Langsung ke konten utama

Ketika Identitas Menjadi Peristiwa


Oleh Moh. Fathoni

Saya tak ingin membanding-bandingkan dalam berkarya dan bersastra. Tetapi tak dapat dipungkiri, karya sastra made in Indonesia lebih menarik hati saya. Itu saja. Selanjutnya, “... ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Ungkapan ini benar adanya, bukan sekadar berbau nasionalisme. Tetapi semacam ketertarikan seorang pembaca. Ketertarikan kiranya perlu rasionalisasi, katanya. Jika demikian, saya andaikan membaca karya sebagai sebuah peristiwa.
Peristiwa barangkali setitik lelaku yang menjadi, seberkas ruang-waktu dari garis-garis kehidupan. Peristiwa menjadi yang dihadirkan, yang merangkai-dirangkai dalam satu dimensi. Mewujud dalam bentuk spasial sekaligus temporal.
Apa dan bagaimana peristiwa terjadi terhubung dengan kemungkinan-kemungkinan adanya intervensi [aksi-reaksi] oleh dimensi dan faktor lain. Gejala-gejala kebudayaan misalnya, pun memiliki kecenderungan relasional dengan lingkungannya. Demikian suatu perubahan, memungkinkan terjadinya perubahan yang lain, menjalin resepsi yang telah, tengah, dan akan terjadi. Sehingga perlu membuka berkas-berkas segala pemahaman, baik yang berdasakan fakta maupun fiksi, secara sistemik, organik atau parsial, kontinuitas atau diskontinuitas, berperangkat indrawi, kognisi atau intuisi, dengan kacamata dogmatis-ideologis atau pragmatis, dan seterusnya dengan tidak mengabaikan kemungkinan. Tetapi bukankah, apapun itu, akhirnya berlabuh pada pertanyaan purba; Apa sebenarnya identitas bahkan karakter sastra Indonesia?
Membincangkan Identitas Sastra Indonesia dalam Budaya
Suatu saat, saya pernah pada kesimpulan bahwa sastra bergerak laten yang membuat ragu posisi dan peran sesuatu. Dalam wilayah inilah identitas digagas. Sebagaimana Sheldon Stryker mengasumsikan peran. Sederhananya begini, jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Barangkali di situ awal definisi dirangkai.
Oleh sesuatu tak hadir tanpa sebab dan argumentasi diperlukan, maka rasionalitas barangkali perangkat yang tepat. Tetapi bukankah ia selalu mengandung retak oleh paradoksa dan ambivalensi? Kebenarannya relatif dan berkorespondensi dengan yang lain, yang kini dibekam oleh fragmented.
Pemahaman [verstehen] berarti pendefinisian, sebuah konstruksi konseptual [bahkan imajinatif]. Konstruksi itu paling tidak berupa harapan bayangan teoritis, utopis, naif, atau sesuatu yang kreatif. Pandangan terakhir ini memungkinkan gerak dan berdaya imaji yang melalui titik-titik penghayatan total kedirian dan garis-garis kontemplasi keadaan.
:::
Dengan segala lalu lalang kendaraan institusi beserta sengkarut norma membuat peristiwa semakin padat, sesak, dan didih. Sehingga daya imaji menuju kepada reproduksi semata bukan aktivasi kreasi yang otentik; Gejala alienasi dan kekaburan identitas membentuk lelaku pesimistik, bahkan menjadi patologi dan neurosis. Seakan tidak mampu menghadapi tarik-menarik peristiwa sistemik—yang dikulturalkan. Demikian dalam perubahan memungkinkan terjadinya tarik-menarik makna peristiwa.
Perubahan memang membawa konsekuensi, apapun itu, dan belum tentu diprediksi kecanggihan alat atau teknologi buatan rasio bertubuh manusia. Padahal—dikatakan merasuknya budaya modern ke tubuh Indonesia tak lepas dari gelombang paksa-kuasa dapat berdikari dalam proses perubahan [pembangunan atau modernisasi], tapi justru bangsa ini seakan tengah sibuk berbenah. Lagi, lagi, dan lagi.
Bangsa ini memiliki heterogenitas bahasa-budaya yang searah dengan relasi keragaman teks-makna. Kata banyak orang, itu merupakan kekayaan; begitu realitanya. Tetapi kerapkali ini dinaifkan atau sekadar diperbincangkan—termasuk tulisan ini, barangkali. Yang beragam itu, awalnya, timbul dari pertemuan dan mengenal. Satu atau berbilang beberapa dan seterusnya. Tapi adakah pandangan kebudayaan itu dipeluk sepenuhnya dalam realitas?
Pertemuan adalah kehidupan, yang didalamnya mendudukkan identifikasi menjadi suatu gugusan tradisi. Mengikat muasal titik peristiwa menjadi operatif, sistemik, dan mekanik dalam jalinan dominasi struktur beserta perangkat-perangkapnya. Jika dipahami buntu secara pesimis dan negatif maka cenderung bertitik kulminasi. Sehingga semacam perlu daya penghayatan dan transformasi dari heterogenitas agar dikonstruksi menjadi kesatuan, dalam arti berintegrasi sebagai nation.
Pada perkembangan tradisi tak mungkin meniadakan identitas, baik dalam konteks kultural maupun politis. Tradisi nation berkiblat pada musabab yang sarat terhadap cita-cita yang dirumuskan oleh faunding father. Hal itu pun tak lepas dari ari-ari keterbatasan sekaligus kompleksitasnya, tarik-menarik kecenderungan dan kondisi nation. Artinya ada dua hal setidaknya yang mengisi keberlangsungan identitas: identitas menjadi yang merujuk pada potensi kreatif dan ketergantungan identitas mengikuti reaksi imitasi. Keduanya berjalin kelindan. Dalam lanskap sastra, hal pertama yang akan dipertimbangkan dalam tulisan ini.
Perihal Imajinasi dan Identitas
Barangkali kebhinekaan budaya terdengar seperti bahasa metaforis, yang menyimpan dan mengakumulasi makna dalam sejarahnya. Yang lebih dari sekedar dipikirkan, dirasakan, dan dinarasikan sebagai sebuah harapan. Materialisme pada cita-cita filsafat kebudayaan, misalnya, didominasi oleh dimensi-dimensi ekonomi yang didukung oleh aparatur sosial-politik; atau positivisme yang dibopong kapitalisme oleh teori-teori modern, lalu diposisikan sebagai norma berikut institusinya. Pun kreativitas, sebagai aktivitas sosial telah dikuasai oleh berbagai kecenderungan hasrat an sich. Sementara, di sisi lain, keterlibatan individu dalam komunitas mengarah pada pembatasan proses kreatif, baik secara ideologi maupun dalam bentuk kepentingan ekonomi politik. Institusi sastra kadangkala bila terlalu direspon akan memperumit proses kreatifitas, begitu kata seorang kawan. Dan, saya setidaknya sepakat. Meski angin waktu selalu berhembus dari hulu yang lebih tinggi bermuara kepada yang rendah.
Diam-diam muncul lagi pertanyaan saya: Apa sebenarnya identitas bahkan karakter sastra Indonesia? Dan, siapa sebenarnya yang bertanggungjawab dalam sastra kita?
Bila berkesusastraan berarti bercerita tentang sastra dan kehidupan di dalamnya, maka sastra dan kehidupan adalah manunggaling, menyatu dalam diri manusia dan seisinya. Kesusastraan mewujud secara holistik [asalnya dari kata suci, lalu diterjemahkan menyeluruh-utuh] antara yang fisis dan metafisis. Upaya penyeimbangan bidang-bidang itu menyejarah. Sebagaimana segala sastra awal kisahnya adalah religious. Lantas, dalam sejarah kemerdekaan sastra menjadi bagian dan mengambil peran. Karya sastra berisi ide perlawanan struktur [kolonial] dan  pengungkapan yang telanjang. Sastra memihak identitas sebagai nation.
Pemihakan ini paling tidak memungkinkan pada alternatif dasar sastra berperan pada masanya. Perlu ditulis bahwa masa itu bahasa sebagai perangkat sastra masih mencari bentuknya, menjadi sesuatu yang kreatif dengan pengandaian: 1] yang merujuk pada dasar konsep nation; 2] pada tradisi-budaya kesusastraan sebagai bentuk aplikasi dari nation; dan 3] merujuk pada seluruh karya yang dihasilkan dari proses dan interaksi dengan masyarakatnya, realitas yang melingkupi dan teks-teks kesusastraan selama ini.
Waktu bergerak dan sastra pun mengikuti. Ide perlawanan kolonial bergeser, memasuki masa pembangunan keindonesiaan sastra dibekukan konfrontasi ideologis. Sastra disempitkan oleh dominasi institusi, maka timbullah anomali. Konflik pada transisi politik nyatanya berimbas pada kondisi kesusastraan. Pengelompokkan sastra yang didahului klaim ideologi menambah keruh pesisir keindonesiaan. Ekses polemik Manikebu-Lekra misalnya, tunduk di bawah telapak kaki kepentingan, yang nyata-nyata dikepung elitisme dan sinisisme. Oleh karena teks dalam pembacaan tak lepas dari ideologi, maka sastra menjadi pertarungan dominasisebagaimana riuh diperbincangkan—sastra dirias sebagai teks politis serta berikut bayang-bayang konsekuensinya mengabaikan nilai-nilai estetik, tapi itu tak mutlak.
Kemudian ketika arus reformasi luruh dan komunitas sastra menjamur, klaim negatif bawaan dasariah muncul: stereotipe buruk terhadap yang tak sepaham, penghakiman tak perlu-wujud keangkuhan, dan penjatuhan posisi inferior kepada yang lain. Etnosentrisme, eksklusivisme, ekstrimisme, dan sejenisnye—identitas kuasa dan dominasi—justru memecah-pecah diri, memisah-pisahkan, memutus-putus kelanjutan, sehingga pembacaan-pembacaan demikian kian menutupi dan menenggelamkan diri sastra keindonesiaan. Tapi bukankah semua itu identifikasi atas krisis identitas atau semacam pengakuan?
Belum lagi wacana hasrat bermotif otonomi teks, sebagaimana bahasa yang memutus referensinya. Padahal teks lahir tak bisa lepas dari ikatan peristiwa yang ber-konteks.[1] Sehingga kelahirannya memiliki relevansi dengan keindonesiaan. Apapun gaya bahasa dan tema, nilai-nilai karya sastra tak menjauh dari ide keindonesiaan. Setiap peristiwa penciptaan pun pembacaan karya sastra beraroma tradisi dan kebudayaannya. Sehingga dalam teori kebenaran selalu referensial dan interaksional, pun dalam pembacaan tidak bisa menafikan definisi [dan infinisi] menjadi kreatif itu.
Identitas layaknya konsepsi yang senantiasa hidup dan bergerak, tidak berbentuk tunggal, konkret, dan tetap. Ia selalu terbuka dan tidak menelan mentah-mentah. Dalam sastra tamsil ini sangat terlihat. Umumnya, ukurannya, hanya ditandai dengan karya yang dihasilkan. Maka perlu dialektika gerak antara yang ada, yang lama dan baru. Maka identitas berada di dalam gerak itu sendiri.[2]
Kesusastraan Indonesia lahir dalam pengidentifikasian budaya leluhur yang beragam, yang bermain di ambang modern, yang sublim dengan arus urban, dan sekaligus mengukuhan ideologis, spiritual, dan seterusnya. Di satu sisi tampak seperti hybrid, fragmented, dan sublim, tetapi ini potensi simbolik dalam ide dan pengungkapan metafora sastrawi. Meski sifatnya abstraksi, tetapi bisa jadi perekat imajiner. Bukankah nation ini dibentuk secara imagine, kata Ben Anderson. Bahkan Lacan pernah berkata bahwa yang imajiner menjadi pemersatu yang palsu. Ia membuka peluang yang tidak diakui, di bawah sadar, yang dipinggiran, yang belum dikonsepsikan dalam teori sastra sesuai dengan lokus keindonesiaan.
Boleh jadi sastra yang khas keindonesiaan ialah ide yang telanjang, tetapi ia mengandung fantasi tubuh yang over-narrated. Bermain-main dengan identitas dan puing-puing kebudayaan menjadi ketiadaan arti, yang tak penting apakah pesimis atau optimis. Waktu terus berlalu dan realitas terus membentuk diri yang khas.
Barangkali keberadaan yang konstan hanya ilusi dan manipulasi wacana. Otentisitas identitas yang dicari-cari akan terbentur oleh kehabisan tenaga dan fatamorgana selfhood. Sebab identitas merupakan sifat khas [barangkali genesis] yang menerangkan dan berperan. Melalui narasi sastra identitas menjadi selalu segar, agar fatalisme ras, gender, dan grup etnis tidak akan terjebak dalam kubangan sejarah identitas.
Akhirnya tidak ada yang lebih asing dari pada diri sendiri. Karena kekhasan tidak hanya menjadi kenikmatan dan pelampiasan kerinduan ‘menjadi’ diri sastra di suatu bangsa sendiri. Sebagaimana sastra terus dicipta melalui licentia poetica, sebagaimana manusia yang ingin lepas dari kutukan kehendak bebas. []


[1] Sedangkan Ricoeur mencoba memutus ikatan tersebut, dengan melepaskan relevansi untuk kepentingan praktis objektifitas metode interpretasi. Meskipun ia ingin membuka kemungkinan munculnya makna-makna baru. Oleh sebab bahasa, menurutnya, event atau yang membicarakan sesuatu sekaligus tentang sesuatu, yang terbuka [‘open’ work]. Sekaligus andil dalam keabsahan hermeneutika judical yang diperdebatkan soal konteks yang berlainan.
[2] Lihat Adonis, menurutnya, identitas lebih berada di depan, sebab ialah kehendak mencipta dan berubah, sehingga identitas merupakan kreativitas, kita yang menciptakan identitas kita sebagaimana kita menciptakan kehidupan dan pemikiran kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.