Langsung ke konten utama

Resensi: Sastra Profetik dan Pengimajinasian Nilai Pencerahan


“Karena bangsa Indonesia modern kita sedang dalam krisis, krisis peradaban,” tulis Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A dalam maklumatnya. Krisis itu nampak dari fenomena sosial bangsa yang kacau. Norma dan nilai tak lagi jadi pijakan hidup. Bisa jadi karena norma dan nilai yang ada memang tak pantas jadi pijakan. Menjadi sulit menentukan bagaimana “menjadi” dalam masa-masa ini. Terlalu banyak pengkaburan yang menghalangi pandangan. Pun realitas tak bisa lagi mencerahkan.
Krisis peradaban terjadi salah satunya karena sulitnya mencari panutan. Sosok-sosok yang muncul di ruang publik – di dalam media massa – bukan sosok tipikal yang bisa menjadi role model. Para pemimpin lebih banyak muncul dalam balutan pakaian tahanan kasus korupsi. Jikapun ada tokoh yang berintegeritas dan idealis mereka tak akan muncul di layar kaca karena tak bisa mendongkrak rating. Dari pagi hingga petang, hanya ada tiga macam tema di media: korupsi, konflik kekerasan, dan sensasi selebriti. Sulit kiranya masyarakat mendapat tuntunan yang tepat dari acara yang demikian.
Persoalan di atas hanya sekelumit kerusakan karakter yang diawali dari kapitalisme, sekulerisme, dan sekulerisme. Ketiga –isme tersebut mencengkeram segala segi kehidupan sehingga mengaburkan nilai-nilai yang semestinya menjadi pegangan bangsa. Dalam keabsurdan yang akut itu beliau Prof. Kuntowijoyo menegaskan pentingnya karya sastra sebagai media penanaman nilai-nilai pencerahan. Ketika dunia nyata tak mampu mengajarkan nilai luhur maka nilai tersebut mesti diimajinasikan dalam karya sastra. “Karya sastra adalah strukturalisasi dari pengalaman, imajinasi, dan nilai,” ujar beliau. Karya sastra tidak boleh hanya menjadi bacaan atau tontonan tetapi mesti mengenalkan nilai-nilai keluhuran. Beliau kemudian manawarkan sastra profetik sebagai wawasan sekaligus panduan bagamana karya sastra yang mencerahkan. Pemamparan ihwal sastra profetik tersebut beliau tulis salah satunya pada Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etik dan Struktur Sastra.
Dalam maklumat tersebut, sosok sastrawan sekaligus sejarawan, budayawan, dan cendikiawan muslim, Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A menawarkan sebuah pendekatan sastra yang mampu menjadi jembatan antara ajaran Islam dengan karya sastra. Secara tegas beliau mengatakan, “Karena etika profetik bersumber pada Kitab-kitab Suci, Sastra Profetik adalah senjata budaya orang beragama untuk melawan musuh-musuhnya: materialisme dan sekulerisme tersembunyi.”
Bagian awal maklumat memaparkan kaidah-kaidah dalam sastra profetik. Dalam kaidahnya, sastra profetik tidak saja menyerap dan mengekspresikan realitas akan tetapi juga memberi arah realitas tersebut. Kaidah pertama adalah aspek epistemologi sastra profetik: yakni strukturalisme transendental. Artinya, sastra profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran Kitab-kitab Suci atas realitas. Kitab Suci – dalam hal ini Al-Qur’an - bersifat taransenden sebab merupakan wahyu Allah swt. Struktural berdasar atas Al-Qur’an dan Agama itu sendiri merupakan struktur. Kaidah kedua adalah sastra sebagai ibadah. Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A menandaskan bahwa ibadah meski dimaknai secara menyeluruh (kaffah): ibadah wajib dan ibadah mu’malahnya. Masih terkait, kaidah ketiga adalah keterkaitan antar kesadaran. Baik ibadah rukun dan mu’amalah tak bisa dipisahkan karena kesadaran ketuhanan belum kaffah jika tak disertai kesadaran kemanusiaan. Keterkaitan antar kesadaran tersebut menjadi tema penting dalam sastra profetik.
Berikutnya, Prof. Kuntowijoyo mengemukakan bahwa prinsip keadilan menjadi etika dalam sastra profetik. “Sastra profetik adalah sastra demokratis,” ujar beliau. Artinya, sastra profetik tidak  tidak otoriter dan adil dalam memilih premis, tema, teknik, dan gaya (style). Cita-cita besar sastra profetik adalah menegakan rasa kemanusiaan (humanisasi). Dalam pengamatan beliau, ada sejumlah persoalan yang mengusik bahkan menjegal humanisasi.
Secara garis besar perosalan tersebut adalah ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politis, dan belenggu tradisi kesyirikan. Ketidakadilan ekonomi diawali tentu saja oleh gurita kapitalisme yang mengalienasi manusia. Kapitalisme menciptakan budaya materialisme yang menjerumuskan masyarakat dalam ketidaksadaran kelas dan kemanusiaan. Ketidakadilan inilah yang menyembabkan bangsa Indonesia kehilangan jatidirinya. Manusia masa kini tersungkur pada kesunyian rohani dan berakibat pada tindakan amoral yang distruktif.
Mengenai ketidakadilan politis, Prof. Kuntowijoyo dalam maklumatnya menyebutkan efidensi dosa-dosa negara yang mengangkangi kemanusian. Sedari orde lama hingga orde baru dan hampir pasti orde reformasi, negara punya dosa dalam menjegal hak kemanusiaan rakyatnya. Contoh yang beliau tekankan adalah bagaimana semua penguasa – dalam semua orde - memusuhi Islam. Atas nama keutuhan negara, umat muslim seringkali menjadi kambing hitam. Saat Orba semisal, banyak umat Islam yang difitnah berbuat makar tanpa adanya bukti yang kuat.
Ketidakadilan tradisi kesyirikan muncul dari dipeliharanya patron kepercayaan pada animisme dan dinamisme. Kesyirikan tersebut mengungkung umat dalam ketidaksadaran yang membuatnya sulit untuk berkembang. Fungsi sastra profetik dalam menghadapi ketidakadilan-ketidakadilan tersebut adalah menjumbuhkan nilai-nilai pencerahan (liberasi) dalam karya sastra. Nampak sekali jika Prof. Kuntowijoyo mengetangahkan Tauhid sebagai kunci pembebasan umat atas belenggu ketidakadilan.
Meski membahas sastra dalam konteks yang luas, sastra profetik tetap menggarisbawahi pentingnya pemahaman mengenai esensi karya sastra. “…sastra harus tetap diskriptif-naratif. Sastra bukan reportase jurnalistik, bukan tulisan ilmiah, dan bukan buku filsafat. Sastra adalah sastra,” tulis Prof. Kunto. Prinsip tersebut bisa dipenuhi jika seorang sastrawan menulis sastra dari dalam: menarasikan peristiwa sesuai imajinasi tokohnya; bukan berdasar konsep etika profetik. Selain itu, sastrawan pula bisa menulis dari bawah: tidak berangkat dari teori etika profetik.
Dengan rendah hati, di bagian penutup, Prof. Kuntowijoyo menyatakan jika Maklumat Sastra Profetik adalah salah satu usaha beliau untuk mengangkat kualitas sastra Indonesia agar lebih berperan dalam masyarakat. Selain berisi Maklumat Prof. Kuntowijoyo, buku ini juga menghadirkan tulisan ihwal sastra profetik dan kesan pada sosok Prof. Kuntowijoyo dari Dr. Nur Sahid, M.Hum, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, dan Mohammad Wan Anwar. Dalam menjelaskan sastra profetik, buku yang digagas penerbitannya oleh PP. Muhammadiyah ini pula menampilkan sejumlah contoh karya penting Prof. Kuntowijoyo.
Resensi
Judul   : Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etik dan Struktur Sastra
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Multi Presindo bekerjasama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP. Muhammadiyah
Tahun : 2013
                     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.