Langsung ke konten utama

Cinta?




Cinta adalah sebuah sikap atau pendirian, sebuah orientasi karakter yang menentukan relasi seseorang dengan dunia ini secara keseluruhan, dan tidak mengarah hanya kepada objek cinta. Cinta yang mendasar bukan sekedar sebuah perasaan yang kuat, tetapi sebuah keputusan, pertimbangan, dan juga janji. Jika cinta hanya sebuah perasaan maka tidak ada basis untuk berjanji saling mencintai selamanya. Persaan bisa datang dan pergi dengan gampang. Kita tidak bisa memastikan bahwa ia akan tetap di sana, selamanya, jika tindakan kita tidak melibatkan sebuah pertimbangan keputusan.”
(Erich Fromm, 1959)

Kali ini, pengertian cinta tak saya ambil dari seorang sastrawan atau pujangga. Cinta pada kesempatan ini didefinisakn oleh Erich Fromm, seorang pemikir penting abad ke-20. Ia adalah pakar psikonalis Neo-Freudian sekaligus pemikir neo-Marxist, salah seorang pendiri mahzab Frankfurt, Profesor di Columbia University dan juga Profesor Emertus di National Autonomous University of Mexico City. Bagi para peminat pemikiran abad pencerahan tentu saja mengenal sosok ini. Uniknya, di antara sejumlah karya pentingnya, Fromm sempat berbicara mengenai cinta pada buku The Art of Loving yang terbit tahun terbit 1956. Jika pujangga menjelaskan cinta lewat sejumlah bait puisi dan sastrawan mengimajinasikan cinta dalam idealisme karya sastra, maka Fromm secara khsusus membahas cinta dalam sebuah buku ilmiah. Sebuah pemaknaan cinta yang barangkali bisa sedikit memberikan kejelasan makna dari keabu-abuannya.
Saya ingin memulainya dengan cerita pertemuan dengan seorang Ustadz yang barangkali ia keberatan jika saya sebut Kyai pada awal 2012. Ustadz Solichan, begitu panggilannya, adalah ulama sepuh yang berpengaruh di Solo. Selain menjadi penasihat MUI Surakarta, ia juga menjadi ketua Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB) Solo Raya. Maksud saya sowan padanya awalnya tak lebih dari sekedar wawancara untuk kepentingan penulisan sejarah MUI Surakarta. Obrolan berlangsung cukup lama. Ia sangat lihai dalam menjelaskan konsep kerukunan beragama hingga aspek politisnya. Ia juga mengaku telah khatam membaca lima kitab agama yang diakui di Indonesia. Dalam pandangannya, negara sebenarnya tak perlu terlalu ikut campur dalam “mengakurkan” agama. Ia sangat yakin bahwa semua umat beragama tak ingin berkonflik dengan umat agama lain. Kehadiran pemerintah justru seringkali menyulut api permusahan. Tak jarang, pemerintah justeru sengaja mengusik toleransi beragama dengan alasan politis.
Entah berhubungan atau tidak, di akhir perbincangan, ia tiba-tiba berbicara mengenai “cinta”. Anggap saja jika kerukunan beragama memang terkait dengan cinta antar sesama manusia. Namun, ia ternyata mulai menafsirkan cinta sebagai hal yang absurd atau “ra nggenah” dalam istilah sang ustadz. Ia mencontohkan bagaimana kata cinta begitu liar (kalau tidak ngawur) dijelaskan oleh penyanyi dalam lagunya. Ada yang bilang cinta itu buta. Lagu lain mengatakan cinta itu tanpa logika. Penyanyi lain sambil menangis mengeluh cintanya telah dikhianati. Penyanyi yang lebih ekstrim bercerita jika ia tengah dimabuk cinta. Dalam analisisnya sebagai ulama, ke-absurd-an cinta telah membuatnya menjadi kambing hitam namun sekaligus menjadi pembenaran atas tindakan maksiat.
Pendapatnya ihwal kesemerawutan makna “cinta” mendapat dukungan saat ia bertemu dengan seorang ahli bahasa dari UGM. Ahli tersebut mengatakan bahwa “cinta” berasal dari bahasa Sansekerta “cin” yang kira-kira artinya adalah terkenang atau ngemut-emut dalam istilah sang ustadz. Jadi, cinta itu sekedar ingatan di kepala. Jika kita mencintai seseorang maka berarti kita terngiang-ngiang dengan seseorang tersebut. Tak lebih dari itu. Penjelasan sang ustadz sempat membuat saya riang kembali untuk beberapa saat. Pernyataannya membuat saya sedikit tak menganggap penting peristiwa seputar cinta, termasuk semisal putus cinta.
Bersambung…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.