Tenggulun – Malaysia itu seperti dua desa yang
bertetangga. Setelah merantau dan pulang dengan ilmu, keduanya segera pergi
kemabil padaNya. Bagaimanapun, ,mereka tetap dua pemuda ternama di desanya.
Tiba-tiba kempung kecil itu menjadi lautan manusia. Ribuan orang dari
segala penjuru berkumpul menjadi satu. Kamera dan alat perekam suara hilir mudik
dibawa pewaratan. Di tiap persimpangan jalan tertulis spanduk besar
bertuliskan, “Selamat datang Syuhada”. Tiap jalan menuju kampung pun
ditutup. Tak hanya Indonesia, dunia pun tengah tertuju matanya pada dusun
bernama Tenggulun itu.
Maslahul Falah mengendarai motornya sengaja melihat suasana. Ia penasaran
mengapa kampungya begitu ramai hari-hari itu. Ia ingin membuktikan apa yang
berulang diberitakan di televisi bahwa hari itu Amrozi dan Muchlas akan
dimakamkan. Konon yang ia dengar saat itu kedua jenazah itu akan diturunkan di
salah satu lapangan sepak bola di sekitar Tenggulun. Dengan penuh penasaran ia
pun menyambangi tiap lapangan satu-persatu. Namun, Falah hanya menemukan
ratusan polisi berjaga pada tiap lapangan yang ia sambangi.
Tak lama berselang Falah mendengar suara helikopter terbang rendah
di atas kampungnya. Kembali ia tancap gas mengikuti kemana heli itu turun. Sepertinya
heli terbang semakin rendah ke arah uatara. Segera saja ia menuju lapangan di
sebelah utara kampung. Pengejaran Falah tak sia-sia. Dugaannya tepat. Rumput
lapangan bola itu tersibak angin baling-baling. Dedaunan sekitar lapangan pun
tergoyang. Perlahan tapi pasti kaki-kaki hely itu mencapai tanah. Hely yang
ditung-tunggu akhirnya mendarat
Falah hanya bisa memandang dari kejauhan. Sejumlah petugas mengeluarkan
dua peti dari dalam hely. Peti tersebutlah yang membawa jenazah Amrozi dan
kakak kandungnya Muchlas. Petugas dari Kejaksaan Negeri Lamongan itu lantas
membawa kedua jenazah kepada pihak keluarga.
Falah tidak ikut melayat. Ia memang bukan penduduk desa Tenggulun. Meski tidak mengenal secara pribadi, kedua sosok
Amrozi dan Muchlas sudah sangat ia kenal. Setelah peristiwa Sari Club, Legian, Bali
tahun 2002 kedua sosok tersebut menjadi ikon tersendiri bagi Lamongan. Nama
desa Tenggulun yang merupakan bagian dari kecamatan Solokuro dahulunya hanya
desa yang kurang populer. Desa itu terletak sekitar 60 kilometer dari kota
Lamongan. Untuk menuju desa ini juga hanya bisa ditempuh dengan angkutan ojek
sepanjang 17 kilometer dari Paciran. Ini karena sejak di Paciran, sudah
tidak terdapat angkutan umum menuju
Tenggulun.
Memang banyak cerita soal Amrozi dan Muchlas namun dalam pemikiran Falah,
keduanya secara tidak langsung telah mempopulerkan Lamongan. Peristiwa bom Bali
adalah peristiwa dunia yang mengenalkan Lamongan. “Bagaimanapun itu tapi
sekarang lamongan itu kan sudah dinaikan langsung,” ujar pria 38 tahun ini. Setelah
peristiwa itu, ada usaha dari pemerintah Lamongan untuk mendongkrak pertumbuhan
ekonomi. Sejumlah investor terhitung mulai menanamkan modalnya. Salah satunya
adalah pembangunan Wisata Bahari Lamongan (WBL) di pantai utara Lamongan. “Terbukti
itu Persela itu dinaikan,” tambahnya. Tim
sepak bola Lamongan yakni Persela menurut Falah menjadi besar juga karena
peristiwa tersebut.
Sebagian besar penduduk sekitar Tenggulun sudah menganggap kejadian
mengenai Amrozi dan Muchlas sudah menjadi peristiwa lalu. Soal benar tidaknya
apa yang didakwakan bahwa keduanya mendalangi bom Bali juga tak begitu menjadi
masalah. Kehidupan masyarakat tak pernah berubah dari sebelum dan sesudah dua
kejadian besar itu: bom bali dan eksekusi Amrozi dan Muchlas. Meski demikian
memang tidak disangkal jika terdapat dampak yang kurang mengenakan bagi warga
Tenggulun dan Lamongan pada umumnya. Merantau ke Malaysia yang telah menjadi
tradisi, pasca bom Bali agak sedikit sulit. “Di Malaysia dari lamongan agak
dibatasi. Mau ke Bali, orang lamongan itu juga agak dibatasi,” tutur pria asli
kelahiran Lamongan ini.
Pandangan mengenai apakah yang dilakukan Amrozi dan kakanya salah atau
benar pun tak begitu menjadi perdebatan yang membuat masyrakat terbelah. Secara
umum ada dua ormas Islam besar di Tenggulun yakni Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
Falah sebagai Majelis Tarjih Muhammadiyah Lamongan menilai bahwa warganya tidak
terlalu ekstrim dalam menilai kejadian tersebut. “Rata-rata warga Muhammadiyah
itu biasa saja. (Amrozi dan Muchlas, Red.) bukan mujahid dan bukan teroris,”
ujarnya. Warga yang masih memiliki hubungan keluarga juga tak segan untuk
melayat. Melayat pun juga sekaligus melawan anggapan bahwa keluarga Amrozi dan
Muchlas teroris . “Yang pasti melayat di sini kan masih menjadi tradisi. Itu
bentuk penghoramatan pada amrozi, terutama untuk keluargannya,” tambah alumnus
UIN Sunan Kali Jaga ini.
Dengan berbagai pro dan kontra soal eksekusi Amrozi dan Muchlas Falah
tetap menilai bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah itu berlebihan. Dari
proses penangkapan hingga eksekusi pemerintah seolah sangat takut oleh
keduanya. “Uang negara kok dihamburkan begitu,” ulas mantan aktivis HMI ini. Falah
juga menganalisa jika perlakuan yang berlebihan itu terkait desakan dari luar. “Karena
pemerintah kan ketakutan,” pungkasnya.
****
Pekikan takbir menggaung bersahutan. Semakin
keras saat detik-detik kedua peti itu sampai di rumah duka. Suasana menjadi
begitu emosional. Tangis haru bercampur ungkapan kebanggaan bersatu. Tenggulun,
lautan manusia hari itu, sekejap khusuk.
Dua tubuh itu segera saja dimandikan. Ali Fauzi, adik Amrozi dan Muchlas
memandikan keduanya. Sampainya jasat tersebut ke Tenggulun sebenarnya melalui
rangkaian yang panjang. Reslawati, dalam penelitiannya berjudul Dinamika
Pemaknaan Jihad di Desa Tenggulu: Respon Masyarakat terhadap Gerakan Jihad
Amrozi menceritakan proses pengembalian kedua jasat tersebut. Dimulai dari
adanya undangan No. B/3162/X/2008/BAGOPS, tanggal 29 Oktober 2008 dari Polres
Lamongan kepada Kandepag. Keesokan harinya, 30 Oktober 2008, jam dua siang,
rapat itu dilaksanakan di Polres Lamongan. Mereka yang hadir adalah Jajaran
Polsek, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, Dinas Kesehatan, Dinas
Perhubungan, Dinas Infokom, Dinas Kesbag Linmas dan MUI Lamongan. Rapat
tersebut membahas berbagai langkah yang akan diambil seputar pemulangan jasat
Amrozi dan Muchlas. Beberapa keputusan dalam rapat itu adalah penyerahan
jenazah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri kepada pihak keluarga. Selain itu,
Depag ditugasi untuk memantau pelaksanaan perawatan jenazah.
Amrozi dan Muchlas dimakamkan di tanah keluarga. Lahan tersebut hanya
terpisah oleh jalan dengan pemakaman umum Tenggulun. Sebuah pagar sekitar 4x4
meter mengelilingi makam itu. Makam keduanya ternyata memiliki makna
tersendiri. Hingga hari kesepuluh, 500-an peziarah masih datang tiap harinya. Mereka
datang dari berbagai tempat. Sejumlah peziarah tak menyia-nyiakan kesempatan
ziarah tersebut dengan mengambil tanah makam. Mitos banyak berkembang termasuk
soal berkah dari tanah makam Amrozi dan Muchlas. Karena semakin tak terkendali,
pihak keluarga akhirnya memagari makam dengan jeruji besi.
Masyarakat Tenggulun tidak bersikap berlebihan. Tarjo, sang ketua RT 3
mengisahkan jika antusiasme justru kebanyakan muncul dari masyrakat luar
Tenggulun. “Pas pemakaman itu dari sawah itu nggak bisa pulang,” ujarnya. Masyarakat
telah mulai terbiasa dengan dusunya yang menjadi begitu ramai. Saat pemakaman,
menurut Tarjo selain banyak pelayat, pengamanan Polisi juga luar biasa. Ratusan
polisi berjaga di tiap sudut. Yang cukup membuatnya heran hanyalah keberadaan
polisi asing. Ia sempat melihat beberapa polisi asing dalam kerumunan yang ada.
Kehadiran polisi asing sebenarnya juga ada saat penangkapan Amrozi dan
Muchlas tahun 2003 silam. Persis saat penangkapan dan juga reka ulang, polisi
asing itu ikut serta. Dalam ingatan Tarjo, kehadiran polisi asing yang
menurutnya berasal dari Australia bisa berhari-hari. Beberapa diantaranya
hingga aktif berkomunikasi dengan warga. “Wong ada yang bisa bahasa Jawa juga,”
ujar pria 60 tahun ini.
Kehadiran orang tak dikenal saat sekitar penangkapan Amrozi dan kakaknya
tak Tarjo sempat membuatnya heran. Setiap malam muncul orang dengan rambut
gondrong dan pakaian yang berbeda dengan kebiasaan warga. Mereka berjalan di
pekarangan warga dan di antara rumah-rumah. Beberapa diantaranya mau menyapa
namun warga tak berani untuk sekedar bertanya. Tidak ada sekecilpun prasangka
Tarjo dan warganya bahwa mereka tengah mengawasi Amrozi dan Muchlas. Warga
termasuk dirinya masih tak percaya jika keduanya terkait dengan peristiwa bom
Bali saat keduanya bersama Imam Samudera muncul dalam berita di televisi.
Salah
seorang warga Mashum pun terheran dan sulit percaya jika kedua orang yang ia
kenal sedari kecil itu tersangka bom Bali. Amrozi dan Muchlas terlahir dari perkawinan
Nur Hasyim dan Tariyem. Amrozi adalah anak keenam dari delapan bersaudara
(Alimah, Afiyah, Chozin, Ja’far Shodik, Ali Gufron/Muchlas, Amrozi, Amin Jabir,
dan Ali Imron), sementara Muchlas adalah anak kelima. Amrozi juga mempunyai
lima saudara dari istri kedua ayahnya, Tari’ah (M. Tafsir. Tasrifah, Sumiyah,
Na’imah, dan Ali Fauzi.
Mashum dan Amrozi dulu sering mencari pakan sapi bersama-sama. Amrozi
dalam ingatan Mashum adalah sosok yang ramah. Lahir 1962, Amrozi sempat mengeyam
pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah GUPPI Tenggulun dan lulus tahun 1976. Ia
kemudian melanjutkan ke SMP PGRI Paciran hingga lulus tahun 1981 kemudian
meneruskan ke Madrasah Aliyah namun tidak sampai lulus. Amrozi dalam pandangan Mashum
memang tergolong anak bandel. “Di SMP dia cuma main tok. Amrozi itu wong
dalanan istilahnya,” ujar guru Agama di Madrasah Ibtidaiyah Tenggulun ini.
Meski bandel, Amrozi adalah sosok yang penuh talenta. “Jaman itu Yamaha RX
100 orang belum punya. Tapi, dia (Amrozi, Red.) kelas 5 SD sudah berani
mbongkar,” kenang Mashum. Keahliannya ia tekuni hingga dewasa. Amrozi dikenal
memiliki usaha bengkel mobil dan motor, las listrik, dan jual beli HP. Amrozi
juga terkenal karena dia bisa membuat antena TV yang pertama di Desa Tenggulun.
Saat dewasa ia mulai sering pergi ke Malaysia mengikuti kakaknya Jakfar Shodiq
yang kebetulan memiliki biro penyaluran TKI.
Kakak Amrozi, Muchlas pun cukup Mashum kenal. Berbeda dengan Amrozi,
Muchlas adalah sosok yang gemar belajar dan pandai secara akademis. “Kepandaiannya
itu pandai Gufron. Ia termasuk pandai,” ucap pria 45 tahun ini. Muchlas pertama
belajar di MI Tenggulun dan lulus tahun 1973, setelah itu meneruskan ke
Pendidikan Guru Agama Payaman lulus tahun 1977. Ia juga sempat hijrah ke Solo
untuk melanjutkan belajar di Kulliyatul Mu’alimin Al Islamiah (KMI) Solo lulus
tahun 1981 serta kuliah di Universitas Islam Surakarta (UNIS) namun hanya
bertahan satu tahun. Muchlas kemudian menjadi pengajar di Ponpes Al Mu’min
Ngruki, Karangganyar dari 1981 hingga 1985. Baru pada 1989 ia berangkat ke
Malaysia. Setelah Muchlas ke Malaysia, Mashum tak lagi mendapat kabar. Ia hanya
sempat mendengar kabar jika Muchlas meminta izin pada orang tua mereka untuk
belajar di Pakistan. Setelah kejadian bom Bali Mashum baru tahu jika Muchlas
ternyata justeru belajar di Afganistan.
Keluarga Amrozi dan Muchlas memang bukan keluarga biasa. Menurut Mashum,
keluarga tersebut termasuk keluarga yang dihormati. Ayah mereka, Nur Hasyim,
adalah mantan carik (skretaris desa). Keluarga mereka juga dikenal sebagai
perintis Muhammadiyah di Tenggulun. Dari dulu hingga kini, mayoritas warga
Tenggulun seperti wilayah Jawa Timur lainnya adalah warga Nahdiyin. Mashum juga
adalah sosok yang cukup memiliki peran pada NU Tenggulun. Sebagai warga
Nahdiyin, Mashum melihat apa yang terjadi pada Amrozi dan Muchlas tidak lantas
membuat warga terbelah. “Kami tidak tahu dan tidak neliti-neliti istilahnya,”
ujarnya. Soal pandangan jihad yang dianut Amrozi dan Muchlas, Mashum tak begitu
sepaham. Demikian pula warga Tenggulun pada umumnya. Namun warga tidak kemudian
bersikap ekstrim. Sebagai tetangga dan saudara hubungan antara warga Tenggulun
dengan keluarga Amrozi sangatlah baik. “Nggak pernah, nggak pernah ada
konflik,” pungkas Mashum. 2.183
****
Spanduk-spanduk itu masih
menggelantung. “Mereka Mujahid bukan Teroris. Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Selamat Datang Syuhada”, “Insyaallah, Ali Gufron-Amrozi Pelopor Mujahid
Indonesia.”, Apapun Keputusan Alla, baik bagi mukmin… Hidup Sebagai Mujahid…
Mati Sebagai Syahid,” bunyi beberapa tulisan diantaranya. Di depan rumah
Chozin, di depan kediaman orang tua Amrozi, di depan Ponpes Al Islam, di jalan
masuk ke rumah Amrozi, dan di sudut-sudut lainnya, spanduk-spanduk itu bertahan
hingga bulanan. Begitu pula makam keduanya serta kediaman orang tua Amrozi dan
Muchlas, masih selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai tempat.
Umiyati, salah seorang pemilik warung di dekat pesantren Al Islam masih
ingat deatil sejumlah saat yang fenomenal itu. Namun dalam benakanya, dia masih
bingung kenapa dua sosok yang ia kenal itu menjadi begitu dikenal. Saat terjadi
penangkapan terhadap keduanya, Umiyati tidak di Tenggulun. Seperti pemuda dan
pemudi lain, ia tengah merantau ke luar negeri: Arab Saudi. “Saya hanya
denger,” ucapnya. Tenggulun dan desa lain di Lamongan memang dikenal gemar
menjadi perantau terutama ke Malaysia. “Dulu rumah saya lantainya cuma tanah.
Sekarang bisa punya modal, bisa beli tanah,” ujar Umiyati menceritakan bahwa
bekerja di luar telah memperbaiki hidupnya sekeluarga.
Dari 2.183 warga tenggulun, sekitar 80 % menjadi pekerja di luar negeri. Tradisi
merantau ke luar itu telah menyulap desa terpencil itu menjadi seperti kota
baru. Jajaran rumah menjulang tinggi memadati tiap gang. Cat tembok dan
gentingnya bak istana. Meski di desa, pagar-pagar rumah antar tetangga begitu
apik. Di jalannya yang kecil dan tak begitu halus aspalnya, motor kelas premium
tak jarang lewat, merekalah anak para perantau itu. Orang tua mereka merantau
bertahun-tahun di Malaysia. Sementara itu mereka dibesarkan oleh
kakek-neneknya. Saat usia mereka siap dan telah lulus sekolah menengah, mereka
akan mengikuti jejak orang tuanya. Mimpi akan kesuksesan hidup adalah nyawa
tersendiri bagi masyarakt Tenggulun.
Ada sebuah anekdot yang hidup di masyarakat yakni bahwa jarak Tenggulun
dengan Malaysia sangatlah dekat. Tenggulun – Malaysia itu seperti dua desa yang
bertetangga. Barang-barang Malaysia pun cukup familiar bagi warga. Akan ada
prestise khsusus jika menggunakan barang dari desa tetangagga: Malaysia. Rumah-rumah
yang ada sebagian besar menggunakan barang-barang Malaysia sebagai pelangkap
interior dan eksteriornya. Dahulu bahkan barang-barang hingga sekecil lipstik
pun beredar di masyarakat Tenggulun.
Minat masyarakat Tenggulun yang
tinggi untuk merantau ke Malaysia mampu dicermati oleh Jakfar Sodiq untuk
membuka biro penyalur TKI. Kedatangan Amrozi dan Muchlas ke Malaysia juga
terkait oleh kedekatan masyrakat Tenggulun dengan Malaysia. Umiyati, yang terhitung
masih keluarga Amrozi mengaku cukup mengenal keduanya terutama Amrozi. “Agak
nakal lah. Lihat orkes, pokoke ya orang jalanan lah,” kenang Umiyati. Istri pertama
Amrozi, Rochmah, yang dinikahi tahun 1985, juga tergolong perempuan pada
umumnya. “Istrinya ya orang biasa. Istrinya dulu kalau pake celana nggeh
segini,” ujar Umiyati sambil memperagakan model celana isteri Amrozi.
Menurutnya, anak tunggal hasil pernikahan Amrozi dengan Rochmah kini telah
menikah dan memiliki anak.
Amrozi memang dikenal sebagai sosok yang populer saat muda. Sosoknya juga
ternyata cukup mampu meluluhkan hati wanita. Terhitung pria yang memiliki
senyum manis ini telah menikah dengan tiga orang wanita. Setelah berpisah
dengan Rochmah, Amrozi kemuidan menikah dengan Tutik namun pernikahannya hanya
seumur jagung: menikah 1990, kemudian cerai 1993. Perceraian salah satunya
terjadi karena Amrozi memilih merantau ke Malaysia pada tahun 1991. Sepulang
dari Malaysia 1997, Amrozi ternyata telah menikah kembali dengan Khoirayanah dan
telah memiliki dua orang anak. Ia bertemu dengan Khoirayanah – wanita asal
Kebonsari, Madiun – saat di Johor, Malaysia.
Saat kembali dari Malaysia, Sosok Amrozi berubah 180 derajat. Sang jango ‘trek-trekan’
dan montir tersebut menjadi begitu alim. Pakaian Amrozi menjadi rapih dan kini
ia menguasai bahasa Arab dengan aktif. Umiyati cukup kaget pula dengan
perubahan Amrozi. Ia mengira jika perubahan besar pada diri Amrozi karena
bimbingan kakaknya, Muchlas. “Nggeh wong jenengan adek (namanya juga adik,
Red.),” tutur Umiyati. Ia menyangka jika perubahan pada diri Amrozi terjadi
saat dia bermukim di Malaysia. Untuk sosok Muchlas, Umiyati mengaku tidak
begitu memahaminya.
Bertahun setelah peristiwa
penangkapan dan pemakaman Amrozi dan Muchlas, kegemaran masyarakat Tenggulun
untuk merantau ke Malaysia masih bertahan. Banyak rumah-rumah mewah namun tak
berpenghuni. Setelah selesai membangun rumah, masyarakat Tenggulun biasanya
kembali meraih ringgit di Malaysia. Kehidupan Tenggulun benar-benar berjalan
sebagaimana biasanya.
Dimuat di Majalah Isra' Pusham UII Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar