqwa,” pungkas sosok kelahiran asli
Suronatan tersebut.
Konflik ideologis tersebut dimaknai oleh Arief dan pengurus Ranting Suronatan lainnya bisa menjadi suplemen. Ia kemudian menjadi sadar pentingnya memperhatikan hal kecil dalam berdakwah. Simbol rupanya cukup memiliki dampak. Belajar dari pengalaman, Arief saat ini berusaha untuk terus mendekatkan warga pada logo Muhammadiyah. Di tiap rumah di Suronatan pasti terdapat sticker Muhammadiyah. Ini dilakukan untuk menjaga kedekatan emosional warga dengan Muhammadiyah.
Konflik ideologis tersebut dimaknai oleh Arief dan pengurus Ranting Suronatan lainnya bisa menjadi suplemen. Ia kemudian menjadi sadar pentingnya memperhatikan hal kecil dalam berdakwah. Simbol rupanya cukup memiliki dampak. Belajar dari pengalaman, Arief saat ini berusaha untuk terus mendekatkan warga pada logo Muhammadiyah. Di tiap rumah di Suronatan pasti terdapat sticker Muhammadiyah. Ini dilakukan untuk menjaga kedekatan emosional warga dengan Muhammadiyah.
****
Tantangan yang tidak kalah berat berasal dari pemikiran modern. Modernitas
menjunjung tinggi pandangan hedonisme dan pragmatisme. Sebagai bagian dari kota
Jogja yang semakin dinamis, masyarakat Suronatan sedikit banyak terkena
imbasnya. Muhammadiyah tidak bisa kemudian tetap bertahan dengan model gerakan
dakwah yang sama. Persyarekatan mesti mengimbangai dinamika zaman.
Hal yang bisa dilakukan adalah dengan membumikan dakwah. Ini bisa ditempuh
dengan strategi kultural. Mainuri Budi Argo, sekretaris Ranting Suronatan mengemukakan
jika salah satu kunci sukses Ranting Suronatan adalah karena dakwah kulturalnya.
“Kita tidak bisa memaksa. Karena orang kota itu pikirannya sudah berkembang,”
ujarnya. Dakwah Ranting Suronatan berusaha agar umat bisa menerima materi
dakwah dengan mudah dan menyenangkan.
Ada beberapa program yang khusus dibuat agar strategi kultural dapat
berjalan. Salah satunya adalah paguyubaban pit-pitan atau bersepeda ria.
Meski terkesan santai, kegiatan ini dirancang secara serius. Terdapat
kepengurusan khusus yang mengelolanya. Ini dilakukan karena aktifitas bersepeda
itu tidak sekedar aktifitas olah raga. Ini adalah kegiatan bersepeda plus.
Tiap hari Minggu pagi pada pekan ketiga, sehabis subuh, warga yang ingin pit-pitan
berkumpul di halaman Masjid Suronatan. Setelah dirasa cukup, rombongan itu
kemudian menuju menempuh rute yang sudah di sepakati. Finish bersepeda
santai itu macam-macam. “Ya, kadang ke tempat siapa. Kadang juga nyoto
bareng,” terang Manuri. Di tempat finish tersebutlah kemudian salah satu
anggota paguyuban memberi materi dakwah. Dengan seting yang demikian maka
materi dakwah dikemas sedemian rupa agar terkesan santai.
Selain paguyuban pit-pitan, Ranting
Suronatan juga mengembangkan cara dakwah yang out of the box — lain dari
yang sudah ada. Dakwah tersebut seperti kegiatan kesenian keroncong. Muatan
dakwah pada kesenian keroncong terdapat pada pilihan lagu yang religius. Anggota
group keroncong tidak hanya diisi oleh orang tua. Anak muda yang tergabung pada
IRM juga ikut serta.
Awalnya group keroncong Suronatan hanya diperuntukan untuk internal ranting.
Kegiatan-kegiatan ranting yang sifatnya nonformal selalu dihibur oleh musik
keroncong. Namun demikian, lama-lama ada warga yang ingin nanggap group
tersebut. Permintaan itu semakin banyak. Alhasil, mau tak mau group keroncong
Suronatan juga mesti menambah referensi lagu. Meski demikian, pilihan lagu yang
ada harus tetap religius.
Model dakwah yang baru tersebut diadakan untuk menyikapi dinamika
masyarakat kota yang semakin sibuk. Selama hari kerja mereka telah bekerja dan
memikirkan hal-hal yang serius. Jika dakwah tetap disajikan dengan model
tradisional, ditakutkan masyrakat enggan mengikutinya. “Jadi kita mencoba
menawarkan kalau mencari surga itu mudah,” ujar Mainuri. Selain itu, Manuri
juga sangat menyadari jika masyarakat modern sangat mudah jenuh. Untuk itu,
tiap-tiap model dakwah yang ditawarkan selalu dievaluasi. “Kita membuat program
itu tidak saklek yah. Kalau kira-kira nanti orang sudah menuju kebosanan
ya kita ganti,” tambah sosok murah senyum yang juga pengajar di
Mu’alimat ini. Program lainnya dari Ranting Suronatan adalah tadarus bersama,
pengajian rutin, syawalan, pengurusan jenazah, dan beberapa program lainnya.
Selain menggalakan model dakwah kultural,
kelengkapan dakwah Muhammadiyah lainnya juga tetap berjalan. Organisasi Aisyah
yang berisikan ibu-ibu Suronatan juga aktif. Aisayah tercatat memiliki amal
usaha TK ABA dan Play Group. Keduanya memiliki murid yang sama-sama banyak. Saking
banyaknya, TK dan Paun Ranting suronatan hingga kekurangan tenaga pengajar. Selain
itu Aisyah juga membina Taman Pendidikan Al-Qur’an. TPA menjadi sangat penting
untuk memastikan semua anak di Suronatan mampu membaca Al-Qur’an secara baik.
Dengan sejarah yang panjang dan militansi aktifis yang demikian, Ranting Suronatan tetap memiliki tantangan. Hal yang perlu diperhatikan adalah seputar pengkaderan. “Jenjang usia antar kader itu sangat jauh. Yang sekarang ini dengan yang SMA itu jarakanya sangat jauh,” pungkas Mainuri. Dengan demikian, Ranting Suronatan saat ini ditantang untuk menyiapkan kader pada tiap usia. Hal ini penting untuk menjaga ritme dakwah Ranting Suronatan agar tidak menurun.
Komentar
Posting Komentar